Our Community

Our Community
Forum Lingkar Pena Depok

Our Event

Our Event
Depok Dalam Puisi

Our Training Program

Our Training Program
BATRE

Our Family

Our Family
Want to be one of us?

Mau Daftar? Klik Gambar Ini!

Si Bottar Mata

Sabtu, 26 Februari 2011

Cerpen Muhammad Trimanto Lelaki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak biasanya ia bermuka tegang dengan mata merah menyala. Bibirnya mengatup rapat. Napasnya terdengar kencang. Para hadirin yang duduk melingkar di rumah panggung yang besar semakin resah menantikan raja Bakkara itu bicara. Hening seperti mencekam urat nadi. Tak ada yang berani mengeluarkan suara di Bale Pasogit[1] itu. Diiringi terpaan angin yang dingin dan nyanyian hewan malam yang saling bersahutan, Baginda Sisingamangaraja XII beranjak dari duduknya dan mulai berkata, “Belanda tidak hanya menguasai dan menjajah Aceh dan negeri-negeri lainnya, mereka kini telah menginjakkan kaki mereka di tanah kita. Setelah berhasil menguasai Singkil, Barus dan Sibolga, mereka terus meluaskan daerah kekuasaannya sampai ke mari. Bahkan, satu hal yang sangat tidak kumengerti, mengapa Raja Pontas malah memberikan hak guna tanah kepada Si Bottar Mata[2] di Silindung. Apa pendapat kalian mengenai hal ini?” Lalu para Bius secara silih berganti mengemukakan pendapat mereka. Secara umum aku bisa menangkap bahwa mereka menyatakan sangat kecewa atas tindakan Raja Pontas. Mereka juga tidak ingin jika Belanda menguasai tanah para leluhur mereka. “Lalu, bagaimana dengan pendapatmu, Teuku Idris?” Baginda meminta pendapatku. “Kami orang Aceh sudah lama memaklumkan perang terhadap Belanda. Kami sangat tidak rela jika tanah kami dijajah. Sepertinya Belanda hendak menguasai seluruh negeri di Nusantara ini. Maka, tidak lain dan tidak bukan, kita harus bahu-membahu untuk melawan mereka.” Begitulah, pertemuan itu berlangsung hingga tengah malam. Para hadirin sepakat untuk mengusir Si Mata Putih dari Benua Eropa itu. Aku sendiri merasa sangat dihargai oleh keluarga besar Sisingamangaraja XII. Aku dan kawan-kawan sengaja dikirim oleh Sultan Aceh untuk menjadi panglima sekaligus melatih kemiliteran bagi rakyat di Bakkara dan sekitarnya. Hubungan kami dengan penduduk setempat begitu akrab dan harmonis. Persaudaraan ini telah terjalin baik sejak ratusan tahun lalu. Apalagi beberapa waktu lalu, Baginda baru saja pulang dari Aceh untuk belajar ketatanegaraan, bahasa, strategi perang dan pengenalan huruf Arab. *** Setelah memiliki hak guna tanah di Silindung, akhirnya Belanda mengeluarkan maklumat bahwa seluruh tanah Batak menjadi jajahannya, rakyat dan para raja harus tunduk dan melatakkan senjata. Mendengar hal tersebut, amarah Baginda meledak hebat. Harga diri dan rakyatnya telah diinjak-injak. Segera Baginda menemui Raja Pontas. Ia ingin mempertanyakan sikap Raja Pontas yang sangat menguntungkan Belanda tersebut. Namun, tak dinyana oleh kami, ternyata di belakang Raja Pontas, Belanda telah bersiap-siap untuk melakukan penyerangan. Ternyata Raja Pontas telah bersekongkol dengan penjajah. Akhirnya, Sisingamangaraja XII dan para raja ihutan[3] di Balige mengadakan rapat raksasa. Dari rapat inilah segenap rakyat dan raja mengumumkan pulas[4] terhadap Belanda. Aku dan kawan-kawan dari Aceh sangat mendukung keputusan itu. Sejak awal, kami telah berbaiat kepada Baginda, teguh bersumpah setia dan akan tetap bersama Baginda sampai titik darah penghabisan. Perang demi perang pun dimulai. Aku ikut serta dalam pertempuran di Bahal Batu, di Humbang, dan di Lintong Nihuta. Pada pertempuran ini, kami masih bisa menghadang gerak maju pasukan Belanda. Tetapi, ketika bertempur di kawasan Tangga Batu-Balige, kami terdesak. Tiada lama berselang, dan tanpa kami duga sebelumnya, Belanda menyerang pusat kerajaan Sisingamangaraja XI di Bakkara. Tanpa persiapan apapun dan jumlah kami yang tidak terlalu banyak membuat kami tak bisa berbuat banyak. Kaum penjajah itu dengan beringas membombardir dan membakar rumah-rumah dan bangunan kerajaan. Ruma Bolon, Ruma Parsantian, Sopo Bolon, Sopo Godang, Bale Pasogit, Bale Partangiangan, Bale Bius, semuanya hancur rata dengan tanah. Kami semua hanya bisa menangis dan meratap melihat istana kerajaan Sisingamangaraja XII yang tinggal puing-puing. “Inilah kehancuran yang kedua, setelah sebelumnya kami pernah diserang oleh kaum Pidori,” kata Baginda lirih. Untuk menghindari jatuhnya korban di pihak kami, maka kami semua mengungsi ke Huta Paung untuk seterusnya menuju Lintong Harianboho. Setahun kemudian, setelah merasa aman, kami pun kembali ke Bakkara. Baginda dan keluarga membangun kembali di atas puing-puing kerajaannya. Selain itu, Baginda sangat giat mengadakan pendekatan keapda berbagai bius agar ikut dalam penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Balige. Setelah mendapat dukungan yang cukup kuat, Baginda memutuskan untuk secepatnya menyerang Balige. Pasukan rakyat Bona Pasogit berbondong-bondong berkumpul di Uluan untuk membantu serangan. Sayang, rencana serangan ini bocor karena ulah mata-mata Belanda. Ribuan barisan rakyat banyak yang gugur, bahkan Baginda sendiri sempat terluka. Akhirnya kami pun menyingkir kembali ke Bakkara. Selang dua bulan kemudian, Belanda yang haus darah kembali menyerbu Bakkara dan membumi-hanguskan pusat kerajaan. Kami terpaksa mengungsi ke Huta Paung dan Lintong Harianboho lagi. *** Aku bersama ribuan orang lainnya berjalan beriringan, menaiki bukit dan menuruni lembah, menyeberangi sungai, menerobos rimbunnya pohon hutan belantara. Panas dan hujan, onak dan duri, lelah dan letih, semuanya mengiringi langkah kami untuk menemukan tempat persembunyian yang aman. Baginda memutuskan untuk melakukan perang gerilya setelah setelah di Huta Paung dan Lintong Harianboho tak mampu lagi menahan serangan Belanda. Mereka terlalu kuat untuk dihadapi secara langsung. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, sampailah kami di Si Onomhudon, sebuah huta di pedalaman Dairi. Masyarakat setempat belum bisa menerima kami dengan baik. Kehidupan kami amatlah sulit. Bersembunyi di tengah hutan yang pekat dengan pohonnya yang sangat tinggi, bahkan di beberapa tempat, sinar matahari tak bisa menembus ke bawah. Kami makan buah dan dedaunan yang ada di hutan. Baginda dan keluarganya sangat berpantang makan daging babi, sehingga kebutuhan lauk hanya dari ikan. Kebetulan tak jauh dari tempat kami ada sungai besar dengan ikannya yang sangat melimpah. Ikan-ikan yang kami tangkap kami bungkus dengan daun sungkit, lalu kami panggang di atas bara. Jika kami memasaknya sampai matang benar, ikan-ikan itu bisa awet dua hingga tiga minggu lamanya. “Sedapatkan mungkin, jangan sampai kita membuat api yang besar sehingga menimbulkan asap yang membumbung. Hal ini akan membuat tempat kita mudah diketahui oleh musuh,” kata Baginda sambil mardembam[5]. Kami yang mendengarkan tidak berani berucap, hanya mengangguk sebagai tanda persetujuan. “Kita harus sangat berhati-hati, di sekitar kita banyak sekali mata-mata yang tergiur dengan hadiah besar jika bisa memberikan informasi tentang keberadaan kita di sini. Selain itu, kuharap kalian bisa bersabar dengan keadaan kita sekarang ini. Untuk meminta bantuan ke Silindung maupun Balige yang telah dikuasai oleh Belanda sangatlah tidak mungkin. Demikian pula misi Zending yang telah membawa perubahan besar dalam kehidupan orang Batak. Beberapa pejuang yang tadinya menyokong perjuangan kami, meletakkan senjata untuk menerima iman dan hidup baru.” *** Dalam waktu yang tidak lama dan dengan semangat yang membara, kami berhasil membangun huta yang baru di Pea Raja, lengkap dengan Bale Pasogit sebagai pusat kerajaan. Kami bercocok tanam dan beternak. Kami juga mendulang emas untuk membeli senjata-senjata baru. Tak lupa kami juga terus berlatih perang. Aku sendiri termasuk salah satu pelatihnya. Ketika aku sedang melatih para sukarelawan perang, Baginda mendekatiku. Sambil menepuk-nepuk bahuku ia berkata, “Aku benar-benar sangat bangga denganmu dan kawan-kawanmu. Kalian adalah para pendekar Aceh yang teguh pendirian, sangat gigih menentang Belanda dan taat beragama. Tanpa peran dan jerih-payah kalian, mungkin kami sudah binasa sejak dulu.” “Baginda terlalu memuji. Bukankah membela tanah air adalah kewajiban setiap warga negara. Dan itu bisa kita lakukan apabila kita bersatu.” “Luar biasa, Teuku. Aku salut pada jiwa kepahlawananmu. Untuk itu, perkenankanlah aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kesetiaanmu padaku selama ini.” Sejenak aku memandang Baginda yang sedang tersenyum padaku. Aku merasakan, apa yang dikatakan oleh Baginda begitu tulus, keluar dari lubuk hatinya yang terdalam. “Aku juga berterima kasih kepada Baginda, karena telah menerimaku dan kawan-kawan dengan sangat baik. Kami merasa telah diperlakukan seperti keluarga sendiri. Kami senang bisa berjuang bersama Baginda, bahkan kami rela menyerahkan nyawa kami demi tanah air ini.” Mendengar ucapanku, Baginda segera memelukku erat sekali. Kami larut dalam keharuan masing-masing. Sementara itu, dedaunan bergorang dan menari, mengikuti irama semilir angin yang berhembus lembut. Awan putih berarak penuh semangat mengiringi gerak dan langkah para sukarelawan yang sedang berlatih perang. Tidak lama lagi, kami berencana melakukan serangan secara bergerilya. *** Di suatu malam yang hening dan sungai, diiringi nyanyian gemericik air sungai yang mengalir deras, para pasukan yang tadi berlatih perang di siang hari telah terlelap dalam tidurnya yang panjang. Entah mengapa, dari tadi mataku sulit sekali dipejamkan. Perasaanku tidak tenang. Naluriku mengatakan bakal terjadi sesuatu terhadap kami. Tapi dengan cepat aku menepis perasaan itu. Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke kampung halaman di Aceh sana. Sudah lama aku tak mengunjungi istri dan anak-anakku. Bagaimanakah keadaan kalian di sana? Aku hanya bisa berharap semoga Allah Yang Maha Pengasih melindungi mereka semua. Aku menyerahkan segalanya hanya kepada Allah semata. Walaupun aku sangat rindu pada mereka, tapi aku tak mungkin meninggalkan Baginda begitu saja. Orang-orang di sini masih sangat membutuhkan bantuanku. Kuharap mereka bisa mengerti keadaanku. Karena tak bisa tidur, aku keluar dari kamar dan berjalan keliling. Aku terkejut ketika mendapati Baginda masih berdiri termangu, menatap kosong ke langit yang tak berembulan. Tampaknya ia sedang murung. Maka, dengan hati-hati aku mendekatinya. “Maafkan saya Baginda, jika kedatanganku telah menganggu Baginda!” “Tidak , Teuku. Malah aku merasa senang kamu datang kemari,” timpal Baginda sembari mempersilahkan aku untuk duduk. “Sepertinya Baginda sedang murung. Kalau boleh saya tahu, apa yang menyebabkan Baginda demikian?” “Kau benar. Entah mengapa malam ini aku merasa sangat sedih sekali. Aku melihat keluarga dan rakyatku banyak yang gugur. Demikian pula yang terjadi saat pengungian. Aku harap untuk selanjutnya tidak banyak jatuh korban lagi,” katanya dengan mimik serius dan mengerutkan kening. “Saya juga ikut prihatin atas apa yang telah menimpa pada keluarga dan rakyat Baginda. Begitulah Baginda, bukankah setiap perjuangan butuh pengorbanan?” “Benar apa yang kau katakan. Tapi aku merasa, perjuanganku yang sudah hampir tiga puluh tahun belum membuahkan hasil sesuai yang aku harapkan.” “Kita tidak boleh berputus asa, Baginda. Mungkin belum waktunya kita meraih kemenangan itu saat ini, bisa jadi kelak anak-cucu kita yang akan menikmatinya. Yang pasti, kita harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Percayalah Baginda, usaha yang kita lakukan hari ini tidaklah sia-sia,” kataku berusaha menguatkan hati Baginda yang sedang gundah-gulana. “Terima kasih sahabatku. Aku senang memiliki panglima sepertimu. Engkau bisa menguatkanku di saat aku sedang lemah seperti ini,” ungkap Baginda tulus. “Lebih baik sekarang Baginda beristirahat. Esok hari masih banyak masalah penting yang harus kita pikirkan.” *** Pagi itu, kami sedang mengadakan pertemuan untuk membahas penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Balige. Tiba-tiba Teuku Sagala datang dengan tergopoh-gopoh. “Ampun Baginda, di pinggir huta, saya pasukan Belanda sedang menuju ke mari.” “Apa? Mengapa Belanda sampai tahu tempat ini? Adakah mata-mata mereka di sini, atau …adakah yang berkhianat di antara kita?” kata Baginda dengan muka memerah, ia sangat terkejut dengan laporan Teuku Sagala. “Maaf Baginda. Bukan saatnya kita mencari-cari siapa yang telah memberitahukan tempat ini. Lebih baik kita segera berkemas-kemas untuk meninggalkan tempat ini, sebelum mereka berhasil menemukan kita.” Baginda dan para hadirin semua sepakat untuk segera mengungsi. Dalam waktu singkat, kami sudah meninggalkan Si Onomhudon untuk kemudian menyusuri Lae Simonggo menuju ke hulu. Namun, tanpa kami duga sebelumnya, ketika kami tiba di tepi jurang yang amat dalam di Sibulbulon, Belanda sudah berada di belakang kami. Tiada jalan lagi bagi untuk lari. “Wahai si Raja Bakkara. Lebih baik engkau dan pasukanmu menyerah. Jika engkau mau menyerah, kami berjanji akan menjadikan engkau Sultan di tanah Batak,” seorang pemimpin pasukan Belanda berseru kepada Baginda. “Tidak. Aku tidak akan menyerah. Lebih baik aku mati berkalang tanah daripada harus tunduk pada manusia biadab macam kalian!” jawab Baginda tegas dan lantang. “Coba engkau pikirkan lagi. Kami masih memberikan kesempatan kepadamu.” “Sekali berkata tidak, selamanya tetap tidak. Seharusnya kalianlah yang harus enyah dari bumi kami!” Akhirnya, perang pun tak terhindarkan lagi. Pertempuran yang tak seimbang. Kami benar-benar terdesak, tak mampu mengimbangi kekuatan lawan. Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra Baginda tewas tertembak, disusul kemudian Putri Lopian, putri Baginda yang baru berumur 18 tahun tertembak pula. Melihat putrinya tertembak, Baginda yang sedari tadi bersembunyi keluar dan berhambur memeluk putri kesayangannya itu. Darah Putri Lopian melumuri badan Baginda. Saat itulah muncul marsose Hamisi yang berdarah Maluku, melepaskan tembakan tepat mengenai jantung Baginda. Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, aku sempat mendengar Baginda berdoa, “Ya Ompu Debata Mulajadi Na Bolon!, lindungilah bangsaku ini dari tangan musuh yang durhaka.” Tubuh perkasa itu pun ambruk ke bumi. Darah yang mengalir deras dari jantungnya mengharumkan bumi Batak yang suci. Bumi yang tak rela dinistai. Bunga pertiwi telah pulang ke pangkuan Ilahi. Kulihat pasukan Belanda tersenyum penuh kemenangan, tapi sebenarnya kamilah yang menang. Rawamangun, 19-07-2010. Footnote [1] Balai Kerajaan [2] Si Mata Putih (Belanda) [3] Raja panutan [4] Maklumat perang [5] Makan sirih

0 komentar:

Posting Komentar

Video Pelatihan