Cerpen Depo
dimuat di anekayess-online.com
Aku mengikuti bus yang ditumpanginya.
Kalau ada makhluk yang paling kubenci di dunia ini, pasti Alya orangnya. Dari sekian banyak yang kubenci, Miss Perfecto itu menempati peringkat teratas! Entah mengapa aku begitu membencinya… mungkin karena dia cantik, pintar, kaya, banyak prestasi, dan disukai oleh semua penghuni sekolahku, kecuali aku tentunya.
The most pretty girl in the school, hanyalah satu dari sekian banyak sanjung puji yang dialamatkan kepadanya. Huh! Gadis itu pasti pakai susuk; di alisnya yang tebal teratur, di ujung mata luarnya yang terangakat ke atas sehingga menyerupai keelokan mata seekor kucing, di hidungnya yang lancip, di bibir mungilnya yang merekah semangka, di rambut hitamnya yang berkilau tergerai hingga ke punggung, di… ah! Semua itu pasti akibat susuk yang digunakannya!
Sebenarnya kami sempat dekat sesaat. Bahkan bersahabat. Kami berada di kelas yang sama di awal semester satu. Dia teman sebangkuku kala itu. Lalu sebuah persaingan pun dimulai. Tapi, kami menikmatinya.
Persaingan membuat kami termotivasi untuk selalu tampil menjadi yang terbaik. Dan dia hampir selalu tampil menjadi yang terdepan dalam segala hal, dari juara satu pidato dengan bahasa Inggris, sampai terpilih menjadi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka mewakili daerah Jakarta. Dalam pelajaran pun, dia masih mengungguliku. Tapi, aku tidak cemburu dengan semua yang telah diraihnya. Sampai… kami jatuh cinta pada pemuda yang sama!
Marlend, nama pemuda itu. Dia anak baru di sekolahku. Pandai main basket. Wajahnya sering muncul di sampul-sampul majalah remaja. Pemuda bertampang indo itu memiliki semua yang diinginkan oleh gadis-gadis remaja! Bukan hanya aku dan Alya yang jatuh hati kepadanya. Hampir semua kaum Hawa di sekolahku mengidam-idamkan untuk menjadi pendampingnya. Dan lagi-lagi… Alya mengungguliku. Marlend memilih gadis itu untuk menjadi kekasihnya! Padahal, Alya tahu, aku tergila-gila dengan pemuda itu.
Aku bosan menjadi gadis nomor dua di sekolah. Aku muak dengan kesempurnaannya. Ingin rasanya aku menyayat-nyayat wajah mulusnya, mencungkil indah matanya, atau menghantam kepalanya sampai dia amnesia dan menjadi bodoh karenanya. Tapi kalau kulakukan semua itu, wajahku akan terpampang di headline surat kabar, di berita-berita kriminal televisi. Aku tak menginginkan semua itu.
Di awal kelas dua, Miss Perfecto bergabung dengan anak-anak rohis. Sejak saat itu, hubungannya dengan Marlend mulai merenggang. Gadis itu jadi sulit diajak jalan berdua olehnya.
Bus itu berhenti di depan sebuah gang sempit. Kulihat Alya berjalan masuk ke sebuah perkampungan di pinggiran kota. Mau apa dia ke tempat itu… kampung becek, rumah-rumah petakan yang berdiri berhimpitan, tak pernah kubayangkan anak seorang pengusaha kaya pergi ke tempat seperti itu. Hmm….
Pagi sekali aku sudah tiba di sekolah. Tak seorang pun siswa yang sudah tiba di sana, termasuk Alya. Maklum saja baru pukul enam. Kuparkirkan mobilku agak tersembunyi. Dari tempatku, aku bisa melihat dengan jelas pintu gerbang sekolah. Aku sengaja datang pagi buta begini. Aku ingin tahu apa Alya masih diantar ke sekolah dengan BMW-nya?
Hei… itu dia! Kulihat Miss Perfecto turun dari sebuah angkot. Mmh… aku semakin yakin, ada yang telah terjadi pada gadis itu. Beberapa bulan ini aku juga sering melihat dia keluar masuk ruangan TU. Teman sekelasnya bilang, dia menunggak iuran SPP dua bulan. Aku jelas tak percaya. Dia anak pengusaha kaya. Mungkin teman sekelasnya itu juga tidak suka kepadanya, seperti aku. Tapi sekarang….
Seorang satpam kompleks yang kebetulan lewat, menghentikan motornya di depanku. “Udah nggak ada orangnya, Non!” kata satpam itu dari atas sadel motornya.
“Kosong?”
“Rumah itu disita oleh pengadilan!”
“Disita? Kenapa?”
“Wah… Non ini pasti nggak pernah nonton tipi, deh….”
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Pak Tomi, pemilik rumah ini terlibat penggelapan uang negara triliunan rupiah! Sekarang dia meringkuk di penjara Cipinang.”
“Ah, yang benar, Pak?!”
“Suer!”
“Sekarang mereka tinggal di mana, Pak?”
“Wah… kalo itu mah, saya juga kagak tau, Non.”
Belakangan ini, aku memang melihat perubahan pada diri Alya. Wajahnya sering terlihat murung. Dia jadi senang menyendiri,hanya sesekali kulihat dia di musala bersama teman-teman rohisnya. Saat jam istirahat pun dihabiskannya di dalam kelas saja. Alya seolah menarik diri dari pergaulan sekolah. Aku memang tak sampai menduga apa-apa sampai kulihat dia datang ke sekolah menggunakan angkutan kota. Belakangan ini, aku memang tak pernah melihat BMW-nya mengantar-jemputnya ke sekolah. Dia selalu lebih dulu datang ke sekolah daripada aku, dan aku selalu lebih dulu darinya meninggalkan sekolah. Pasti ada apa-apanya. Aku harus mencari tahu!
“Plak!” lelaki gila yang usianya sebaya ayahku itu menampar wajahku.
“Wanita sialan!” semburnya, “Setelah puas kauhabiskan hartaku, kau berpaling ke lain pria. Wanita binal. Tukang selingkuh!”
Dua pria berseragam putih segera berlari menghampiri tempat kami berdiri. Mereka segera membekuk lelaki gila itu. Lelaki gila itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
Aku merinding ketakutan. Buru-buru aku meninggalkan tempat itu. Hiiiy. Tapi… ke mana tadi Alya pergi?
“Tami?!”
Aku menoleh. “A-Alya…”
“Sedang apa kamu di sini?”
“A-aku…”
“Kamu mengikuti aku?” selidik Alya.
“Mmm… aku….”
“Kenapa, Tam? Kenapa kamu mengikuti aku.”
“Aku hanya….”
“Alya,” tegur seorang pria berseragam putih, “Menjenguk ibumu?”
“I-ya, Dok.” Alya tampak kikuk.
“Bagaimana dengan keadaan ibu saya, Dok? Kapan dia diperbolehkan pulang?”
“Ibu Alya? Kenapa dia?” tanyaku dalam hati.
“Sejauh ini perkembangan kejiwaan ibu kamu sudah jauh lebih baik. Berdoa saja, ya. Yang penting, kamu harus banyak-banyak berdoa. Dan berikan perhatian penuh kepada beliau. Insya Allah, beberapa bulan ke depan, kondisinya sudah bisa benar-benar pulih.”
“Terima kasih, Dok.”
“Ya, sudah. Saya mau menjenguk pasien saya yang lain. Saya tinggal dulu, ya?”
“Oh, silakan, Dok.”
“Al….”
Gadis itu tampak menenggelamkan wajahnya dalam-dalam.
“Sekarang kamu sudah tahu kenapa aku pergi ke tempat ini, kan? Sekarang kamu bisa mengatakan pada anak-anak yang lain tentang ibuku yang dirawat di rumah sakit jiwa. Ya. Ibu harus dirawat di tempat ini karena tidak kuat menanggung malu atas perbuatan papaku. Kamu tentu sudah dengar juga tentang papaku yang di bui karena menggelapkan uang negara, kan? Sekarang kamu bisa menyebarkan berita itu kepada teman-teman di sekolah! Bukankah itu yang kamu mau?”
Sesaat hening. Lalu....
“Al… boleh aku menjenguk ibumu?”
Alya mengangkat dagunya, menatap ke arahku, tak percaya.
“Boleh, Al?”
“Buat apa?”
“Sudah lama aku nggak berjumpa dengannya. Yah, aku emang nggak bawa oleh-oleh, sih.... Tapi aku janji, aku akan mengantar kamu menjenguk ibumu setiap hari. Kalau kamu nggak kebaratan….”
“Ka... kamu?”
Aku mengangguk. “Kita masih bersahabat, kan?”
Kulihat manik air mata retas dari ujung mata Alya yang indah. Menguntai di kedua belah pipi mulusnya. Gadis itu mengangguk.
Kami berpelukan.
Ah, ternyata, tak ada yang sempurna di dunia ini….
0 komentar:
Posting Komentar