Our Community

Our Community
Forum Lingkar Pena Depok

Our Event

Our Event
Depok Dalam Puisi

Our Training Program

Our Training Program
BATRE

Our Family

Our Family
Want to be one of us?

Mau Daftar? Klik Gambar Ini!

Mencuri dari Buku

Senin, 29 November 2010

Oleh Denny Prabowo Sumber: Dari Mana Datangnya Ide. Jakarta: Balai Pustaka, 2009 Satu kali dalam sebuah workshop teater di Taman Ismail Marzuki, Slamet Rahardjo Jarot mengatakan kepada para peserta, “Jika karya tak mau ditafsir orang, sebaiknya simpan saja di dalam lemari.” Sebuah karya ketika telah dipublikasi maka ia bukan lagi hanya menjadi milik penulisnya, melainkan juga milik pembaca. Pembaca bebas memberi makna kepada karya tersebut. Dalam cerpenya, ”Abracadabra”, Danarto menghidupkan tokoh fiktif dalam lakon Hamlet karya William Shakespeare. Diceritakan Hamlet bersama sahabatnya Horatio mengarungi ruang dan waktu. Tokoh Hamlet di tangan Danarto tidak ditampilkan sebagaimana dalam lakon karangan Sakespeare yang pembimbang dan ragu. Bahkan secara plot pun cerpen itu seolah tak ada hubungannya sama sekali dengan lakon Hamlet. Danarto memanfaatkan Hamlet sekadar sebagai sarana untuk mengungkapkan pemikirannya yang tentu saja berhubungan dengan tokoh karangan Shakespeare itu. Ia menafsir ulang tokoh itu. Dalam cerpen itu, Danarto sebagai penulis masuk ke dalam cerita dan berdialog dengan Hamlet.
“Ya, menarik sekali. Tapi ngomong-ngomong kamu ini siapa?” “Saya penulis karangan ini.” “Lho, lantas bagaimana kamu bisa berhubungan denganku? Sebab, aku kira letak kita amat berjauhan dan di alam yang sangat berlainan.” “Saya tidak tahu. Tapi kau jelas tampak dan kata-katamu jelas kedengaran di telingaku.” “Lho, menarik sekali. Kenapa kau bisa, sedang Horatio tidak?” “Saya tidak tahu. Tapi mungkin karena saya penulis karangan ini.” (Danarto, 1987: 149)
Jika Danarto sekadar “mencuri” tokoh Hamlet dan menghadirkannya dalam ruang dan waktu yang berbeda, Taufik el Hakim, pengarang dari Mesir lain lagi. Ia bahkan melanjutkan lakon Romeo dan Juliet yang terkenal itu! Kamu pasti sudah pernah membaca ceritanya atau barangkali menyaksikan pementasannya. Seandainya belum pun, saya yakin kamu pasti tahu kisah cinta Romeo dan Juliet yang berakhir dengan kematian sepasang kekasih yang bersama-sama menenggak racun itu. Kisah cinta mereka harus berakhir tragis karena permusuhan keluarga mereka. Sejak itu, mereka menjadi lambang cinta dan nama mereka hampir tak pernah disebut secara terpisah: Romeo dan Juliet. Dalam cerpen Tongkat El-Hakim, kisah mereka berlanjut di alam kematian. Diceritakan jika sepasang kekasih yang mati karena minum racun itu hidup dan menikah di alam kematian. Namun, pernikahan mereka tidak berjalan seperti yang mereka bayangkan. Romeo ternyata tidak seromantis ketika mereka masih hidup.
“Andaikata nasib memberi kesempatan kepada kami kesempatan lebih panjang lagi, nisacaya kalian akan menyaksikan kegagalan cinta ini. Saya yang kemudian tahu sifat Romeo yang jelek dan kasih sayangnya yang palsu akan menegaskan pada Anda bahwa di dunia ini, saya tidak akan kuat menjadi istrinya lebih dari dua bulan! Romeo juga demikian....” (1988: 201)
Taufik el Hakim memutar balik cerita Romeo dan Juliet. Kamu tentu bisa melakukan hal yang sama. Bagaimana jika keluarga besar mereka justru ingin menjodohkan Romeo dengan Juliet, tapi ternyata kedua anak muda itu saling benci satu sama lain? Atau bagaimana jika kedua orang tua mereka yang meminum racun karena merasa putus asa tak berhasil memisahkan Romeo dan Juliet? Yang perlu kamu lakukan hanyalah mencari variasi lain dari cerita tersebut. Sapardi Djoko Damono memiliki pandangan berbeda dengan Samuel Beckett, pengarang lakon Waiting for Godot. Dalam lakonnya itu Beckett menganggap manusia menunggu maut, sedang Sapardi menganggap Maut yang menunggu manusia—bukankah takdir kematian kita sudah ditetapkan sejak kita masih dalam kandungan? Dari tangan Sapardi pun lahir sejudul cerpen, “Ditunggu Godot”. Dalam bab sebelumnya, saya telah menunjukan pada kalian cerpen “Legenda Wong Asu” karya Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang ditulis berdasarkan ingatan akan sebuah komik karya Bram Laksono (dalam Daging Tumbuh vol. 12/12/00) dan sebuah cerita rakyat dari Kalimantan yang berjudul “Anjing Menjadi Manusia” (Bahkan SGA menyertakan komik dan cerita rakyat itu di belakang cerpennya). SGA (2004: iii) menuturkan, pada gilirannya, “Legenda Wong Asu” mendorong lahirnya cerita “Wong Asu” karya Djenar Maesa Ayu, yang bisa dibaca dalam kumpulan cerpennya; Mereka Bilang, Saya Monyet (2002). Namun, ketiga cerpen itu masing-masing sangat berbeda. Lihat bagaimana cerita-cerita itu saling memengaruhi, yang satu menginspirasi yang lain. Mencuri dari buku bukan berarti kamu melakukan penjiplakan terhadap karya orang lain, melainkan mencari kemungkinan variasi lain dari cerita tersebut. Dalam Notes From Underground, Fyodor Dostoyevsky menulis, “Andaikata aku bisa menjadi seekor serangga!” Frans Kafka mengambil kalimat ini dan menulis “The Metamorphosis”: “Pada suatu pagi, saat Gregor Samsa terbangun dari mimpi buruknya, dirinya telah berubah menjadi seekor serangga besar di tempat tidurnya.” Dalam sebuah reaksi terhadap kalimat pembuka Kafka, Gabriel Garcia Marquez berkata, “Saya tidak tahu bahwa kita dapat menulis hal-hal seperti itu. Jika saja dari dulu saya tahu, saya sudah akan menulis sejak lama.” Marquez menulis “Very Old Man With Enormous Wings” dan memenuhi sayap sang malaikat dengan berbagai macam parasit dan serangga. Saya pernah menghidupkan tokoh dalam cerpen Djenar Maesa Ayu yang berjudul “Melukis Jendela”. Cerpen itu bercerita tentang seorang gadis remaja bernama Mayra. Ia tinggal dengan ayahnya yang sibuk bekerja. Sejak kecil dia tak tahu di mana ibunya. Mayra sering mengalami pelecehan seksual dari teman-teman sekolahnya. Mayra melukis ibunya lalu mengadukan perlakuan teman-temannya itu kepada lukisan ibunya itu. Mengadukan kerinduannya pada Ibu.
“Ibu, apakah Ibu secantik yang mereka katakan? Dan mengapa hanya kecantikan itu saja yang ibu wariskan? Saya ingin Ibu. Saya tidak ingin kecantikan ini.” Lamat-lamat ia merasakan tangan Ibu berhenti mengelus rambutnya. Ibu berjalan menuntunnya ke dapur dan memberinya sebilah pisau. “Sayat wajahmu, Nak....” (2002: hlm. 33—34)
Mayra pun menyayat wajahnya dengan pisau. Ketika lukisan bapak dan ibunya tak lagi dapat memenuhi hasratnya akan kasih sayang, Mayra melukis jendela. Dan bertemu dengan seorang pemuda tampan. Begitulah ceritanya. Saya kemudian berpikir, bagaimana jika Mayra merasa kehidupannya yang dia alami dalam cerpen “Melukis Jendela” diakibatkan oleh penulisnya? Apa yang akan dilakukannya? Bukankah bagi tokoh fiktif, realitas fiksional itu merupakan realitas yang sungguh dialaminya? Saya kemudian teringat dengan pisau yang digunakan untuk menyayat wajahnya. Dan pisau itu yang kemudian digunakan Mayra untuk membunuh penulisnya, Jenarayu, dalam cerpen saya yang berjudul “Mayra”. Baca Cerpen "Mayra" Daftar Bacaan Danarto. 1987. Godlob. Jakarta:Grafiti El-Hakim, Taufiq Dr. 1988. Tongkat El-Hakim. Pustaka Mantiq Ajidarma, Seno Gumira. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang. Damono, Sapardi Djoko. 2003. Membunuh Orang Gila. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Ayu, Djenar Maesa. 2002. Mereka Bilang Saya Monyet. Jakarta: Gramedia Ilustrasi: http://hikingartist.com/art/

0 komentar:

Posting Komentar

Video Pelatihan