Our Community

Our Community
Forum Lingkar Pena Depok

Our Event

Our Event
Depok Dalam Puisi

Our Training Program

Our Training Program
BATRE

Our Family

Our Family
Want to be one of us?

Mau Daftar? Klik Gambar Ini!

Miss Perfecto

Jumat, 30 Juli 2010

Cerpen Depo
Hei… itu dia! Kulihat Miss Perfecto turun dari sebuah angkot. Mmh… aku semakin yakin, ada yang telah terjadi pada gadis itu.
“Ciiit….” Aku menginjak pedal rem mobilku. Bukankah itu… Alya?! Aku melihat gadis itu keluar dari gerbang sebuah lembaga pemasyarakatan. Mau apa dia di tempat itu? Hei… gadis itu melompat ke atas bus yang telah penuh sesak! Ke mana BMW yang kerap mengantarnya? Belum pernah kulihat gadis itu naik kendaraan umum sebelumnya.
Aku mengikuti bus yang ditumpanginya. Kalau ada makhluk yang paling kubenci di dunia ini, pasti Alya orangnya. Dari sekian banyak yang kubenci, Miss Perfecto itu menempati peringkat teratas! Entah mengapa aku begitu membencinya… mungkin karena dia cantik, pintar, kaya, banyak prestasi, dan disukai oleh semua penghuni sekolahku, kecuali aku tentunya.
The most pretty girl in the school, hanyalah satu dari sekian banyak sanjung puji yang dialamatkan kepadanya. Huh! Gadis itu pasti pakai susuk; di alisnya yang tebal teratur, di ujung mata luarnya yang terangakat ke atas sehingga menyerupai keelokan mata seekor kucing, di hidungnya yang lancip, di bibir mungilnya yang merekah semangka, di rambut hitamnya yang berkilau tergerai hingga ke punggung, di… ah! Semua itu pasti akibat susuk yang digunakannya! Sebenarnya kami sempat dekat sesaat. Bahkan bersahabat. Kami berada di kelas yang sama di awal semester satu. Dia teman sebangkuku kala itu. Lalu sebuah persaingan pun dimulai. Tapi, kami menikmatinya.
Persaingan membuat kami termotivasi untuk selalu tampil menjadi yang terbaik. Dan dia hampir selalu tampil menjadi yang terdepan dalam segala hal, dari juara satu pidato dengan bahasa Inggris, sampai terpilih menjadi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka mewakili daerah Jakarta. Dalam pelajaran pun, dia masih mengungguliku. Tapi, aku tidak cemburu dengan semua yang telah diraihnya. Sampai… kami jatuh cinta pada pemuda yang sama!
Marlend, nama pemuda itu. Dia anak baru di sekolahku. Pandai main basket. Wajahnya sering muncul di sampul-sampul majalah remaja. Pemuda bertampang indo itu memiliki semua yang diinginkan oleh gadis-gadis remaja! Bukan hanya aku dan Alya yang jatuh hati kepadanya. Hampir semua kaum Hawa di sekolahku mengidam-idamkan untuk menjadi pendampingnya. Dan lagi-lagi… Alya mengungguliku. Marlend memilih gadis itu untuk menjadi kekasihnya! Padahal, Alya tahu, aku tergila-gila dengan pemuda itu. Aku bosan menjadi gadis nomor dua di sekolah. Aku muak dengan kesempurnaannya. Ingin rasanya aku menyayat-nyayat wajah mulusnya, mencungkil indah matanya, atau menghantam kepalanya sampai dia amnesia dan menjadi bodoh karenanya. Tapi kalau kulakukan semua itu, wajahku akan terpampang di headline surat kabar, di berita-berita kriminal televisi. Aku tak menginginkan semua itu.
Di awal kelas dua, Miss Perfecto bergabung dengan anak-anak rohis. Sejak saat itu, hubungannya dengan Marlend mulai merenggang. Gadis itu jadi sulit diajak jalan berdua olehnya.
Aku menggunakan peluang itu untuk mendekati Marlend. Aku jadi sering jalan dengan pemuda indo itu tanpa sepengetahuan Alya. Sampai, entah dari mana, Alya mencium kedekatanku dengan Marlend. Mereka putus! Pada akhirnya, aku memang berhasil mendapatkan Marlend. Namun, akhirnya aku menyadari kalau pemuda itu hanya menjadikan aku pelarian. Kuputuskan dia karena setiap kami sedang berduaan, hanya Alya yang selalu dibicarakannya. Gadis itu benar-benar telah menjadi hantu bagiku!
Bus itu berhenti di depan sebuah gang sempit. Kulihat Alya berjalan masuk ke sebuah perkampungan di pinggiran kota. Mau apa dia ke tempat itu… kampung becek, rumah-rumah petakan yang berdiri berhimpitan, tak pernah kubayangkan anak seorang pengusaha kaya pergi ke tempat seperti itu. Hmm….
Pagi sekali aku sudah tiba di sekolah. Tak seorang pun siswa yang sudah tiba di sana, termasuk Alya. Maklum saja baru pukul enam. Kuparkirkan mobilku agak tersembunyi. Dari tempatku, aku bisa melihat dengan jelas pintu gerbang sekolah. Aku sengaja datang pagi buta begini. Aku ingin tahu apa Alya masih diantar ke sekolah dengan BMW-nya?
Hei… itu dia! Kulihat Miss Perfecto turun dari sebuah angkot. Mmh… aku semakin yakin, ada yang telah terjadi pada gadis itu. Beberapa bulan ini aku juga sering melihat dia keluar masuk ruangan TU. Teman sekelasnya bilang, dia menunggak iuran SPP dua bulan. Aku jelas tak percaya. Dia anak pengusaha kaya. Mungkin teman sekelasnya itu juga tidak suka kepadanya, seperti aku. Tapi sekarang….
Sepulang sekolah, kuarahkan kendaraanku ke Pesona Khayangan, tempat kediaman keluarga Alya. Mungkin orang-orang di sekitar rumahnya bisa memberiku sedikit informasi. Rumah besar itu tampak lengang. Aku menekan bel berkali-kali, tak seorang pun yang keluar membukakan pintu pagar.
Seorang satpam kompleks yang kebetulan lewat, menghentikan motornya di depanku. “Udah nggak ada orangnya, Non!” kata satpam itu dari atas sadel motornya.
“Kosong?” “Rumah itu disita oleh pengadilan!” “Disita? Kenapa?” “Wah… Non ini pasti nggak pernah nonton tipi, deh….” “Memangnya kenapa, Pak?” “Pak Tomi, pemilik rumah ini terlibat penggelapan uang negara triliunan rupiah! Sekarang dia meringkuk di penjara Cipinang.” “Ah, yang benar, Pak?!” “Suer!” “Sekarang mereka tinggal di mana, Pak?” “Wah… kalo itu mah, saya juga kagak tau, Non.”
Belakangan ini, aku memang melihat perubahan pada diri Alya. Wajahnya sering terlihat murung. Dia jadi senang menyendiri,hanya sesekali kulihat dia di musala bersama teman-teman rohisnya. Saat jam istirahat pun dihabiskannya di dalam kelas saja. Alya seolah menarik diri dari pergaulan sekolah. Aku memang tak sampai menduga apa-apa sampai kulihat dia datang ke sekolah menggunakan angkutan kota. Belakangan ini, aku memang tak pernah melihat BMW-nya mengantar-jemputnya ke sekolah. Dia selalu lebih dulu datang ke sekolah daripada aku, dan aku selalu lebih dulu darinya meninggalkan sekolah. Pasti ada apa-apanya. Aku harus mencari tahu!
Keesokan harinya, sepulang sekolah, kulihat gadis itu turun di Terminal Depok, naik ke atas sebuah patas jurusan Grogol. Lho… mau ke mana dia?! Aku segera menguntit patas itu. Alya turun di depan rumah sakit jiwa! Mau apa dia ke tempat itu? Kuparkirkan mobilku agak menjauh dari tempat itu. Kuikuti gadis mungil itu masuk ke dalam rumah sakit jiwa. Baru kali ini aku melihat orang-orang gila dalam jumlah yang tak terbayangkan. Ada-ada saja tingkah polah mereka. Tak jauh beda dengan yang biasa kita lihat berkeliaran di jalan-jalan. Hanya saja mereka tampak lebih bersih. Aku menjaga jarak beberapa puluh langkah dari gadis itu. Tiba-tiba saja, ada seorang laki-laki gila menghadang langkahku. Matanya membelalak marah. Kulihat api di sana. Tapi kenapa?
“Plak!” lelaki gila yang usianya sebaya ayahku itu menampar wajahku. “Wanita sialan!” semburnya, “Setelah puas kauhabiskan hartaku, kau berpaling ke lain pria. Wanita binal. Tukang selingkuh!”
Dua pria berseragam putih segera berlari menghampiri tempat kami berdiri. Mereka segera membekuk lelaki gila itu. Lelaki gila itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Aku merinding ketakutan. Buru-buru aku meninggalkan tempat itu. Hiiiy. Tapi… ke mana tadi Alya pergi?
“Tami?!” Aku menoleh. “A-Alya…” “Sedang apa kamu di sini?” “A-aku…” “Kamu mengikuti aku?” selidik Alya. “Mmm… aku….” “Kenapa, Tam? Kenapa kamu mengikuti aku.” “Aku hanya….” “Alya,” tegur seorang pria berseragam putih, “Menjenguk ibumu?”
“I-ya, Dok.” Alya tampak kikuk.
“Bagaimana dengan keadaan ibu saya, Dok? Kapan dia diperbolehkan pulang?” “Ibu Alya? Kenapa dia?” tanyaku dalam hati. “Sejauh ini perkembangan kejiwaan ibu kamu sudah jauh lebih baik. Berdoa saja, ya. Yang penting, kamu harus banyak-banyak berdoa. Dan berikan perhatian penuh kepada beliau. Insya Allah, beberapa bulan ke depan, kondisinya sudah bisa benar-benar pulih.” “Terima kasih, Dok.” “Ya, sudah. Saya mau menjenguk pasien saya yang lain. Saya tinggal dulu, ya?” “Oh, silakan, Dok.” “Al….”
Gadis itu tampak menenggelamkan wajahnya dalam-dalam. “Sekarang kamu sudah tahu kenapa aku pergi ke tempat ini, kan? Sekarang kamu bisa mengatakan pada anak-anak yang lain tentang ibuku yang dirawat di rumah sakit jiwa. Ya. Ibu harus dirawat di tempat ini karena tidak kuat menanggung malu atas perbuatan papaku. Kamu tentu sudah dengar juga tentang papaku yang di bui karena menggelapkan uang negara, kan? Sekarang kamu bisa menyebarkan berita itu kepada teman-teman di sekolah! Bukankah itu yang kamu mau?”
Sesaat hening. Lalu.... “Al… boleh aku menjenguk ibumu?” Alya mengangkat dagunya, menatap ke arahku, tak percaya. “Boleh, Al?” “Buat apa?” “Sudah lama aku nggak berjumpa dengannya. Yah, aku emang nggak bawa oleh-oleh, sih.... Tapi aku janji, aku akan mengantar kamu menjenguk ibumu setiap hari. Kalau kamu nggak kebaratan….” “Ka... kamu?”
Aku mengangguk. “Kita masih bersahabat, kan?”
Kulihat manik air mata retas dari ujung mata Alya yang indah. Menguntai di kedua belah pipi mulusnya. Gadis itu mengangguk.
Kami berpelukan.
Ah, ternyata, tak ada yang sempurna di dunia ini….

0 komentar:

Posting Komentar

Video Pelatihan