***
Duduk dan lakukan! Apakah nasihat Novakovich itu masih terdengar bombastis bagi diri kamu? Sekarang kamu sudah tahu prinsip-prinsipnya. Itu merupakan modal awal bagi kamu untuk masuk ke dunia fiksi. Sebuah dunia yang menawarkan banyak kemungkinan. Dunia rekaan yang bermuasal dari tiruan realitas yang telah mengalami proses pengendapan dalam diri penulis, sebelum melakukan proses pengimajinasian dan melahirkan dunia dalam kata. Selamat memasukinya!
Prinsip-Prinsip Menulis Fiksi
In Angkatan I, In Denny Prabowo, In Materi MenulisMinggu, 22 Agustus 2010
Oleh Denny Prabowo
Duduk dan lakukan! Begitu nasihat Josip Novakovich dalam bukunya, Berguru kepada Sastrawan Dunia. Masalahnya apa yang harus dilakukan kalau tidak ada ide untuk dituliskan? Mungkin itu pertanyaan yang segera muncul di kepala kamu. Suatu kali teman saya, penulis cerpen di majalah remaja, bertanya seperti ini, “Apakah kamu pernah merasa takut kehabisan ide?”
Hmm … rasanya saya lebih takut kehabisan waktu dan motivasi untuk menulis daripada takut kehilangan ide. Bahkan seringkali saya kesulitan menulis, justru karena begitu banyak ide yang berebut minta dituangkan menjadi sebuah cerita.
Yup, ide itu ada di sekitar kita. Terkadang ada di dalam diri kita sendiri. Hanya saja, kita sering lebih suka mencari-cari semut di seberang lautan, sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Lalu bagaimanakah caranya agar gajah di pelupuk mata itu dapat terlihat? Apa yang harus dilakukan, agar kita tak perlu mencari-cari semut di seberang lautan, dan membuat semut-semut itu merubungi kita?
Berikut ini prinsip-prinsip yang dapat kamu terapkan dalam mengelola ide menjadi sebuah fiksi:
Prinsip #1:
Penulis yang baik adalah pengamat yang baik
Seorang penulis sudah semestinya adalah seorang pengamat. Penulis yang baik adalah pengamat yang baik. Pengamat yang baik haruslah memiliki kepekaan dan ketertarikan pada segala hal.
Ketertarikan seorang penulis pada objek yang dianggap remeh dan biasa oleh sebagian orang, membuatnya tak akan pernah kehabisan cerita. Seperti menimbun ide di lumbung imaji.
Seorang teman di FLP pernah mengatakan pada saya, kalau dia tidak suka menulis tentang terminal dan pasar karena menganggap tidak ada hal yang menarik untuk diceritakan.
Bagaimana kita dapat menjadi pengamat yang memiliki kepekaan jika kita membatasi ketertarikan pada sesuatu? Padahal, menjadi pengamat yang baik adalah kunci menjadi penulis yang baik, yang dengannya kita tak akan pernah kehabisan ide cerita untuk dituliskan.
Mulai sekarang buka mata dan telinga. Perhatikan sekitar kamu. Apakah ada yang bisa kamu tuliskan? Jangan melakukan pemilahan berdasarkan kemenarikan. Karena yang kamu anggap tidak menarik, bisa jadi sangat menarik bagi orang lain.
Cobalah belajar untuk mencari hal menarik dari sesuatu yang selama ini kamu anggap tidak menarik. Jika prinsip pertama ini kamu jalankan, kamu tak akan pernah kehabisan bahan cerita untuk dituliskan.
Prinsip #2:
Realitas sebagai bahan mentah
Setelah novel remaja pertama saya, Pemuda dalam Mimpi Edelweiss (Lingkar Pena Publishing House, 2006) diterbitkan, banyak pembaca yang bertanya pada saya melalui email atau ponsel: “Apakah karya itu berdasarkan kisah nyata?”
Novel itu bercerita tentang seorang gadis pendaki bernama Edelweiss. Bukan kebetulan jika saya juga sering naik gunung. Maka banyak pembaca mengira, tokoh Fajar (kakaknya Edelweiss) dalam novel itu tak lain adalah diri saya sendiri. Dan Edelweiss adalah penjelmaan dari adik saya. Kebetulan memang saya dua bersaudara. Dan kebetulan pula adik saya perempuan. Hanya saja, adik saya bukan seorang pendaki, bahkan seumur hidupnya belum pernah mendaki gunung. Kehidupan adik saya jauh dari dunia pendakian. Kalau begitu, bagaimana tokoh Edelweiss itu bisa hadir?
Kalau Plato beranggapan bahwa sastra dan seni hanya peniruan, peneladanan, atau pencerminan dari kenyataan, Aristoteles di pihak lain, beranggapan bahwa dalam proses penciptaan, sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan, tetapi sekaligus menciptakan sebuah “dunia” dengan kekuatan kreativitasnya. Dunia yang diciptakan pengarang adalah sebuah dunia yang baru, dunia yang diidealkan, dunia yang mungkin dan dapat terjadi walau sebenarnya tidak pernah terjadi.
Pendapat Aristoteles ini menjelaskan pada kita, mengapa novel fiksi yang saya tulis, membuat pembaca menduga kalau karya itu ditulis berdasarkan kisah nyata saya. Realitas di dalam dunia fiksi hanyalah bahan mentah untuk mengkreasi “dunia baru”, yaitu dunia fiksi.
Prinsip yang kedua ini, realitas atau kenyataan hidup yang kita alami bukanlah cerita yang sudah jadi, tetapi bahan mentah. Kita perlu mengolah bahan itu agar menjadi sebuah cerita yang menarik untuk dinikmati.
Prinsip #3:
Buku kecil seorang penulis
Berapa usiamu sekarang? 13 tahun? 17 tahun? Atau 21 tahun? Sepanjang kehidupan kamu, sejak dari dalam kandungan sampai pada usiamu yang sekarang adalah kenyataan hidup. Apa saja yang kamu ingat dari perjalanan panjang kehidupanmu itu? Mungkin tidak banyak. Ingatan seringkali melakukan proses seleksi terhadap pengalaman atau realitas yang dialami oleh seseorang.
Akibatnya, tak banyak yang kita ingat. Padahal, seandainya kamu mampu mengingat atau mengetahui keseluruhan perjalanan hidupmu, betapa kamu telah menimbun ide di lumbung imaji. Kamu akan memiliki bahan mentah untuk dikembangkan menjadi sebuah cerita.
Oleh sebab itu, diperlukan sarana yang dapat menampung pengalaman kamu (baik itu pengalaman empiris, pengalaman membaca, atau pengalaman menonton). Semacam buku catatan untuk menampung segala yang pernah kamu lihat, kamu dengar, atau kamu pikirkan.
Tuliskan saja semua yang muncul tanpa mencemaskan apakah hal itu merupakan ide yang baik atau buruk. Tuliskan saja semuanya tanpa melakukan proses seleksi seperti yang dilakukan oleh ingatan kita.
Jika kamu malas mencatatnya atau malas membawa-bawa buku catatan, mengapa kamu tidak mencobanya dengan alat perekam? Prinsip yang ketiga ini, mulailah melakukan pengamatan dan catatlah!
Prinsip #4:
Bagaimana jika…?
Setelah kamu memiliki banyak bahan mentah, apakah kamu masih kesulitan untuk menuliskannya menjadi sebuah cerita fiksi? Apa yang membuat kamu kesulitan? Apakah karena pengalaman-pengalaman yang berhasil kamu catatkan dalam buku catatanmu itu tidak cukup menarik?
Apabila masalah itu yang kamu hadapi, maka prinsip keempat ini akan membantumu untuk mengembangkan cerita dari pengalaman yang kamu anggap kurang menarik. Mungkin kamu terlalu membatasi idemu pada kehidupan nyata. Kamu hanya menuliskannya sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Ingat, kita akan menulis fiksi, bukan sebuah reportase.
Apakah pengalaman melihat seekor anjing mengorek-ngorek sampah cukup menarik? Jika jawabanmu “tidak”, maka yang perlu kamu lakukan adalah mencoba untuk mengajukan pertanyaan sederhana ini: bagaimana jika saat mengorek-ngorek sampah, anjing itu menemukan seorang bayi menangis dalam kardus? Lihat, bagaimana pertanyaan sederhana itu mampu membuat peristiwa yang tidak menarik menjadi memiliki nilai konflik atau permasalahan yang cukup besar. Setiap jawaban yang kamu pilih dari pertanyaan sederhana itu, akan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Dan jika keseluruhan pertanyaan itu telah kamu jawab, sebuah cerita siap kamu tuliskan.
Menulis fiksi adalah proses menemukan sebuah kemungkinan. Prinsip yang keempat adalah kamu perlu memperbesar kemungkinan dengan mengajukan pertanyaan sederhana: bagaimana jika…?
Prinsip #5:
Mari berimajinasi
Prinsip ini merupakan prinsip terpenting yang mutlak harus dimiliki oleh seorang penulis fiksi. Suatu kali dalam milis kepenulisan, mengemuka wacana: apakah menjadi penulis itu merupakan bakat? Pendapat dalam milis itu terbagi tiga kelompok. Kelompok pertama memercayai bahwa bakat mutlak diperlukan. Kelompok kedua menganggap proses latihan yang akan menentukan seseorang menjadi penulis. Kelompok terakhir, mereka yang memilih berada di tengah-tengah: bakat dan latihan diperlukan.
Saya tidak akan meminta kamu memilih mana pendapat yang paling tepat. Yang ingin saya katakan adalah tidak satu pun dari ketiga kelompok itu, yang memperhitungkan imajinasi sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki seorang penulis.
Yup! Imajinasi. Meski kamu memiliki bakat dan rajin berlatih menulis fiksi, tanpa imajinasi kamu hanya mungkin menulis sebuah reportase—bahkan penulisan sebuah reportase pun membutuhkan imajinasi.
Seorang penyair bernama Cecep Syamsul Hari, dalam “Puisi dan Yang Lain” (Majalah Horison Tahun XLII, No.8/ Agustus 2007: 5) mengatakan, “Imajinasi bukanlah mimpi atau fantasi. Ia adalah kualitas untuk menghadirkan realitas yang dialami (experienced-reality) dan realitas yang ditafsirkan (interpreted-reality) yang terjadi di masa lalu, masa kini, dan masa depan.”
Dalam bahasa sederhananya, imajinasi merupakan kemampuan menghadirkan realitas dalam citraan penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, perabaan, dan citraan kinestetik atau gerak.
Kamu mungkin telah berhasil menyusun plot melalui prinsip kelima (baca: bagaimana jika…?). Namun, untuk membuat gambaran utuh, kamu membutuhkan imajinasi. Imajinasi yang akan membentuk plot itu menjadi rangkaian peristiwa yang mewujud dalam latar, tokoh, dan adegan yang dapat diasosiasi pembaca.
Prinsip #6:
Ayo membaca!
Suatu ketika dalam talkshow kepenulisan, saya pernah ditanya oleh peserta yang hadir, “Bagaimana cara mengatasi kemacetan dalam menulis?” Katanya lagi, “Saya suka menulis, tapi tidak suka membaca.”
Penanya itu sudah menjawab sendiri pertanyaannya. Kemacetannya dalam menulis atau mengembangkan ide cerita karena ia tidak suka membaca. Ada penulis yang tidak mau membaca karya fiksi penulis lain karena menurutnya, hal itu akan membuat karyanya jadi terpengaruh oleh karya orang. Akibatnya, karyanya jadi tidak orisinal.
Kalau ia tak pernah membaca karya orang, bagaimana dia berani menjamin bahwa karya yang ditulisnya itu orisinal, alias belum pernah ditulis oleh orang lain? Penulis yang berpendapat seperti itu, sesungguhnya tengah mengurung dirinya dalam sebuah kotak. Lagipula, apa sih yang bisa dikatakan orisinal di dunia yang renta ini, kalau untuk menguburkan jasad Habil, Qabil harus meniru seekor burung?
Tidak ada ide yang benar-benar orisinal, yang ada hanyalah cara menceritakan yang berbeda. Dan untuk menemukan cara menceritakan yang berbeda, kamu harus membaca. Hanya dengan membaca, kamu bisa menemukan perbedaan yang dapat kamu kembangkan menjadi ciri khas kamu!
Menulis merupakan saudara kembar membaca. Tanpa membaca, kamu akan kesulitan mengembangkan ceritamu. Sebagai contoh, kamu ingin menulis cerita tentang pendakian, padahal kamu sendiri belum pernah melakukan pendakian. Jika kamu tidak membaca buku-buku tentang pendakian, bagaimana cara kamu menceritakannya? Atau kamu ingin menulis cerita dengan tokoh seorang dokter. Sementara kamu tidak mengetahui kehidupan seorang dokter. Lalu bagaimana cara kamu menceritakannya?
Mungkin kamu bisa mengatakan, “Kita kan cukup mengkhayal menjadi seorang dokter!”
Nah, karya fiksi semacam inilah yang bisa disebut sebagai kebohongan. Apa yang bisa diceritakan tentang seorang dokter oleh penulis yang tidak mengetahui dunia kedokteran, jika bukan kebohongan?
Sebagai penulis, kamu tidak perlu menunggu menjadi ahli di bidang kedokteran untuk menulis cerita tentang dokter. Kamu hanya perlu menerapkan prinsip keenam ini: ayo membaca!
Prinsip #7:
Mulai menulis
Menulis, menulis, dan menulis! Begitu nasihat tiap pengarang yang ditanya bagaimana cara menulis sebuah fiksi. Semua prinsip-prinsip yang telah dipaparkan di atas, hanya akan menjadi omong kosong, jika kita tidak memulai untuk menulis. Kamu tidak mungkin dapat berenang, walau semua teori tentang renang sudah kamu pelajari dan pahami, jika kamu tidak pernah nyebur ke dalam kolam renang!
Namun, apabila dalam proses penulisan kamu mengalami kemacetan imajinasi, alias tidak mampu menghadirkan gambaran atau citraan dari peristiwa-peristiwa yang ingin kamu rangkai menjadi cerita, kembalilah pada prinsip nomor tiga. Buka catatan atau rekaman pengalaman kamu. Apakah ada yang bisa kamu ambil untuk menggambarkan peristiwa yang kamu inginkan?
Jika cara itu juga tidak mendatangkan hasil, maka gunakan prinsip keenam: ayo membaca. Boleh jadi, kemacetan kamu disebabkan minimnya kosakata kamu untuk menampilkan citraan dalam latar, tokoh, dan adegan. Atau kamu belum memahami tema yang ingin kamu tulis.
Prinsip #8:
Berdiskusi, yuk!
Kamu sudah berhasil menulis cerita? Apakah kamu merasa puas dengan hasil karyamu? Tunggu dulu! Jangan terburu-buru mengirimkannya ke majalah atau koran. Apalagi mengirimkannya ke editor penerbitan.
Cobalah untuk menunjukkannya ke teman-temanmu. Mintalah mereka membaca karyamu. Bagaimana pendapat mereka setelah membacanya? Apakah mereka tertarik? Atau mereka mengkritik? Bagian mana yang mereka tidak suka? Mana yang menurut mereka bagus untuk dikembangkan? Diskusikan, yuk! Jangan dulu buang karyamu ke tong sampah jika lebih banyak kritik yang kamu terima dari pada pujian. Minta masukan dari teman-temanmu. Kamu bisa mencoba merevisi karyamu sesuai masukan dari temanmu. Namun, jika hasilnya belum juga memuaskan, simpan karyamu. Suatu saat nanti, karya itu akan jadi harta yang tak ternilai.
Saya selalu menyimpan karya-karya yang saya anggap “gagal”. Jika jam terbang menulis kamu sudah cukup tinggi, coba tengok kembali karya-karya itu. Boleh jadi bukan karena idenya tidak menarik, melainkan karena kemampuan kita yang belum matang.
Prinsip ini tidak selalu berhasil jika kamu tidak memiliki teman-teman yang tertarik dengan dunia fiksi. Untuk itu kamu perlu bergabung dalam satu komunitas menulis. Kamu perlu memiliki teman-teman yang punya ketertarikan yang sama denganmu. Saat ini, komunitas menulis sudah sangat banyak dibanding ketika saya pertama kali belajar menulis fiksi. Selain sebagai kebutuhan untuk diskusi, komunitas juga sangat berguna untuk memotivasi kamu.
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar