Ya. Mereka benar-benar berdansa di sana. Mereka bergerak mengikuti alunan senja yang perlahan memudar, mengantarkan matahari pulang ke peraduan.
Rayya berlari meninggalkan Donald yang berteriak-teriak memanggil namanya sambil meringis memegangi rusuknya yang kesakitan. Dia ingin mengejar Rayya. Tapi Marsha, gadis yang bersamanya, mencegahnya. Donald mengurungkan niatnya. Semua mata yang ada di tempat itu mengarah kepadanya.
Rayya berlari. Dan terus berlari. Hatinya terbakar amarah. Sudah lama dia curiga kekasihnya itu punya affair dengan Marsha, kakak kelasnya yang doyan menggoda kekasih orang. Tapi Rayya tidak menangis. Dia benci menangis. Apalagi menangis untuk seorang cowok. Gadis tomboy yang rambutnya tergerai hingga sebatas punggungnya itu paling pantang menangisi cowok. Malah, hampir saja bogem mentahnya melayang ke wajah sinis Marsha. Kalau saja Donald tidak mencegahnya, sudah bisa dipastikan, cewek genit itu sudah terkapar di lantai plaza. Tapi, penyandang ban hitam kyokusinkai itu sempat mendaratkan mawasi-nya ke arah rusuk Donald, kekasihnya. Sampai membuat pemuda itu termehek-mehek kesakitan. Rayya paling benci dikhianati.
Bruk! Si tomboy menabrak seseorang di beranda depan plaza.
“Sori!” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, tanpa melihat ke arah pemuda yang ditabraknya. Tapi waktu dia sudah berada di atas angkot, dara hitam manis itu sempat melihat pemuda yang ditabraknya mengejar seraya melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Entah apa maksud pemuda itu. Rayya tak sempat menerka-nerka. Dadanya bergetar karena lahar yang bergolak di dalamnya.
Angkot melesat cepat, membawa sepotong tubuh yang sedang menyemburkan lahar. Rayya. Gadis itu masih menyesali mengapa dia tidak sekalian saja melayangkan mawasi-nya ke pinggang Marsha.
Siang itu di kamarnya, si tomboy masih saja mendongkol. Bukan saja karena Donald, kekasihnya yang akhirnya kepergok jalan bareng dengan Marsha. Tapi juga karena saat kernet angkot menyodorkan telapak tangan kapadanya, meminta ongkos angkot darinya, dia baru dapat menerka kemungkinan yang paling mungkin, mengapa pemuda yang tadi ditabraknya di muka plaza, mengejar seraya melambaikan tangan ke arahnya. Pasti itu!
Dia bermaksud mengembalikan dompet milik Rayya yang mungkin terjatuh waktu mereka bertabrakan. Untung saja dara semampai itu selalu menyimpan recehan di saku celana panjangnya. Ah, mudah-mudahan saja pemuda itu mau berbaik hati mengembalikan dompet milikku, begitu harap si tomboy dalam hati.
Keesokan harinya, sepulang dari sekolah, Rayya mondar-mandir di beranda depan rumahnya yang asri. Persis setrikaan. Matanya berkali-kali melirik ke arah undangan berwarna merah muda yang terkapar di atas meja. Hari ulang tahun Mitha. Dia masih ingat percakapannya dengan Mitha, teman sekelasnya, waktu menyerahkan undangan itu kepadanya.
“Datang ya! Jangan sampai gak datang! Gak seru kalo nggak ada kamu. Ingat lho, datangnya sama pasangan.”
“Harus sama pasangan?”
“Harus!” kata Mitha. “Eh iya, undangannya sekalian buat Donald aja ya. Biar ngirit, gitu loh.”
Rayya tertunduk. Dia memang belum menceritakan kepada teman-temannya peristiwa kemarin di plaza.
“Apa sebaiknya aku nggak usah datang aja ya? Tapi… nanti teman-temanku kecewa. Apalagi Mitha. Ini kan hari spesialnya.
Ah, kenapa juga harus sama pasangan? Aduh… kenapa sih si Donald pake acara selingkuh segala? Sama Marsha, lagi… Uh, cewek itu… seharusnya kemarin dia kuhajar sekalian!” Tanya dan sesal bergumpal-gumpal di dalam hatinya.
Acaranya sendiri akan diadakan malam nanti di halaman belakang rumah Mitha. Selain band-band sekolah, ada juga artis ternama yang turut meramaikan acara. Memang sayang banget untuk dilewatkan. Tapi keharusan membawa pasangan itu… Ah, kalau saja Donald tidak tergoda bujuk rayu Marsha yang memang sangat piawai menjadi iblis penggoda dengan wajah cantik dan keseksian tubuh yang selalu dia pamerkan ke setiap mata pemuda… Sudah setahun lebih ia membina hubungan dengan Donald. Tapi akhirnya?
Rayya masih saja mondar-mandir persis setrikaan. Dan kepalanya sudah mulai kepanasan karenanya. Dia lagi bingung karena tak menemukan satu nama pun yang paling mungkin diajaknya ke acara nanti malam, menggantikan Donald yang sudah bisa dipastikan akan datang bersama Marsha. Otak Rayya mulai mengeluarkan uap panas. Mirip lokomotif kereta api. Buntu.
“Pussssiiiiiinnnngggg!!!!!” dara manis itu berlari ke dalam kamarnya. Terjun bebas ke atas ranjang busa. Membenamkan wajahnya di balik bantal tebal. Lalu memejamkan matanya perlahan. Perlahan. Sebelum akhirnya terlelap dalam tidur.
Sesaat setelah dia benar-benar terlelap.... Gadis tomboy itu menemukan dirinya berebah di atas pasir putih yang sangat lembut, di sebuah pantai sepi, entah di mana. Itu merupakan pantai terpanjang yang pernah Rayya lihat. Tapi anehnya, tak satu pun bangunan yang tampak berdiri di sana. Pantai itu benar-benar kosong. Tak berpenghuni.
“Ah, di manakah aku ini?” Rayya bertanya pada dirinya sendiri.
Matahari telah meninggalkan singgasananya. Turun perlahan-lehan menuju garis cakrawala. Langit menjadi keemasan. Senja merupakan saat terindah dari episode kembara hari sang mentari. Lempengan bola api raksasa itu tampak telah tenggelam sebagian ke balik tebing cakrawala. Membias cahaya di atas air laut yang beriak syahdu. Membentuk garis lurus yang membentang dari cakrawala hingga ke pantai, tempat di mana Rayya sedang duduk kebingungan. “Sungguhkah tempat ini benar-benar nyata adanya?” bisik hatinya bertanya. Si tomboy memandang tak percaya pada keindahan senja yang membentang di depannya. Seolah terhadirkan hanya untuk dinikmati olehnya seorang, karena memang dia tak menemukan siapa pun di tempat itu.
“Hei, apa itu?!” Rayya beranjak dari duduknya. Matanya menangkap siluet yang muncul tiba-tiba dari balik tebing cakrawala. Dara manis semampai itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang dilihatnya bukanlah sebuah halusinasi semata. Siluet itu berbentuk sesosok tubuh.
Dan.... Hei, sesosok tubuh itu berjalan ke arahnya! Dia benar-benar berjalan. Seperti kita berjalan di daratan. Tapi dia berjalan di atas lautan! Ya. Dia berjalan perlahan di atas garis cahaya berwarna jingga yang membentang lurus dari cakrawala hingga ke pantai tempat Rayya berdiri. Dia berjalan laiknya seorang peragawan berjalan di atas catwalk. Betapa anggun dan menakjubkan! Membuat si tomboy ternganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ketika sesosok bayangan itu semakin mendekat, dan akhirnya berdiri di hadapannya, Rayya masih saja tak percaya dengan pandangan matanya. Seorang pemuda!
Pangerankah dia? Atau… malaikat? Tapi tak sepasang sayap pun di balik punggung pemuda itu.
Lalu, siapakah dia yang memiliki wajah serupa pangeran-pangeran dari negeri dongeng? Dan, bagaimana mungkin pemuda itu berjalan di atas lautan? Benar-benar berjalan. Seolah berjalan di atas daratan.
Pemuda yang memiliki rambut ikal sebahu itu tersenyum. Lalu membungkuk meraih jemari Rayya, dan mencium pungung telapak tangannya.
“S... siapa kamu?” Rayya tergagap. Pemuda itu mendongak menatap wajah si tomboy yang memerah dadu. Lalu pemuda itu berdiri tegak. Tangannya masih menggenggam jemari si tomboy.
“Namaku… Tebing Cakrawala!”
“Tebing Cakrawala?”
“Ya. Karena aku berasal dari sana,” katanya menunjuk ke arah cakrawala, tempat dari mana pemuda itu terlihat pertama kali oleh Rayya.
“Ah, i... ini hanya gurauan, kan?”
Pemuda yang mengaku bernama Tebing Cakrawala itu tersenyum. Lalu berjalan menuntun Rayya. Rayya tidak berusaha menolak. Atau sekadar bertanya ke mana pemuda itu akan membawanya. Si tomboy diam saja. Dia bahkan tidak sadar bahwa dirinya sedang berjalan di atas lautan. Benar-benar berjalan. Dan cahaya matahari yang membias membentuk garis lurus hingga ke cakrawala itu, serupa permadani yang mengalasi langkah-langkah kaki mereka.
Ah, apa yang tak mungkin terjadi di dalam ruang mimpi? Namun tentunya seorang yang sedang bermimpi tak menyadari dirinya sedang bermimpi. Seperti Rayya. Dia pasti akan kecewa kalau tahu yang sedang dialaminya hanya berlangsung di ruang mimpinya. Dia begitu bahagia. Apalagi ketika pemuda bernama Tebing Cakrawala itu mengajaknya berdansa di hadapan matahari yang tinggal sebentuk setengah lingkaran.
Ya. Mereka bernar-benar berdansa di sana. Bukan terlihat seperti berdansa.Mereka bergerak mengikuti alunan senja yang perlahan memudar, mengantarkan matahari pulang ke peraduan.
Mereka berdansa di sana. Di hamparan layar jingga cakrawala. Seolah mereka bagian yang memang harus ada ketika senja menjadi akhir dari kembara hari sang mentari. Mereka berdansa di sana bagai lukisan siluet. Hanya saja mereka bergerak. Kadang memutar. Kadang terbang membubung ke angkasa. Melayang-layang. Lalu menukik kembali ke garis cakrawala.
Begitulah yang Rayya alami di ruang mimpinya. Sampai tiba-tiba, dia merasakan tubuhnya berguncang-guncang. Seperti sedang terjadi gempa. Ruang mimpinya bergetar, sebelum melenyap. Rayya perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Dia menemukan wajah Depo, kakaknya, sedang meringis-ringis di depannya.
“Ah, ngapain sih mengganggu-ganggu kenikmatan tidur orang?!” bentak Rayya, keki.
“Yeee… bukannya makasih udah dibangunin,” Depo tak kalah keki. “Ada yang nyariin kamu tuh, di depan! Katanya sih mau ngembaliin dompet kamu yang terjatuh. Eh, emangnya dompet kamu hilang ya?”
Rayya mengangguk. Tegas. Dia langsung bangkit dari tidurnya.
“Orangnya cowok ya, Mas?”
“Huu… kalo cowok aja bersemangat banget.”
“Cowok apa cewek?”
“Cowok! Namanya Tebing Cakrawala!”
“Hah…?!?” Rayya melongo.
Depo memijit hidung bangir si tomboy.
“Aduh! Sakit tau!”
“Abis… bukannya buru-buru nemuin, eh… malah bengong kayak ayam sakit. Tamunya udah nungguin sejak tiga jam yang lalu tuh. Kamu sih, susah banget dibanguninnya.”
Rayya tersenyum sebelum bergegas meninggalkan kamarnya, menemui pemuda bernama Tebing Cakrawala.
Well, well, well… kayaknya si tomboy udah nemuin orang yang bakalan dia ajak ke acara ultah si Mitha nanti malam nih.
“Oh, Tebing Cakrawala….” Gadis itu bergumam sebelum beranjak menemui pemuda bernama Tebing Ckrawala.
0 komentar:
Posting Komentar