Our Community

Our Community
Forum Lingkar Pena Depok

Our Event

Our Event
Depok Dalam Puisi

Our Training Program

Our Training Program
BATRE

Our Family

Our Family
Want to be one of us?

Mau Daftar? Klik Gambar Ini!

PENGUMUMAN PEMENANG SAYEMBARA PENULISAN “MENUJU PALESTINA MERDEKA: SUMBANGSIH DARI INDONESIA” KERJASAMA FLP DEPOK – KAJIAN ZIONISME INTERNASIONAL

Selasa, 11 Oktober 2011

PENGUMUMAN PEMENANG SAYEMBARA PENULISAN

“MENUJU PALESTINA MERDEKA: SUMBANGSIH DARI INDONESIA

KERJASAMA FLP DEPOK – KAJIAN ZIONISME INTERNASIONAL

KATEGORI CERPEN:

JUARA I : …………………*)

JUARA II : Dreidel (Ratno Fadillah)

JUARA III : Dongeng Negeri Seungu Kerang (A’yat Khalili)

Bayu Kelana Duka (Elly Rahmawati)

*) Tidak ada juara I, karena tidak ada yang layak menurut dewan juri

KATEGORI PUISI:

JUARA I : Di Kepala Kami Sangkar Ababil (Agus Kurniawan)

JUARA II : Taman Bermain (Istianah Qudsi)

JUARA III : Palestina: Hujan Telah Berdarah (Sukma Anggraini)

KATEGORI ESAI:

JUARA I : Seberapa Jauh Kita Harus Peduli (Sinta Yudisia)

JUARA II : Palestina: Perang Media Dan Opini Global (Rashashi Ihsani)

JUARA III : Demonstrasi: Sebuah Upaya Logis Mendukung Pembebasan Palestina

(Nafi’ah Al Ma’rab/Sugiarti)

  • Keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat.
  • Pemenang akan dihubungi panitia via telepon.
  • Para pemenang akan diundang menghadiri seminar nasional “Menuju Palestina Merdeka: Sumbangsih dari Indonesia”, 1 Muharram 1433 H di Gedung PPPG Bahasa Jakarta sekaligus penyerahan hadiah dan mendapat buku hasil lomba secara gratis.
  • Bagi yang berhalangan hadir pada acara seminar tersebut, hadiah akan dikirim via transfer.

<<<<< Selamat kepada para pemenang >>>>>

Salam,

Panitia

Gerakan FLP: Dari Reading Society Menuju Wriring Society

Rabu, 08 Juni 2011

Esai Trimanto Dimuat di Sabili, Edisi ... Forum Lingkar Pena (FLP) adalah organisasi kepenulisan dan pengkaderan penulis yang didirikan ada tanggal 22 Februari 1997 dan berasaskan Islam. Salah satu misi dari organisasi ini adalah meningkatkan budaya membaca dan menulis di kalangan masyarakat. Dalam kurun waktu satu dasawarsa lebih, FLP telah menyebar luas ke seluruh wilayah di Nusantara, hampir tiap kabupaten/kota telah berdiri FLP Cabang. Bahkan, FLP juga telah menyebar dan berkembang hingga ke mancanegara. Kehadiran FLP disambut positif oleh masyarakat luas dari berbagai kalangan. Secara berkala, FLP mengadakan perekrutan anggota tiap enam bulan sekali. Selain melatih dan mengkader anggota baru untuk menjadi penulis, yang lebih penting dan lebih utama adalah mengajak mereka untuk gemar membaca. Karena untuk menjadi penulis yang baik adalah tentu menjadi pembaca yang baik. Membaca boleh dikata menjadi fardhu’ain bagi seorang penulis. Buku adalah sumber ide, buku adalah sumber inspirasi. Menulis tanpa membaca; karyanya akan kering, sempit, tidak kaya, kuno. Sedangkan membaca tanpa menulis; pikiran tidak berkembang, yang dibaca mudah lupa/hilang, sulit mengendap, tidak akan sampai kepada orang lain. Dengan adanya perekrutan tersebut, FLP mengajak kepada para anggota untuk menjadikan membaca sebagai sebuah culture. Apalagi dalam Islam ada perintah “iqra”, yang seharusnya menjadi amalan sehari-hari bagi para pemeluknya. Lebih dari itu, menjadikan membaca sebagai sebuah kebutuhan. Atau dengan kata lain, mengajak kepada para anggota untuk mencintai buku. Tidak hanya fokus ke internal (anggota) saja, FLP juga melakukan gerakan secara intens ke eksternal (non-anggota). FLP telah melakukan berbagai kegiatan yang mendorong masyarakat luas agar gemar membaca, seperti launching buku, bedah buku, diskusi sastra, lomba menulis, mendirikan rumah baca, menyumbang buku dan sebagainya. Dengan berbagai kegiatan tersebut, diharapkan kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca semakin meningkat. Membangun kesadaran membaca di kalangan masyarakat sangatlah signifikan. Karena pada kenyataannya minat baca di kalangan masyarakat masih minim. Padahal buku sudah semakin banyak dan murah, perpustakaan ada di hampir tiap kabupaten, rumah baca menjamur. Melihat kenyataan inilah, FLP merasa tergerak untuk ikut serta menggalakkan minat baca masyarakat. FLP sadar sepenuhnya bahwa tanggung jawab tersebut bukan semata-mata tugas pemerintah saja, tapi setiap elemen masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama. Bahkan, setiap individu diharapkan menjadi pelopor gerakan membaca ini paling tidak dalam lingkup keluarga. Anggota FLP yang sudah memiliki budaya membaca juga diharapkan dapat menularkannya kepada orang lain; kepada teman, sahabat, suami-istri, tetangga, murid; atau paling tidak kepada keluarganya sendiri. Jika para individu-individu tersebut sudah memiliki budaya membaca yang tinggi, maka untuk mewujudkan reading society tidaklah sulit. Peran keluarga justru sangat penting dan sentral. Budaya membaca memang harus dimulai dari keluarga. Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan adalah pembiasaan oleh orang tua. Kurangnya minat baca orang tua akan berpengaruh pada kurangnya minat baca anak. Oleh karena itu, pembiasaan membaca seyogyanya dimulai dari lingkungan pertama anak, yaitu rumah. Jika di rumah terdapat sebuah perpustakaan, meskipun kecil, hal ini bisa mendorong anak untuk gemar membaca. Atau dengan cara lain, seperti berlangganan majalah anak. Permasalahannya adalah banyak dari para orang tua yang tidak memiliki kesadaran akan hal tersebut. Selanjutnya, sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi yang merupakan ujung tombak dalam bidang pendidikan belum bisa menjalankan fungsi dan perannya dalam menumbuhkan minat baca siswanya dengan baik. Kondisi perpustakaan masih belum memenuhi standar. Perpustakaan belum sepenuhnya berfungsi disana. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal, perpustakaan sekolah atau kampus merupakan sumber membaca dan belajar yang sangat vital bagi murid dan mahasiswa. Terbukti, perpustakaan sekolah maupun kampus sering sepi pengunjung. Hal ini bisa disebabkan oleh masih terbatasnya koleksi buku yang ada, manajemen pengelolaannya yang belum profesional, bukunya sudah kuno dan usang atau memang image bahwa perpustakaan adalah tempat yang kurang menarik untuk dikunjungi. Jika kita cermati, di setiap kabupaten/kota biasanya telah memiliki perpustakaan daerah. Ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa lewat membaca. Tapi pada kenyataannya, perpustakaan daerah ini juga lagi-lagi masih sepi pengunjung. Penyebabnya bisa jadi sebagian masyarakat memang belum tahu keberadaan perpustakaan tersebut. Atau masih ada yang menganggap bahwa pergi ke perpustakaan hanyalah untuk orang-orang tertentu saja. Pada masyarakat golongan bawah, mungkin saja merasa malu atau minder untuk pergi ke perpustakaan. Dari berbagai kenyataan di atas, FLP berusaha membangun sebuah gerakan “penyadaran”. Inilah hal pokok yang harus dibangun dan ditumbuhkan. Kesadaran adalah ibarat pondasi, tanpa kesadaran reading society yang kita idam-idamkan akan sulit tercapai. Jika reading society ini sudah tercapai, tahapan berikutnya adalah membangun writing society. Ketika reading society sudah menjadi habitual action, maka menciptakan writing society tidaklah terlalu sulit. Pengetahuan yang sudah dibaca dan diserap tidak boleh hanya disimpan untuk sendiri saja, akan tetapi disampaikan lagi kepada orang lain. Karena kewajiban bagi orang yang punya ilmu adalah mengamalkan ilmunya. Salah satu cara mengamalkan ilmu tersebut adalah dengan menulis. Mengapa harus menulis? Menulis biasanya menggunakan media, baik media cetak maupun online, sehingga cakupannya akan lebih luas bila dibanding hanya dengan ceramah atau berbicara kepada orang tertentu saja. Demikian pula, tulisan akan lebih mudah diterima dan diserap serta tidak terkesan menggurui bila dikemas secara apik dan menarik. Lebih dari itu, para ulama terdahulu juga telah mencontohkan kepada kita bahwa selain dakwah bil hal, mereka juga melakukan dakwah bil qalam, terbukti mereka mampu mengarang hingga ratusan buku/kitab. Pada zaman sekarang ini, media untuk menulis sangatlah banyak dan beragam. Apalagi ditambah munculnya berbagai situs jejaring sosial yang begitu digandrungi oleh banyak orang. Situs jejaring sosial merupakan space baru sebagai lahan untuk menulis, disamping blog atau milis yang lebih dulu hadir. Situs jejaring sosial juga bisa dimanfaatkan oleh terutama bagi para penulis pemula untuk berlatih menulis dan mengekspresikan ide maupun gagasannya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, FLP berperan sebagai motivator dan penyeru; yang terus-menerus mendorong para anggotanya khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk aktif menulis. Selain itu, FLP juga melakukan aksi nyata demi terwujudnya writing society melalui berbagai kegiatan, seperti lomba menulis, sayembara, roadshow ke sekolah/pesantren, hingga kegiatan FLP for Kids dan lain sebagainya. Demikianlah, tugas untuk mengajak masyarakat Indonesia agar gemar menulis dan membaca bukan hanya tugas pemerintah, guru atau dosen saja, tapi juga tugas kita semua. FLP sedikit-banyak telah mengambil peran itu. Dan sudah sepatutnyalah kita mengapreasisi dan memberikan penghargaan atas upaya yang telah dilakukan FLP selama ini. Wallahu a’lam bish-shawab.

Perempuan Penyusu

Minggu, 22 Mei 2011

Cerpen Hamzah Puadi Ilyas Dimuat di Tribun Jabar, Ahad 15 Mei 2011 PEREMPUAN itu bernama Gendis Murniati. Sesaat setelah ia melahirkan bayi laki-laki, suaminya pergi entah ke mana. Kabar angin mengatakan wajah bayi itu tidak mirip dengan wajah suami Gendis. Tapi ketika beberapa tetangga menanyakan hal ini pada Gendis, ia tidak mengiyakan atau membantah. Ia hanya berkata lelaki pengecut dan berjiwa kerdil memang selalu kabur dari masalah.

Sebulan kemudian bayi Gendis meninggal. Setelah bayi dikubur, Gendis terlihat murung selama lima minggu, lalu ia terus menangis beberapa bulan berikutnya. Setiap keluar rumah para tetangga dekat pasti mendengar Gendis menangis, begitu juga orang-orang yang lewat di depan rumahnya. Banyak tetangga yang datang untuk menghibur Gendis sambil membawa buah-buahan. Namun tak satu pun yang mampu menghentikan tangisannya. Tangisan menyayat hati dan penuh rintihan kepedihan.

Gendis baru menghentikan tangisannya tepat pada saat ada tetangga yang melahirkan bayi perempuan rupawan. Sayang, payudara perempuan yang melahirkan itu tidak mengeluarkan air susu. Bentuknya juga kempes, tidak kembung seperti milik seorang wanita yang baru melahirkan. Ibu-ibu ramai membicarakan hal itu, terutama ketika sedang membeli sayuran di muka rumah. Mereka juga kasihan karena perempuan itu tidak mampu membeli susu kaleng.

"Biarlah aku yang menyusui bayi itu." Tiba-tiba Gendis keluar rumah. Orang- orang terkesima, sesaat serupa tugu. Aneh, Gendis masih terlihat sama seperti saat baru melahirkan. Payudaranya terlihat kembung. Yang berubah hanyalah matanya. Di mata itu seperti masih ada genangan air. Sebagian orang menganggapnya buta karena terlalu lama mengucurkan air mata.

Kesediaan Gendis untuk menyusui dilaporkan pada perempuan yang baru melahirkan itu. Pada awalnya ia tidak setuju karena mendengar kabar tentang mata Gendis yang terlihat aneh, tapi karena ia tidak mampu lagi membeli susu, akhirnya ia bersedia bayinya disusui Gendis. Beberapa orang yang semula meragukan apakah payudara Gendis masih mengeluarkan air susu terbukti salah. Malah susu dari payudara Gendis melimpah ruah. Bayi itu menyusu dengan sangat lahap. Bila tiba waktunya untuk menyusu, bayi itu selalu dibawa oleh orang tuanya kepada Gendis. Selama dua tahun bayi itu disusui Gendis hingga tiba waktunya untuk disapih. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Kabar itu cepat menyebar. Maka datanglah beberapa perempuan yang memiliki bayi. Bukan hanya para perempuan dengan payudara yang tak mampu menghasilkan susu, tetapi juga sebaliknya. Mereka menginginkan bayi mereka sehat seperti bayi sebelumnya, dan mereka rela antre di depan rumah Gendis selama berjam-jam. Rumah Gendis tak pernah sepi dari tangisan bayi.

Dengan senang hati Gendis menyusui bayi-bayi itu. Terbukti mereka tumbuh menjadi anak-anak sehat. Anehnya, payudara Gendis tidak pernah menyusut dan susunya tidak habis-habis meski sudah puluhan bayi yang disusuinya. Hanya kedua matanya yang semakin mengecil. Makin banyak orang yang menganggap Gendis buta sehingga beberapa orang datang dengan sukarela untuk membantu Gendis mengurus rumah karena sepanjang hari ia sibuk menyusui. Malah seorang pria bernama Bejo mengatakan akan mengabdikan dirinya pada Gendis. Bagi Bejo, Gendis adalah sebuah keajaiban.

Rumah Gendis makin ramai. Beberapa tetangga memanfaatkan kesempatan itu dengan membuka warung. Mereka menjual apa saja yang bisa dimakan. Sisa-sisa makanan mengundang beberapa ekor kucing untuk datang. Di antara kucing-kucing itu ada yang kawin dan melahirkan empat ekor anak. Namun sayang, induk kucing mati.

Mengetahui hal itu, Gendis berkata pada Bejo. "Bawalah anak-anak kucing itu ke sini. Akan aku susui mereka." Bejo terkejut, tapi ia tidak berani membantah. Ia segera mengambil keempat ekor anak kucing itu dan membawanya kepada Gendis. Gendis segera menyusui mereka dan meminta Bejo untuk merawat bayi-bayi kucing yang mungil itu. Dua kali sehari Gendis menyusui mereka, bergantian dengan bayi- bayi manusia yang mengantre untuk disusui. Anehnya, anak-anak kucing itu pun menjadi sehat dan siap untuk dilepas.

Kabar tentang Gendis yang tidak hanya menyusui anak manusia cepat tersebar. Lalu berdatanganlah orang-orang ke rumah Gendis dengan membawa berbagai jenis binatang peliharaan mereka yang sakit. Bejo sempat bingung. Ia lalu bertanya pada Gendis, "Ibu, banyak orang yang datang ke sini dengan membawa binatang peliharaan mereka untuk disusui. Mereka sudah gila, Ibu."

"Bejo, tidak apa-apa. Biarlah mereka mengantre. Akan aku susui binatang- binatang itu. Mereka juga makhluk ciptaan Tuhan yang perlu kita sayangi." Kata Gendis dengan suara lembut. Matanya berkedip-kedip. Genangan air masih terlihat di sana. Kadang orang yang melihat matanya dengan cukup lama bagai melihat lautan.

Maka sejak itu Gendis tidak hanya menyusui anak manusia dan kucing, tetapi juga anak anjing, monyet, orang utan, siamang, kambing, rusa, gorila, bahkan bayi harimau. Seperti yang sudah-sudah, binatang-binatang itu juga menjadi sehat.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Gendis semakin dikenal. Bahkan beberapa orang menjulukinya manusia sakti dan keturunan wali. Pemujanya juga terus bertambah. Suatu ketika, seorang wanita paruh baya datang ke rumah Gendis, tetapi bukan untuk meminta Gendis menyusui bayinya atau binatang peliharaannya, melainkan mengadukan masalah keluarga. Ia datang sambil bercucuran air mata.

Wanita itu mengatakan bahwa ia memiliki seorang anak lelaki yang kecanduan narkoba. Kuliah si anak berantakan dan wanita itu telah menjual rumah satu-satunya peninggalan suami untuk biaya menyembuhkan anaknya. Mereka sekarang tinggal di rumah kontrakan yang kecil pada gang sempit. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

"Tolonglah, Ibu Gendis."

"Bawalah anak laki-lakimu ke sini," kata Gendis.

"Bawa ke sini, Ibu?"

"Iya. Akan aku susui dia."

"Baik, Ibu."

Keesokan harinya wanita itu membawa anaknya. Gendis menyuruh Bejo menyiapkan satu kamar kosong. Di kamar itulah pecandu narkoba itu ditempatkan. Pintu dikunci agar pada saat sakaw ia tidak kabur. Setiap lima jam sekali Gendis menyusui pecandu itu. Tiga hari pertama ia muntah-muntah. Semua racun yang telah ditenggaknya keluar bersama muntah berwarna kelam. Hari berikutnya pecandu itu menyusu seperti bayi yang kelaparan. Dua minggu berikutnya ia telah sembuh dari kecanduan narkoba.

Kabar tentang Gendis Sang Perempuan Penyusu terus menyebar. Predikatnya pun makin banyak. Orang-orang yang sangat memujanya memberinya nama-nama pujian. Kini orang-orang yang menyusu padanya bukan hanya pecandu narkoba, tetapi juga tokoh-tokoh politik yang ingin menjadi pemimpin, pejabat yang ingin cepat naik pangkat, pengusaha yang ingin cepat kaya, penyanyi yang goyangannya dilarang, artis yang dianggap melecehkan agama, perempuan dan pria yang susah mendapat jodoh dan pekerjaan, pelajar dan mahasiswa yang ingin cepat lulus, dan masih banyak lagi.

Tapi di balik kemasyhuran Gendis ada beberapa orang yang membencinya. Ia dituduh menyebarkan maksiat dan klenik. Sekelompok orang berpakaian putih-putih datang dan berdemo di depan rumah Gendis. Gendis diminta untuk menghentikan kegiatannya menyusui orang dan binatang. Kalau tidak, rumahnya akan dibakar.

Gendis tidak pernah peduli dengan segala omongan orang dan demo-demo yang menentangnya. Ia terus saja menyusui makhluk hidup apa pun yang datang kepadanya. Ia berkeyakinan selama itu demi kebaikan orang lain dan tidak merugikan pihak mana pun, ia akan terus menyusui hingga akhir hayat.

Keteguhan Gendis membuat beberapa orang membelanya. Terutama mereka yang telah merasakan manfaat menyusu pada Gendis. Makin hari makin banyak saja orang yang mendukungnya sehingga terbentuklah aliansi pendukung Gendis yang siap mati jika keberadaan Gendis terus diusik. Mereka membubuhkan sidik jari dengan tinta darah. Ia juga dirangkul oleh partai politik yang menentang penguasa.

Gendis berubah menjadi sebuah fenomena. Ia bahkan terkenal hingga ke mancanegara. Orang-orang yang datang untuk menyusu padanya bukan hanya dari dalam negeri. Beberapa kali ia malah diundang ke berbagai negara. Tentu saja ia selalu ditemani oleh Bejo yang kini juga ikut menikmati kemasyhuran.

Pada suatu ketika Gendis akan menghadiri pertemuan. Sang penguasa menganggap pertemuan itu akan mengusik kekuasaannya. Maka dibuatlah rencana untuk membunuh Gendis dengan memberikan racun pada minumannya. Antek-antek penguasa yang telah sangat lihai dan mendapat pelatihan di luar negeri selama bertahun-tahun ditugaskan dalam misi ini. Entah bagaimana mereka bekerja, akhirnya di depan Gendis ada gelas berisi air putih yang telah diberi racun.

Pada saat Gendis hendak minum, tiba-tiba gelas itu pecah. Gendis tidak mati. Peristiwa yang dianggap langka itu diliput televisi. Para pendukungnya sangat yakin bahwa ada sesuatu di minuman itu. Nama Gendis malah semakin masyhur. Pengikutnya menjadi berlipat-lipat. Sang penguasa harus gigit jari karena kini pengikut Gendis telah melimpah ruah. Itu berarti akan sangat sulit untuk menyingkirkannya, dan jika mencalonkan diri menjadi pemimpin, ia pasti menang. Para pemujanya menjuluki Gendis orang suci.

Kiprah Gendis semakin berkibar. Ia kini bukan hanya menyusui, tetapi juga menentang tindakan main hakim sendiri dalam membela keyakinan. Jurang perbedaan antara sekelompok orang dengan Gendis semakin curam. Bentrokan antara pengikut Gendis dengan sekelompok orang itu tak lagi bisa dihindarkan.

"Tangkap Gendis. Ia telah memilih jalan sesat dan menyesatkan." Begitu kata pemimpin kelompok itu.

"Aku tak akan pernah gentar. Bila ingin menindas orang, langkahi dulu mayatku," jawab Gendis yang kemudian dikutip berbagai media massa. "Aku menyusui karena aku memiliki air susu yang melimpah ruah, dan sangat banyak makhluk yang membutuhkannya. Ini bukan porno dan maksiat, namun suatu bentuk pelayanan pada Sang Pencipta."

Tahun-tahun terus berlalu. Gendis makin tua. Kesehatannya semakin memburuk. Ke mana-mana ia harus didorong dengan menggunakan kursi roda. Tapi ia tetap tak pernah menolak siapa pun yang datang kepadanya untuk menyusu. Anehnya, buah dadanya bukannya makin kempis, tetapi makin berisi, meskipun tubuhnya sudah sangat lemah.

"Aku akan terus menyusui siapa pun yang membutuhkan. Cuma itu yang bisa kulakukan dalam hidup ini di sisa-sisa umurku. Hanya Tuhan yang bisa menghentikan tindakanku. Aku ingin dikenang sebagai Perempuan Penyusu dan menjadi rahmat bagi sekalian alam." Begitu kata Gendis sebelum akhirnya ia menutup mata untuk selama-lamanya. Jutaan orang mengantarkan Gendis ke pembaringannya yang terakhir. Mata mereka tergenang air, persis seperti mata Gendis pada saat tangisan terakhirnya reda. Salah satu dari mereka adalah anak perempuan yang berumur enam tahun. Jika diperhatikan dengan saksama, mata anak itu seperti lautan. Ruh Gendis telah menyusup melalui ubun-ubunnya. Kelak ia akan menjadi perempuan penyusu berikutnya.

Sebuah Rumah

Rabu, 18 Mei 2011

/I/

Aku hanya mendengarkan kisahnya
dari mulutmu.. dari mulut mereka
Sebuah rumah yang menjadi surga para pencerita
semua guru terbaik yang kukenal

Aku hanya menyaksikannya
dalam angan dari otak tumpulku yang sederhana
Bayangannya yang tak sempurna
dan kebahagiaan yang jadi kenangan dalam sel kelabu kalian

/II/

Kak ceritakan lagi padaku
masa yang jadi buah rindumu
masa saat semua satu
Lampau yang selalu berarti untukmu

Sebuah rumah kak.. rumah itu..
langkahmu riang tanpa beban
saat kau tak ingin lari 
tak seperti sekarang 

/III/ 

Aku ingin sebuah rumah, Kak..
Seperti milikmu.. milik kalian...
Bangunkan aku lagi kak.. sebuah rumah
seperti milikmu... milik kalian..

Karena kau aku jadi merindu..
Rumah untuk pulang..
keluarga tuk berbagi untung dan malang
Aku tak ingin lagi kesepian dalam gelap malam..

Ruang pergerakan,12 Mai 2011
Aku iri pada kalian yang merakan rumah sebenarnya.. di mana pencerahan selalu menemani gelapnya malam.. rumahku kini kehilangan cahayanya.. Ayo nyalakan lagi lampunya!

Maukah Kau Mendengar?

FPLO (Front Perusak Lapak Orang) Persaudaraan untuk selamanya!

Ini kisahku, Tuan..
Duduklah sekejap sudilah mendengarkan

Aku anak keempat dari enam bersaudara. Kami berentet lahirnya tuan. 
Mak kami mengejan macam terkentut. Lahir kami berenam ke dunia.

Kakak pertama tenang yang menghanyutkan. Sudah beronggok puluhan gadis kampung kami
di tangga rumah masingmasing menanti kakakku datang. Tapi tak satu pun dia bawa pulang. 
Tapi jangan tanya soal kemampuan sepatah dua hancur halaman orang.

Kakak keduaku manis Tuan. Bijak dan keibuan. Tapi jangan Tuan berpasal, kalau tak hendak 
mencari bala. Gahar nama tengahnya. Sekali sapu tiada lawan bertahan. 

Kakak ketiga sangatlah periang. Senyum tak pernah lepas  marah tak pernah meraja. Tapi jangan remehkan
Tegas bukan kepalang. Siapa berandal hanya berjumpa malang. 

Aku?
Nanti saja tuan...

Adik kelima suka bercanda. Manja pada kakak kedua. Tak banyak ingin, tak banyak tanya. Tapi rajin sifat unggulnya. 
Kalau marah kacau dunia. 

Adik keenam diam dan dewasa. Masih bujang seperti kami semua, tapi galau dua kali lipatnya. Usia bolehlah muda, 
Tapi syair jangan ditanya, macam tua dia dari kami semua.

Itulah saudarasaudaraku Tuan. Kami bukan berandal hanya tak beribu bapak. Kami bukan preman tapi besar di jalan kehidupan. Kalau kami datang ke halaman atau lapak tuan, jangan sungkan, biarkan kami jalankan panggilan alam.. Maafkan kami jika terjadi kekacauan. Kami hanya mencari senang. Bukankah itu nilai dari kehidupan?

Dan aku.. lebih baik kita berteman, untuk kebaikan Tuan.. Aku anak keempat, Tuan, dari enam bersaudara.
Aku paling tak punya kerjaan jadi jangan lengah, sekali lagi untuk kebaikan Tuan...

Ini bukan syair Tuan, hanya sepenggal perkenalan. Kami bukan berandal, Tuan, bukan juga preman.. Kami anak kehidupan. Masih maukah Tuan Mendengar? 

Ruang keluarga, 16 Februari 2011
Persaudaraan kecil yang bahu membahu untuk mengembangkan sastra dan mencerahkan masyarakat.. dengan hobi selingan merusak lapal orang di dunia maya dengan berbagai gangguan yang semoga mencerahkan.

Sang Penulis

Minggu, 17 April 2011

Cerpen Noor H. Dee Dimuat di Koran Tempo, 17 April 2011

PENULIS itu mencopot kedua tangannya dan membuangnya ke tempat sampah. Kedua tangannya menggelepar sebentar lantas diam seperti tangan orang pingsan.

Ia mencopot kedua tangannya begitu saja. Tidak dengan pisau dan semacamnya. Tak ada darah yang membuncah dan semacamnya. Tak ada luka yang menganga dan semacamnya. Ia memperlakukan tubuhnya seperti lego yang dapat dicopot dan dibuang semaunya.

Ada kegetiran yang begitu abstrak, yang tak bisa ia katakan, dan ia mengerti bahwa sejak dahulu kata-kata memang seperti itu: tidak pernah bisa diandalkan untuk menjelaskan segala hal. Kata-kata hanyalah sebuah usaha untuk mendekati kebenaran, tapi selalu berhenti di titik hampir. Ia mengerti sekali akan hal itu.

Ia sudah bertahun-tahun menjadi penulis. Setiap detik ia selalu bergumul dengan kata-kata yang tidak pernah setia: menemukannya, mendedahnya, membongkarnya, dan meragukannya. Itu sebabnya ia tidak tahu mesti berkata apa ketika menyaksikan kedua tangannya teronggok di tempat sampah. Seperti kesedihan tapi bukan itu, seperti kebahagiaan tapi itu pun masih kurang tepat. Entahlah. Ia hanya bisa diam, dan ia merasa betapa diam ternyata masih lebih baik dari segala macam kata yang pernah manusia temukan. Alasan mengapa ia membuang kedua tangannya ke tempat sampah cukup sederhana: ia tidak ingin menulis lagi.

Sebenarnya sudah lama sekali ia ingin berhenti menulis. Pena dan kertas telah ia buang, laptop-nya telah ia hibahkan kepada kekasihnya yang gemar berkata-kata kotor, dan buku-buku yang sekiranya dapat membangkitkan gairah menulis sudah ia bakar di halaman belakang dengan menggunakan beberapa batang korek api dan setengah liter minyak tanah. Tidak lupa, hampir setiap malam ia juga selalu memohon kepada Tuhan yang selama ini sering ia khianati, agar bakat menulisnya segera dicabut sampai ke akar-akarnya. Dan, hasilnya adalah setiap malam ia harus menderita sakit kepala.

Ia kesal karena seluruh usahanya selalu gagal. Ia masih tetap terus menulis. Ia menulis di pintu kulkas, di layar telepon genggam, di bak kamar mandi, di bantal, di cermin, di lipatan baju, di kalender, di meja makan, di sepatu, di kantung celana, di permukaan piring, dan di kaca jendela yang jarang sekali terbuka. Bahkan ketika sedang tertidur pun ia masih mampu menyelesaikan dua buah cerita pendek di selimut tebal tempat ia biasa bersembunyi dari dinginnya malam. Ia juga tidak tahu mengapa semua itu bisa terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia masih terus saja menulis. Karena bingung mesti berbuat apa lagi, sedangkan kegiatan menulisnya tidak juga kunjung berhenti, tanpa pikir panjang lagi ia langsung mencopot kedua tangannya untuk kemudian membuangnya ke tempat sampah.

Ia berhenti menulis karena ia merasa menulis adalah perbuatan yang percuma. Ia sudah menulis ribuan puisi, ratusan cerita pendek, dan puluhan novel. Belum lagi ditambah dengan beberapa artikel dan essai yang pernah dimuat di beberapa majalah dan surat kabar nasional. Banyak orang yang kemudian mengidolakannya, memborong semua karya-karyanya, bahkan ada yang sampai tergila-gila begitu rupa kepadanya. Ia memang hanya penulis, tapi popularitasnya sudah hampir sama dengan para selebritas. Setiap kali ia meluncurkan buku baru, berbagai jenis manusia dari berbagai jenis penjuru berbondong-bondong memadati ruangan acara itu. Semula ia memang jumawa dengan semua itu. Namun akhirnya ia sadar, bahwa ternyata semua itu adalah percuma.

Semua itu bermula dari pertanyaan sederhana yang terlontar dari mulut seorang gadis pada saat acara peluncuran bukunya sedang berlangsung, “Apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun?” Pertanyaan sederhana itu ia jawab dengan lancar.

“Menulis adalah semacam katarsis, yang dapat membebaskan kita dari kejumudan.” Ia juga mengatakan bahwa seorang penulis bukanlah nabi, yang diutus Tuhan untuk mengubah suatu kaum. “Tugas seorang penulis,” ujarnya melanjutkan, “bukanlah untuk mengubah keadaan, melainkan hanya ingin mengabarkan tentang segala hal yang sedang terjadi di depan mata kita secara apa adanya.”

Semua yang hadir dalam acara itu mengangguk-angguk, merasa takjub, untuk kemudian bertepuk tangan bersama-sama.

Tidak ada yang tahu bahwa sesampainya ia di rumah, ketika ingin beranjak tidur, pertanyaan itu masih terus membututinya: apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun? Keesokan harinya pertanyaan itu kembali terngiang di benaknya. Di hari-hari berikutnya pun demikian. Sampai akhirnya penulis itu lelah, dan mulai merasa gelisah.

Apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun?

Penulis itu gelisah bukan kepalang. Semula ia tidak peduli dengan pertanyaan sepele itu. Semula ia menganggap bahwa tugas seorang penulis ya hanya menulis saja.Titik. Tidak lebih dari itu. Tapi, entah kenapa, akhirnya ia sepakat bahwa ternyata dirinya adalah seorang penulis yang tiada berguna.

Ia sudah banyak menerbitkan buku, tapi ia sama sekali belum bisa mengubah apa pun. Sebenarnya ia juga tidak tahu apa yang mesti diubah, tapi ia sadar bahwa keadaan memang masih tetap begini-begini saja. Ia sering mengangkat tema tentang kemiskinan dalam setiap cerpen-cerpennya, tapi sampai sekarang kemiskinan itu masih ada dan tak pernah berubah. Ia sering mengangkat tema tentang kerusakan alam di setiap sajak-sajaknya, tapi sampai sekarang masih banyak saja orang-orang yang tidak peduli dengan alam, malah lebih parah dari sebelumnya. Ia juga sering mengangkat tema tentang kemunafikan manusia di setiap novel-novelnya, tapi hingga detik ini kemunafikan itu belum juga hilang.

Begitulah. Akhirnya penulis itu memutuskan untuk berhenti menulis dan membuang kedua tangannya ke tempat sampah.

“Selesai sudah,” gumam penulis itu sambil menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Lebih baik tidak usah menulis sama sekali, ujarnya dalam hati, dari pada menulis tapi tidak pernah dihiraukan sama sekali.

Tidak lama kemudian, penulis itu tertidur.

PENULIS itu terbangun dari tidurnya dan terkejut bukan main. Ia melihat dinding kamarnya sudah dipenuhi dengan tulisan. Begitu pula dengan lemari baju, permukaan piring, sepatu, sampai atap rumahnya pun telah dipenuhi tulisan. Ada yang berupa puisi, cerita pendek, seloka, gurindam, pantun, haiku, dan ada pula yang hanya berupa sekumpulan kata-kata yang tersusun secara acak tanpa bisa diketahui apa maknanya. Penulis itu kembali menderita sakit kepala. Ia yakin betul bahwa semua tulisan itu adalah tulisannya. Bukan tulisan orang lain. Ia tidak tahu kalau pada akhirnya akan menjadi sesulit ini. Ia juga tidak tahu bagaimana ia bisa membuat tulisan-tulisan itu, padahal sepasang tangannya telah teronggok di tempat sampah. Mungkinkah ia menulis dengan kakinya? Atau mulutnya? Atau telinganya? Atau dengan pikirannya? Ia tidak tahu. Kepalanya benar-benar ingin pecah.

“Mengapa jadi sulit begini, padahal aku hanya ingin berhenti menulis? Ah, sepertinya lebih baik aku mati saja!” ujarnya sambil bangkit dari rebahnya, berjalan mendekati lemari pakaiannya yang tertutup, dan susah payah menarik pintu lemari itu dengan gigi depannya.

Di dalam lemari itu tampak sebuah pistol yang mengilat. Ia tersenyum. Ya, lebih baik aku mati saja, ujarnya dalam hati.

Namun seketika itu pula ia terdiam. Ia tidak tahu bagaimana cara menembakkan pistol ke dalam mulutnya. Sebab, ia baru ingat, kedua tangannya telah berada di dalam tempat sampah! (*)

Mantra Penyadap Nira

Rabu, 09 Maret 2011

Cerpen Hamzah Puadi Ilyas Dimuat di Tribun Jabar, Minggu, 6 Maret 2011 | 14:25 WIB HANYA Tuminah seorang di seluruh Lumajang, bisa jadi di seluruh Pulau Jawa atau bahkan Indonesia, yang memiliki mantra penyadap nira. Mantra itu membuat pemiliknya tidak merasa sakit bila jatuh dari pohon aren saat menyadap nira meskipun pohon itu menjulang hingga menyamai puncak Bromo. Bila jatuh, si pemilik mantra akan bangun kembali seperti orang bangun dari bersila. Mantra itu diwariskan oleh kakek Tuminah yang bernama Mbah Ketip. Menurut Mbah Ketip, mantra penyadap nira tidak bisa diwariskan dari ayah ke anak, hanya dari kakek ke cucu. Pada mulanya Mbah Ketip tidak ingin mewariskan mantra itu kepada Tuminah karena ia perempuan. Mbah Ketip masih menunggu dan berharap suatu saat menantunya hamil lagi dan melahirkan anak laki-laki. Tapi pada suatu hari, setelah bersemadi di bekas kandang kambing sambil puasa mutih selama dua hari dua malam, Mbah Ketip merasa umurnya tidak lama lagi. Ia akhirnya mewariskan mantra itu pada Tuminah. Mbah Ketip berpesan pada Tuminah bahwa mantra penyadap nira, seperti juga manusia, ada umurnya. Suatu saat mantra itu bisa lenyap. Tidak ada yang tahu pasti kapan terjadinya. Tapi menurut perkiraan, ketika tempat tinggal mereka, Desa Kalibendo, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, tidak lagi dikelilingi pepohonan dan persawahan. Begitulah yang diketahui Mbah Ketip dari kakeknya. "Maka dari itu, Tuminah, cucuku, berhati-hatilah engkau setiap kali memanjat pohon aren. Bisa saja saat itu mantramu lenyap, dan dedemit penunggu pohon sedang usil, lalu menyentil tubuhmu. Engkau bisa celaka." "Iya, Kakek," jawab Tuminah, yang waktu itu kelas empat SD. Entah karena pengaruh mantra atau warisan sifat sang ayah, Tuminah tumbuh seperti anak laki-laki. Menjelang selesai sekolah dasar, ia sudah mulai memanjat pohon aren untuk menyadap nira. Nira itu nantinya akan dibuat gula oleh keluarganya. Memang Tuminah tidak seperti laki-laki dewasa yang bisa memanjat sepuluh sampai lima belas kali dalam sehari untuk menyadap nira, tapi keberaniannya membuat banyak orang kagum. Awalnya ayahnya melarang. Anak perempuan tidak usah memanjat pohon aren, cukuplah membantu ibunya memasukkan gula yang telah mengental ke dalam dakon, cetakan. Tapi pada satu waktu, ketika tiba-tiba Tuminah sudah berada di puncak pohon aren dengan membawa pisau dan jeriken yang diikatkan ke pinggang, ayahnya sadar bahwa Tuminah memang bukan anak perempuan sembarangan. Ayahnya sempat berpikir mungkin Tuminah adalah penjelmaan keinginannya dulu yang mengharapkan anak laki-laki. Tuminah, yang kemudian tidak melanjutkan pendidikan setelah tamat SD, selalu memegang teguh amanat kakeknya tentang mantra penyadap nira. Ia tidak boleh bercerita kepada siapa pun. Ia hanya boleh bercerita pada cucunya kelak ketika hendak menurunkan mantra tersebut. "Bila kamu bercerita, dalam waktu enam jam mantra itu akan hilang." "Kenapa bisa begitu, Kek?" tanya Tuminah. "Karena itu menunjukkan engkau telah jadi orang takabur." Tuminah mengangguk. Umur sembilan belas tahun, Tuminah jatuh cinta kepada Pardi yang tiga tahun lebih tua. Keluarga Pardi lebih miskin, tetapi kulitnya putih. Jarang sekali ada orang berkulit putih di desa itu, apalagi laki-laki. Sama seperti Tuminah, Pardi juga hanya tamat sekolah dasar. Ayahnya telah tiada ketika ia baru bisa merangkak. Pardi tinggal di rumah bambu bersama ibunya. Sehari-hari mereka membuat gula aren milik orang lain. Untuk satu kilogram gula aren yang dijual kepada pengepul seharga 6.500 rupiah, Pardi dan ibunya mendapat 1.000 rupiah. Bila sedang tidak sibuk, Pardi biasanya mencari belut di sawah pada sore hari. Hasil tangkapannya seringkali dijual sebagai tambahan biaya dapur keluarga. Suatu saat, ketika sedang berada di pohon aren, Tuminah membayangkan dirinya bersanding dengan Pardi. Kebahagiaan datang bersama bulir-bulir angin. Kepulannya yang melegakan rasa membuat Tuminah semakin nyaman. Mata terpejam, dan biru langit seolah dalam gapaian. Ia merasa terbang, melayang di antara gumpalan awan putih berserakan bersama Pardi. Tuminah baru sadar ketika ada teriakan. Orang-orang berdatangan. Ibunya menangis sambil memeluknya. Ayahnya segera membopongnya ke rumah. Sesaat Tuminah bingung mengapa begitu banyak orang yang mengirinya. Sesampainya di rumah ia didudukkan di bale bambu. Ayah dan ibunya meraba-raba sekujur badannya. "Kamu tidak apa-apa, Tuminah?" Tuminah masih terlihat bingung. Tapi beberapa detik kemudian ingatannya muncul. Ia ingat telah berada di puncak pohon aren. Segera ia menggeleng dan turun dari bale bambu. Muncul wajah Mbah Ketip di pikirannya. Ternyata mantra itu memang manjur. Sekarang orang-orang yang mengelilinginya yang tampak bingung. Sebulan kemudian Tuminah benar-benar bersanding dengan Pardi. Kisahnya seperti ini: ketika jatuh dari pohon aren, Tuminah mengucapkan kata "Pardi" beberapa kali. Karena penasaran dan takut ada apa-apa, ayah dan ibu Tuminah lalu memutuskan untuk mendatangi Pardi dan menanyakan apakah mereka sudah saling kenal. Ibu Pardi yang menjawab dengan mengatakan bahwa sebenarnya sudah sejak lama ia ingin melamar Tuminah, tapi karena takut ditolak ia menunda keinginan tersebut. Mengetahui hal itu, ayah Tuminah akhirnya menikahkan mereka. Tahun berganti tahun. Orang-orang tua telah berpisah dari anak, menantu, serta cucu. Sore itu hujan rintik-rintik baru saja berhenti. Dedaunan masih kedinginan. Pardi duduk dengan kaki menjulur di bale bambu. Telah sekian kali ia memborehkan minyak gosok cap tawon pada pergelangan kaki yang terkilir. Dua anak perempuannya sedang bermain boneka plastik di sudut ruangan. Tuminah, sambil menggendong anak ketiga yang berkelamin laki-laki, tampak gelisah. Sesekali ia menengadahkan wajah ke langit yang masih semburat suram. "Sudah, menyadap niranya besok saja," kata Pardi. "Pohon aren licin, barusan hujan." "Kalau tidak membuat gula aren hari ini, lusa kita sudah tidak punya uang untuk membeli beras dan minyak tanah." "Nanti aku cari pinjaman." Tuminah diam. Ia menatap wajah anaknya sambil menggerak-gerakkan gendongan agar tidurnya lebih lelap. Wajah anak itu mirip Mbah Ketip, terutama hidungnya yang sedikit mengendap ke dalam. Suara anak-anak di luar rumah terdengar. Tuminah menyingkap tirai jendela dan melongok ke luar. Langit telah cerah. Tuminah meletakkan anaknya yang pulas di samping Pardi. Setelah pamit pada Pardi dan berpesan agar menjaga anak-anak, ia keluar sambil membawa pisau dan jeriken. Kain telah berganti celana gombrang lusuh. Dengan langkah cepat ia menuju kebun yang ditumbuhi pohon-pohon aren. Satu pohon telah tumbang tersambar petir tiga bulan lalu. Jarak kebun dari rumahnya sekitar setengah kilometer. Begitu memasuki kebun terlihat pohon aren tertinggi. Dari pohon itu juga ia dulu pernah jatuh. Entah sudah berapa ratus kali pohon itu dipanjat. Menyentuh batangnya saja telah membuatnya bangga. Hanya ia wanita di Desa Kalibendo yang pandai memanjat pohon aren untuk menyadap nira. Selesai merapalkan mantra, ia segera memanjat. Dalam sekejap, tubuh kurusnya telah mencapai puncak pohon. Dari atas Tuminah bisa melihat rumah-rumah berbaris rapi. Rumah-rumah orang kaya, pikirnya. Dulu di tempat itu terbentang persawahan milik penduduk asli. Kini setengahnya telah menghilang. Sebagai gantinya, hampir di semua rumah warga Kalibendo terdapat televisi, bahkan sepeda motor. Setelah merasa cukup, Tuminah turun. Hujan ternyata menyisakan jentik-jentik air di beberapa legokan batang aren, membuatnya sedikit licin. Pada pijakan ketiga, kaki Tuminah menyentuh permukaan yang licin itu. Di saat yang bersamaan, tangannya berpegangan pada sisa pelepah tua yang rapuh. Pelepah yang telah dipangkas ujungnya itu tercerabut, dan tubuh Tuminah langsung meluncur. Ada bunyi gedebuk, lalu hening. Tuminah tidak tahu berapa lama. Yang ia tahu ia berada di tanah dalam posisi bersila, kemudian bangkit. Mantra dari Mbah Ketip memang luar biasa. Dilihatnya jeriken masih utuh berisi nira. Tidak lagi di pinggang, melainkan di atas tanah. Seperti ada yang meletakkannya. Pisau masih terselip di sabuk yang mengikat erat pinggangnya. Tuminah menuju rumah. Langit temaram. Makin dekat ke rumah, langkahnya terasa semakin ringan. Begitu juga jeriken yang ditentengnya. Seperti membawa kapas. Tiba-tiba ia teringat ketiga anaknya. Ada perasaan kangen dan bersalah. Ingin rasanya ia memeluk si bontot. Langkahnya semakin dipercepat. Dari kejauhan terlihat rumahnya sangat ramai. Semua tetangga ada di sana. Pasti ada apa-apa dengan si bungsu. Ia berlari, merasakan kakinya seolah tidak menyentuh tanah. Sesampainya di depan rumah, ia berteriak menanyakan apa yang terjadi. Namun tak satu pun orang yang menoleh, apalagi menyahut. Tuminah menyelinap di antara kerumunan orang. Dia tidak lagi peduli, semua yang menghalanginya ditabrak, tapi tetap tak ada yang bergerak. Sampai akhirnya ia berada di pusat lingkaran. Benar saja, ada jasad terbaring tertutup kain. Beberapa orang mengelilingi jasad itu sambil membaca kitab suci. Pardi terlihat sedih di pojok ruangan, sesekali menyeka air mata. Dengan cepat Tuminah menyingkap kain penutup mayat. Ia ingin melihat wajah anak kesayangannya. Ternyata, ia melihat wajahnya sendiri, putih dan pucat. Ada kapas yang menutup kedua lubang hidung. Satu per satu tulang belulang di tubuhnya remuk. Ia semakin ringan, lalu perlahan membubung menembus atap.

Si Bottar Mata

Sabtu, 26 Februari 2011

Cerpen Muhammad Trimanto Lelaki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak biasanya ia bermuka tegang dengan mata merah menyala. Bibirnya mengatup rapat. Napasnya terdengar kencang. Para hadirin yang duduk melingkar di rumah panggung yang besar semakin resah menantikan raja Bakkara itu bicara. Hening seperti mencekam urat nadi. Tak ada yang berani mengeluarkan suara di Bale Pasogit[1] itu. Diiringi terpaan angin yang dingin dan nyanyian hewan malam yang saling bersahutan, Baginda Sisingamangaraja XII beranjak dari duduknya dan mulai berkata, “Belanda tidak hanya menguasai dan menjajah Aceh dan negeri-negeri lainnya, mereka kini telah menginjakkan kaki mereka di tanah kita. Setelah berhasil menguasai Singkil, Barus dan Sibolga, mereka terus meluaskan daerah kekuasaannya sampai ke mari. Bahkan, satu hal yang sangat tidak kumengerti, mengapa Raja Pontas malah memberikan hak guna tanah kepada Si Bottar Mata[2] di Silindung. Apa pendapat kalian mengenai hal ini?” Lalu para Bius secara silih berganti mengemukakan pendapat mereka. Secara umum aku bisa menangkap bahwa mereka menyatakan sangat kecewa atas tindakan Raja Pontas. Mereka juga tidak ingin jika Belanda menguasai tanah para leluhur mereka. “Lalu, bagaimana dengan pendapatmu, Teuku Idris?” Baginda meminta pendapatku. “Kami orang Aceh sudah lama memaklumkan perang terhadap Belanda. Kami sangat tidak rela jika tanah kami dijajah. Sepertinya Belanda hendak menguasai seluruh negeri di Nusantara ini. Maka, tidak lain dan tidak bukan, kita harus bahu-membahu untuk melawan mereka.” Begitulah, pertemuan itu berlangsung hingga tengah malam. Para hadirin sepakat untuk mengusir Si Mata Putih dari Benua Eropa itu. Aku sendiri merasa sangat dihargai oleh keluarga besar Sisingamangaraja XII. Aku dan kawan-kawan sengaja dikirim oleh Sultan Aceh untuk menjadi panglima sekaligus melatih kemiliteran bagi rakyat di Bakkara dan sekitarnya. Hubungan kami dengan penduduk setempat begitu akrab dan harmonis. Persaudaraan ini telah terjalin baik sejak ratusan tahun lalu. Apalagi beberapa waktu lalu, Baginda baru saja pulang dari Aceh untuk belajar ketatanegaraan, bahasa, strategi perang dan pengenalan huruf Arab. *** Setelah memiliki hak guna tanah di Silindung, akhirnya Belanda mengeluarkan maklumat bahwa seluruh tanah Batak menjadi jajahannya, rakyat dan para raja harus tunduk dan melatakkan senjata. Mendengar hal tersebut, amarah Baginda meledak hebat. Harga diri dan rakyatnya telah diinjak-injak. Segera Baginda menemui Raja Pontas. Ia ingin mempertanyakan sikap Raja Pontas yang sangat menguntungkan Belanda tersebut. Namun, tak dinyana oleh kami, ternyata di belakang Raja Pontas, Belanda telah bersiap-siap untuk melakukan penyerangan. Ternyata Raja Pontas telah bersekongkol dengan penjajah. Akhirnya, Sisingamangaraja XII dan para raja ihutan[3] di Balige mengadakan rapat raksasa. Dari rapat inilah segenap rakyat dan raja mengumumkan pulas[4] terhadap Belanda. Aku dan kawan-kawan dari Aceh sangat mendukung keputusan itu. Sejak awal, kami telah berbaiat kepada Baginda, teguh bersumpah setia dan akan tetap bersama Baginda sampai titik darah penghabisan. Perang demi perang pun dimulai. Aku ikut serta dalam pertempuran di Bahal Batu, di Humbang, dan di Lintong Nihuta. Pada pertempuran ini, kami masih bisa menghadang gerak maju pasukan Belanda. Tetapi, ketika bertempur di kawasan Tangga Batu-Balige, kami terdesak. Tiada lama berselang, dan tanpa kami duga sebelumnya, Belanda menyerang pusat kerajaan Sisingamangaraja XI di Bakkara. Tanpa persiapan apapun dan jumlah kami yang tidak terlalu banyak membuat kami tak bisa berbuat banyak. Kaum penjajah itu dengan beringas membombardir dan membakar rumah-rumah dan bangunan kerajaan. Ruma Bolon, Ruma Parsantian, Sopo Bolon, Sopo Godang, Bale Pasogit, Bale Partangiangan, Bale Bius, semuanya hancur rata dengan tanah. Kami semua hanya bisa menangis dan meratap melihat istana kerajaan Sisingamangaraja XII yang tinggal puing-puing. “Inilah kehancuran yang kedua, setelah sebelumnya kami pernah diserang oleh kaum Pidori,” kata Baginda lirih. Untuk menghindari jatuhnya korban di pihak kami, maka kami semua mengungsi ke Huta Paung untuk seterusnya menuju Lintong Harianboho. Setahun kemudian, setelah merasa aman, kami pun kembali ke Bakkara. Baginda dan keluarga membangun kembali di atas puing-puing kerajaannya. Selain itu, Baginda sangat giat mengadakan pendekatan keapda berbagai bius agar ikut dalam penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Balige. Setelah mendapat dukungan yang cukup kuat, Baginda memutuskan untuk secepatnya menyerang Balige. Pasukan rakyat Bona Pasogit berbondong-bondong berkumpul di Uluan untuk membantu serangan. Sayang, rencana serangan ini bocor karena ulah mata-mata Belanda. Ribuan barisan rakyat banyak yang gugur, bahkan Baginda sendiri sempat terluka. Akhirnya kami pun menyingkir kembali ke Bakkara. Selang dua bulan kemudian, Belanda yang haus darah kembali menyerbu Bakkara dan membumi-hanguskan pusat kerajaan. Kami terpaksa mengungsi ke Huta Paung dan Lintong Harianboho lagi. *** Aku bersama ribuan orang lainnya berjalan beriringan, menaiki bukit dan menuruni lembah, menyeberangi sungai, menerobos rimbunnya pohon hutan belantara. Panas dan hujan, onak dan duri, lelah dan letih, semuanya mengiringi langkah kami untuk menemukan tempat persembunyian yang aman. Baginda memutuskan untuk melakukan perang gerilya setelah setelah di Huta Paung dan Lintong Harianboho tak mampu lagi menahan serangan Belanda. Mereka terlalu kuat untuk dihadapi secara langsung. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, sampailah kami di Si Onomhudon, sebuah huta di pedalaman Dairi. Masyarakat setempat belum bisa menerima kami dengan baik. Kehidupan kami amatlah sulit. Bersembunyi di tengah hutan yang pekat dengan pohonnya yang sangat tinggi, bahkan di beberapa tempat, sinar matahari tak bisa menembus ke bawah. Kami makan buah dan dedaunan yang ada di hutan. Baginda dan keluarganya sangat berpantang makan daging babi, sehingga kebutuhan lauk hanya dari ikan. Kebetulan tak jauh dari tempat kami ada sungai besar dengan ikannya yang sangat melimpah. Ikan-ikan yang kami tangkap kami bungkus dengan daun sungkit, lalu kami panggang di atas bara. Jika kami memasaknya sampai matang benar, ikan-ikan itu bisa awet dua hingga tiga minggu lamanya. “Sedapatkan mungkin, jangan sampai kita membuat api yang besar sehingga menimbulkan asap yang membumbung. Hal ini akan membuat tempat kita mudah diketahui oleh musuh,” kata Baginda sambil mardembam[5]. Kami yang mendengarkan tidak berani berucap, hanya mengangguk sebagai tanda persetujuan. “Kita harus sangat berhati-hati, di sekitar kita banyak sekali mata-mata yang tergiur dengan hadiah besar jika bisa memberikan informasi tentang keberadaan kita di sini. Selain itu, kuharap kalian bisa bersabar dengan keadaan kita sekarang ini. Untuk meminta bantuan ke Silindung maupun Balige yang telah dikuasai oleh Belanda sangatlah tidak mungkin. Demikian pula misi Zending yang telah membawa perubahan besar dalam kehidupan orang Batak. Beberapa pejuang yang tadinya menyokong perjuangan kami, meletakkan senjata untuk menerima iman dan hidup baru.” *** Dalam waktu yang tidak lama dan dengan semangat yang membara, kami berhasil membangun huta yang baru di Pea Raja, lengkap dengan Bale Pasogit sebagai pusat kerajaan. Kami bercocok tanam dan beternak. Kami juga mendulang emas untuk membeli senjata-senjata baru. Tak lupa kami juga terus berlatih perang. Aku sendiri termasuk salah satu pelatihnya. Ketika aku sedang melatih para sukarelawan perang, Baginda mendekatiku. Sambil menepuk-nepuk bahuku ia berkata, “Aku benar-benar sangat bangga denganmu dan kawan-kawanmu. Kalian adalah para pendekar Aceh yang teguh pendirian, sangat gigih menentang Belanda dan taat beragama. Tanpa peran dan jerih-payah kalian, mungkin kami sudah binasa sejak dulu.” “Baginda terlalu memuji. Bukankah membela tanah air adalah kewajiban setiap warga negara. Dan itu bisa kita lakukan apabila kita bersatu.” “Luar biasa, Teuku. Aku salut pada jiwa kepahlawananmu. Untuk itu, perkenankanlah aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kesetiaanmu padaku selama ini.” Sejenak aku memandang Baginda yang sedang tersenyum padaku. Aku merasakan, apa yang dikatakan oleh Baginda begitu tulus, keluar dari lubuk hatinya yang terdalam. “Aku juga berterima kasih kepada Baginda, karena telah menerimaku dan kawan-kawan dengan sangat baik. Kami merasa telah diperlakukan seperti keluarga sendiri. Kami senang bisa berjuang bersama Baginda, bahkan kami rela menyerahkan nyawa kami demi tanah air ini.” Mendengar ucapanku, Baginda segera memelukku erat sekali. Kami larut dalam keharuan masing-masing. Sementara itu, dedaunan bergorang dan menari, mengikuti irama semilir angin yang berhembus lembut. Awan putih berarak penuh semangat mengiringi gerak dan langkah para sukarelawan yang sedang berlatih perang. Tidak lama lagi, kami berencana melakukan serangan secara bergerilya. *** Di suatu malam yang hening dan sungai, diiringi nyanyian gemericik air sungai yang mengalir deras, para pasukan yang tadi berlatih perang di siang hari telah terlelap dalam tidurnya yang panjang. Entah mengapa, dari tadi mataku sulit sekali dipejamkan. Perasaanku tidak tenang. Naluriku mengatakan bakal terjadi sesuatu terhadap kami. Tapi dengan cepat aku menepis perasaan itu. Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke kampung halaman di Aceh sana. Sudah lama aku tak mengunjungi istri dan anak-anakku. Bagaimanakah keadaan kalian di sana? Aku hanya bisa berharap semoga Allah Yang Maha Pengasih melindungi mereka semua. Aku menyerahkan segalanya hanya kepada Allah semata. Walaupun aku sangat rindu pada mereka, tapi aku tak mungkin meninggalkan Baginda begitu saja. Orang-orang di sini masih sangat membutuhkan bantuanku. Kuharap mereka bisa mengerti keadaanku. Karena tak bisa tidur, aku keluar dari kamar dan berjalan keliling. Aku terkejut ketika mendapati Baginda masih berdiri termangu, menatap kosong ke langit yang tak berembulan. Tampaknya ia sedang murung. Maka, dengan hati-hati aku mendekatinya. “Maafkan saya Baginda, jika kedatanganku telah menganggu Baginda!” “Tidak , Teuku. Malah aku merasa senang kamu datang kemari,” timpal Baginda sembari mempersilahkan aku untuk duduk. “Sepertinya Baginda sedang murung. Kalau boleh saya tahu, apa yang menyebabkan Baginda demikian?” “Kau benar. Entah mengapa malam ini aku merasa sangat sedih sekali. Aku melihat keluarga dan rakyatku banyak yang gugur. Demikian pula yang terjadi saat pengungian. Aku harap untuk selanjutnya tidak banyak jatuh korban lagi,” katanya dengan mimik serius dan mengerutkan kening. “Saya juga ikut prihatin atas apa yang telah menimpa pada keluarga dan rakyat Baginda. Begitulah Baginda, bukankah setiap perjuangan butuh pengorbanan?” “Benar apa yang kau katakan. Tapi aku merasa, perjuanganku yang sudah hampir tiga puluh tahun belum membuahkan hasil sesuai yang aku harapkan.” “Kita tidak boleh berputus asa, Baginda. Mungkin belum waktunya kita meraih kemenangan itu saat ini, bisa jadi kelak anak-cucu kita yang akan menikmatinya. Yang pasti, kita harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Percayalah Baginda, usaha yang kita lakukan hari ini tidaklah sia-sia,” kataku berusaha menguatkan hati Baginda yang sedang gundah-gulana. “Terima kasih sahabatku. Aku senang memiliki panglima sepertimu. Engkau bisa menguatkanku di saat aku sedang lemah seperti ini,” ungkap Baginda tulus. “Lebih baik sekarang Baginda beristirahat. Esok hari masih banyak masalah penting yang harus kita pikirkan.” *** Pagi itu, kami sedang mengadakan pertemuan untuk membahas penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Balige. Tiba-tiba Teuku Sagala datang dengan tergopoh-gopoh. “Ampun Baginda, di pinggir huta, saya pasukan Belanda sedang menuju ke mari.” “Apa? Mengapa Belanda sampai tahu tempat ini? Adakah mata-mata mereka di sini, atau …adakah yang berkhianat di antara kita?” kata Baginda dengan muka memerah, ia sangat terkejut dengan laporan Teuku Sagala. “Maaf Baginda. Bukan saatnya kita mencari-cari siapa yang telah memberitahukan tempat ini. Lebih baik kita segera berkemas-kemas untuk meninggalkan tempat ini, sebelum mereka berhasil menemukan kita.” Baginda dan para hadirin semua sepakat untuk segera mengungsi. Dalam waktu singkat, kami sudah meninggalkan Si Onomhudon untuk kemudian menyusuri Lae Simonggo menuju ke hulu. Namun, tanpa kami duga sebelumnya, ketika kami tiba di tepi jurang yang amat dalam di Sibulbulon, Belanda sudah berada di belakang kami. Tiada jalan lagi bagi untuk lari. “Wahai si Raja Bakkara. Lebih baik engkau dan pasukanmu menyerah. Jika engkau mau menyerah, kami berjanji akan menjadikan engkau Sultan di tanah Batak,” seorang pemimpin pasukan Belanda berseru kepada Baginda. “Tidak. Aku tidak akan menyerah. Lebih baik aku mati berkalang tanah daripada harus tunduk pada manusia biadab macam kalian!” jawab Baginda tegas dan lantang. “Coba engkau pikirkan lagi. Kami masih memberikan kesempatan kepadamu.” “Sekali berkata tidak, selamanya tetap tidak. Seharusnya kalianlah yang harus enyah dari bumi kami!” Akhirnya, perang pun tak terhindarkan lagi. Pertempuran yang tak seimbang. Kami benar-benar terdesak, tak mampu mengimbangi kekuatan lawan. Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra Baginda tewas tertembak, disusul kemudian Putri Lopian, putri Baginda yang baru berumur 18 tahun tertembak pula. Melihat putrinya tertembak, Baginda yang sedari tadi bersembunyi keluar dan berhambur memeluk putri kesayangannya itu. Darah Putri Lopian melumuri badan Baginda. Saat itulah muncul marsose Hamisi yang berdarah Maluku, melepaskan tembakan tepat mengenai jantung Baginda. Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, aku sempat mendengar Baginda berdoa, “Ya Ompu Debata Mulajadi Na Bolon!, lindungilah bangsaku ini dari tangan musuh yang durhaka.” Tubuh perkasa itu pun ambruk ke bumi. Darah yang mengalir deras dari jantungnya mengharumkan bumi Batak yang suci. Bumi yang tak rela dinistai. Bunga pertiwi telah pulang ke pangkuan Ilahi. Kulihat pasukan Belanda tersenyum penuh kemenangan, tapi sebenarnya kamilah yang menang. Rawamangun, 19-07-2010. Footnote [1] Balai Kerajaan [2] Si Mata Putih (Belanda) [3] Raja panutan [4] Maklumat perang [5] Makan sirih

Video Pelatihan