Cerpen Denny Prabowo
Dimuat di Aneka Yess
Ups… kenapa Dino jadi terbayang-bayang wajah indonya si Dilla ya? Dino buru-buru menepis bayangan itu.
“Percaya sama ramalan bintang??? Uh, gak banget, deh!” Dino memang paling tidak percaya dengan yang namanya ramal-meramal. Apalagi ramalan bintang. Dia suka keki kalau melihat kedua sohibnya baca majalah, pasti rubrik zodiak yang pertama kali mereka baca. Mending kalau hanya sekedar iseng-iseng saja… nggak jarang, mereka benar-benar terpengaruh dengan isi ramalan di majalah yang dibacanya. Temo, sobat Dino yang sebangku dengannya pernah bete abis hanya gara-gara membaca isi ramalan di salah satu majalah remaja yang mengatakan, “Kekasihmu punya affair dengan cowok lain”. Lain lagi dengan Ello, sahabat Dino yang duduk di belakang bangku Dino dan Temo itu pernah membatalkan janjinya hanya karena tak berani keluar pas tanggal 13. “Menurut ramalan di majalah, hari ini merupakan hari sial gue, Din! Gue gak berani pergi ke mana-mana. Takut terjadi apa-apa.” Uh, nyebelin banget kan? “Bintang lo capricornus kan, Din?” tanya Ello di bangkunya, 15 menit sebelum bel masuk berbunyi. “He’eh,” jawab Dino tanpa menoleh. Kepalanya rebah di atas meja. Malas. “Mmh…” Dino menegakkan kepala. Menoleh ke arah Ello yang masih menekuni majalahnya. “Maksudnya apa, tuh?” “Hah?” “Deheman lo barusan?” “Oh…” Ello tak lantas menjawab. Matanya yang jeli belum bergeming dari lembar majalah yang sedang dibacanya.
Kening Dino mengerut. Makin bingung. “Ello!” “Apa?” “Elo belum jawab pertanyaan gue barusan!” “Yang mana?” “Duh… lo kok jadi pikun begini, seh?!” Dino keki, “Maksud deheman lo barusan apa?” Ello tersenyum. Sukses dia menarik perhatian sahabatnya itu. “Ini Din, menurut ramalan bintang capricornus di majalah ini, ada seseorang yang diam-diam suka memperhatikan lo. Yah, semacam penggemar misterius gitu kali, ya?” “Eh, cantik gak… cantik gak?” “Mmh… gak ditulis, tuh.” “Yah… basi!” Dino kembali merebahkan kepalanya di meja. Temo muncul tiba-tiba dari balik pintu kelas. Melempar tasnya ke meja. Mengeluarkan sebuah majalah dari dalam tasnya. “Liat deh, Din!” “Apa?” jawabnya dengan mata yang setengah terpejam. Temo mengguncang-guncang tubuh Dino, sampai cowok itu membuka mata lebar. “Uh, gangguin orang aja!” “Ini penting, Din. Dengar ya. ‘Asmara: Buka mata, buka telinga. Seseorang di sekolah lo diam-diam memendam perasaan cintanya kepada lo’, begitu kata ramalan bintang elo minggu ini.” “Hah?” Ello merebut majalah dari tangan Temo, “kok mirip-mirip sama ramalan di majalah yang lagi gue baca, sih?” “Masa, sih?” Temo mengambil majalah milik Ello, dan membaca ramalan bintang di dalamnya. Ello dan Temo tampak serius menekuni kalimat demi kalimat ramalan bintang capricornus di majalah. Sampai terdengar suara… “Ggggrrrrooookkkhhhh…!” Suara dengkur si Dino yang tertidur lelap di mejanya. Ello dan Temo bertukar pandang. Melihat ke arah Dino. “Dasar!” Bel masuk berbunyi. Para siswa mulai menempati mejanya. Dino masih saja asyik mendengkur. Kegemarannya menulis cerpen sampai larut malam, membuat cowok yang punya cita-cita menjadi penulis ternama itu sering ketiduran di dalam kelas. Sudah lumayan banyak cerpen-cerpennya yang dimuat di majalah remaja. Bu Nita, guru akutansi yang juteknya nggak ketulungan itu masuk ke dalam kelas. Emh… sepertinya sebentar lagi bakalan ada yang kena semprot, nih… “Dinnnnnoooooooooo…!!!” Tuh, kan.
“Kayaknya si Ratna, deh.” “Kalo menurut gue sih, si Pratiwi.” “Kalo Ati gimana?” “Atau… si Savitri?” “Mmh…” Kepala Dino mondar-mandir memandang ke arah Ello dan Temo, persis orang yang sedang menonton pertandingan bulu tangkis. Saat itu mereka sedang berada di kantin sekolah pas jam istirahat pertama. “Kalian pada ngomongin apaan sih?” “Eh, menurut lo siapa, Din?” “Siapa apanya?” Dino bingung ditanya begitu oleh Ello. “Cewek!” tukas Ello, “cewek yang diem-diem naksir sama lo!” “Savitri ya, Din?” sambar Temo, “Dia kan udah dari kelas satu naksir sama lo.” “Pasti Ratna yang gak bisa ngomong huruf R itu ya, Din?” Ello tak mau kalah, “Ratna pernah secara nggak langsung ngomong ke gue kalau dia naksir sama lo.” “Masa, sih?” “Tapi gue sering memergoki si Pratiwi, ketua kelas kita yang jutek itu mencuri-curi pandang ke arah lo,” ujar Ello. “Ah, gak mungkin si Pratiwi, dia kan udah punya Bayu,” bantah Temo, “Kalo Ati gue percaya.” “Duh… nggak ngerti, ah!” Dino segera melarikan diri meninggalkan kantin yang mulai sepi ditinggalkan para siswa, setelah puas mengisi perut mereka, dan kembali ke kelasnya masing-masing. “Heran, kok bisa ya ada orang yang begitu terpengaruh dengan isi ramalan di majalah? Bagaimana mungkin, individu yang berbeda dengan zodiak yang sama, memiliki peruntungan yang sama pula?! Nonsense!” “Ups!” hampir saja Dino ditabrak seseorang ketika dia hendak masuk ke kelasnya. “S-sori?” ucap seseorang yang wajahnya sangat cantik. Bule. Begitu anak-anak kelas tiga biasa memanggilnya. Adik kelas Dino yang tampangnya sering nongol di sampul majalah itu punya nama asli Dilla. Mamanya orang Jawa, papanya asli Amerika. “Ah, gak pa-pa, kok,” ucap Dino sambil menundukkan pandangnya, takut terkena sihir mata biru Dilla yang luar biasa indah. Tapi baru saja dia hendak melangkahkan kakinya, Dilla kembali membuka suara.
“Hei!” ucap Dilla membuat Dino urung melangkah, “Elo Dino, kan? Yang cerpennya suka dimuat di majalah remaja?” Dino mengangguk. Takjub. Kali ini dia tak berhasil menghindari mata biru Dilla. “Wah… gue suka baca cerpen-cerpen elo, lho… keren! Eh, ternyata yang nulisnya juga keren!” Dino melambung. Siapa yang tidak? Dipuji cewek sekeren Dilla, jelas bisa menaikan pasaran. Apalagi waktu Dilla mengucapkan itu, banyak teman-teman sekelas yang juga mendengarnya. “Kapan-kapan kita ngobrol-ngobrol lagi, ya? Gue pingin banget bisa nulis cerpen seperti lo.” Lagi-lagi Dino hanya bisa mengangguk. Tak mampu berucap. Bahkan setelah Dilla meninggalkan senyum dan berlalu dari hadapannya. Dino masih saja membeku di tempatnya. “Duh… ada yang mukanya berubah jadi kepiting rebus, nih…” goda Ello yang berdiri di sebelah Temo. Entah sejak kapan mereka ada di situ. Dino tidak menyadarinya. Dino tersipu malu. *** Sebuah majalah tergeletak di atas meja beranda depan rumah Dino. Cowok item manis itu tersenyum memungutnya. Dia selalu mendapatkan kiriman majalah itu setiap kali cerpennya dimuat di sana. Honornya lumayan. Bisa buat traktir teman-temannya. Di kamarnya, Dino membuka-buka lembar demi lembar majalah. Sampai di rubrik Zodiak Kamu. Biasanya Dino selalu melewatkan halaman itu. Tapi entah mengapa, kali itu dia tertarik membaca ramalan bintangnya. Mungkin Dino mulai ketularan kedua sahabatnya. “Asmara. Mmh… si dia sudah berani menyapa. Pelan-pelan saja. Kalo jodoh nggak bakal ke mana.” Tiba-tiba Dino tersenyum. Ups… kenapa Dino jadi terbayang-bayang wajah indonya si Dilla ya? Dino buru-buru menepis bayangan itu. Istigfar tiga kali. Tapi… nggak sukses! Wajah itu nempel seperti ketan di dinding ingatan, melekat di retina matanya. Ke manapun dia memandang, wajah Dilla ada di sana, di mana-mana. Bahkan di dalam tidur pun, wajah itu seolah tak rela melepaskan Dino dari bayang-bayangnya! Dan cerita pun mengalir seperti sungai, berembus seperti angin. Bukan sekedar sapaan dengan sedikit senyum dan basa-basi di ambang pintu kelas lagi, Dino dan Dilla jadi sering terlihat bersama—meski tak pernah hanya berdua—di sudut-sudut sekolah. Selalu ada Ello dan Temo, atau salah satu di antara keduanya yang selalu ikutan nimbrung. Untungnya Dilla tidak pernah merasa keberatan. Dia malah senang!.
“Jangan-jangan ramalan bintang itu benar? Jangan-jangan memang ada seseorang yang diam-diam lagi naksir gue? Jangan-jangan orang itu Dilla? Jangan-jangan…” “Hayo!” kejut Ello yang tanpa sepengetahuan Dino sudah menelusup ke dalam kamarnya, membuat Dino terlonjak. “Lagi ngelamunin Dilla, ya?” “Idih, siapa bilang?” “Alaaa… gak usah mungkir, deh! Muka lo udah menjelaskan!” ledek Ello yang wajahnya nggak kalah keren sama artis sinetron itu. “Ada apa dengan muka gue?” Dino meraba-raba wajahnya yang merona merah. Ello mengembil cermin dan membentangkannya di hadapan Dino. “Liat aja sendiri, muka lo udah persis kayak kepiting rebus! Masih mau membantah?” Dino tersipu-sipu. Malu. Belakangan ini dia memang benar-benar telah menjadi tawanan bagi wajah cantik Dilla. Benar-benar tak mampu melepaskan diri. Jangan-jangan si Dino sudah jatuh cinta dengan pemilik mata biru itu? Wah, bakal jadi berita yang menghebohkan, nih. Dino memang belum pernah jatuh cinta dengan cewek sebelumnya. Cinta pertama? Mungkin. Tapi, Dino masih belum yakin dengan perasaannya. “Baca deh, Din!” Ello memberikan majalah yang sudah terbuka halamannya kepada Dino. Rubrik ramalan bintang. “Inilah saat paling tepat untuk menyatakan perasaanmu kepadanya,” Dino membaca ramalan asmara bintangnya. “Tunggu apalagi?” “Tunggu apalagi apanya?” “Buruan tembak Dilla!” “Emang gue polisi maen tembak-tembak segala? Lagian, siapa yang naksir sama Dilla?” “Huh. Masih mau ngelak. Nanti kalo keduluan orang baru tau rasa, lho!” “Biarin!” “Bener, nih? Nggak nyesel?” “NO WAY!” Ello hanya tersenyum mendengar jawaban dari Dino.
Tingginya gunung dapat di daki, luasnya gurun dapat di seberangi, dalamnya lautan dapat diselami. Tapi, siapa dapat menerka isi hati? Meski Dino berusaha mati-matian mengingklari perasaannya, dia tak sanggup menyembunyikan perasaan dari dirinya sendiri. Dia bukan saja mulai memercayai ramalan bintang di majalah. Dia bahkan mulai berharap Dilla merupakan seseorang yang diam-diam menaruh hati kepadanya, seperti yang diramalkan di majalah. Sikap Dilla seolah menjawab harapan Dino. Tapi, mengapa Dilla belum mau juga menyatakan cintanya? Ah, gimana sih, si Dino… harusnya kan cowok yang nyatain duluan! “Inilah saat yang tepat untuk menyatakan perasaanmu kepadanya,” Dino teringat dengan ramalan bintang yang dibacanya di majalah beberapa waktu lalu. “Tapi… gimana kalo si Dilla nolak gue ya? tapi sikapnya sih… Dan ramalan bintang itu…” Suara ponselnya berbunyi. Dino memungutnya dari meja belajar di samping ranjang tidurnya. “Dilla?” Nama itu muncul di monitor handphone-nya. Dino tersenyum. Lalu menerima telepon itu. “Assalamu alaikum!” “Waalaikumussalam.” “Ada apa? Kok tumben nelepon gue, sih?” “Mmm… begini, Din, sebenarnya udah lama gue mau ngomong ini ke lo. Tapi gue malu. Apalagi gue cewek. Dan gue gak tau harus mulai dari mana.” “Kenapa harus malu? Emang apa sih yang mau lo omongin?” pancing Dino. “Ehm… ee… elo mau nggak jadi…” “Mau! Mau!” jawab Dino spontan sebelum Dilla menyelesaikan ucapannya. “Hah? Yang bener, Din?” “Bener…” kali ini Dino terdengar malu-malu. “Wah, makasih ya, Din!” ucap Dilla senang, “Udah lama gue naksir sama Ello, makasih ya lo mau nyomblangin gue sama Ello!” Deg! Dino membeku. Kelu. Tak tahu harus berkata apa. Handphone-nya terjatuh. “Hik… hik… hik…” taMat.
0 komentar:
Posting Komentar