***
Airin hampir terlelap, ketika tiba-tiba ponselnya memamerkan suara bening pholyphonicnya. Dilayar tertera nomor Rani, sahabat sekaligus teman sekelasnya.
“Tumben, cuma miskol atau…” Airin menekan tombol ‘Yes’ karena nada panggil masih terus berlangsung.
“ Hellaw… hellaw… Rin, tahu ga bahasa Arabnya panci and wajan punya nyokap?” terdengar suara di ujung sana.
“Apaan sih? Nggak meaning deh, kirain loe punya bocoran soal, terus bermurah hati nelepon gue…” Jawab Airin malas.
“Hehe…mumpung nelepon cuma 300/menit neh. Eh, buruan jawab!” sahut Rani.
“Tau ah, Pusing…!”
“Ah, payaah…udaah…jawab aja…!” Dorong Rani.
“Ee…apa ya…??”. Mau tak mau akhirnya Airin berpikir juga. Hening…
“Nyerah? Nyerah ya? Nyerah nih? Tumben…” Rani tak sabar.
“Iya deh. Apa?” Airin pasrah.
“Al-Munium hehehee…” Tuut..tuut…sambungan putus.
“Dasar!” Airin menggerutu sambil tersenyum geli, meletakkan Hpnya di meja belajar. Telepon Rani telah membuat kantuknya berkurang. Saatnya kembali belajar….
***
“Hoahhhh…! Uhh, koq mulai ngantuk lagi seeh…” keluh airin sambil memandang pasrah lembaran-lembaran handoutnya yang bertebaran.
Tiba-tiba Hpnya berbunyi lagi….’Rani calling’…
“Hai Rin, gue ngga ngerti neh tentang homeostasis…,jelasin dooonk?? “ suara Rani kembali terdengar.
“Lho? Loe kan yang rajin ngikut kuliah, lagian ada di handout juga…baca aja!” elak Airin. Itu adalah materi ujian yang pertama, masih sederhana. Sebenarnya Airin tidak percaya Rani belum memahaminya.
“Udah baca, ga maksud juga…ayolaaah, jelasin!” Rayu suara Rani.
“Oke…gini…” Akhirnya Airin pun menjelaskan apa yang diminta Rani. “Sekalian menghapal…“ pikirnya.
***
Semenit… duapuluh menit… setengah jam… sejam berlalu sejak Rani memutuskan teleponnya tadi. Rasa kantuk sudah tak begitu ganas menyerangnya. Airin pun semakin ‘tenggelam’ dalam tumpukan bukunya...
Disela-sela konsentrasinya dalam belajar, Airin sering melirik pada ponselnya. Diraihnya benda mungil tersebut, dan diletakkannya di sebelah buku yang sedang dibacanya. Airin mengharapkan sahabatnya kembali menelepon.
Tiba-tiba Hp kembali berdering…
“Ya…apalagi Ran?” Airin segera menjawabnya dengan ‘sok ketus’, namun seulas senyum kembali tersungging di bibirnya.
“Ah, Nggak kok, Cuma ngecek..loe dah tewas belum…hehehe…. Ciayyyo Rin!!” Tut..tut..tut…hubungan terputus.
Airin tersenyum-senyum sendiri dengan ulah Rani.
***
Airin hamper terlelap ketika Airin kembali menelponnya.
“Aduuh, nih anak! Pasti loe tadi tidur ya? Telepon gue nggak di angkat-angkat. Gimana sih, katanya mau belajar?” Rani langsung mengajukan serentetan pertanyaan.
“Ah, belum kok Ran. Iya, gue mo belajar kok” Jawab Airin.
***
Sejam berikutnya…sejam berikutnya lagi…Rani kembali menelepon. Dan sebenarnya dia memang menelepon setiap jam meski hanya untuk memberi semangat dan memastikan Airin tetap terjaga.
Tanpa sadar, Airin selalu menunggu telepon Rani. Hingga subuh tiba, Airin pun sukses melahap semua materi yang ada sekaligus melewati malam begadang pertamanya.
“Tidur sebentar ah, dari pada nanti ngantuk waktu ujian.” Ujarnya setelah shalat subuh.
***
Ujian dimulai. Tempat duduk ditentukan berdasar undian. Jarak kursi yang satu dengan yang lain cukup lebar. Apalagi ada lima dosen sekaligus yang mengawasi sehingga mempersempit gerak mahasiswa untuk aksi mencontek.
“Haha… gue kan tadi malam dah belajar, PD aja lagi!” Airi membatin. Soal di bagikan, kelas pun hening.
“Lho… Lho… nih soal gimana sih, kok nggak bisa kebaca…” Airin merasa aneh.
“Lho… Hei… ballpoint gue mana…? Pensil gue…? Aduuh…masa gue nggak bawa alat tulis sih?” Keanehan-keanehan lain semakin terasa. Namun, Airin tidak tahu apa penyebabnya. Rasanya rasionalisasi otaknya buntu.
“Ssstt…ssstt…Yani, pinjem alat tulis dong?” Airin terpaksa berbisik pada teman di sebelahnya. Namun, orang yang Airin tuju tetap tak bergeming, konsentrasi mengerjakan soalnya.
“Ssstt…Yan!” Jangankan menoleh ke arah Airin, Yani bahkan tidak bereaksi sedikit pun pada panggilannnya.
“Van…ssstt…” Airin beralih ke orang lain, namun responnya tetap sama. Diam.
“Ivan…Hei!” Airin memperkeras volume suaranya. Namun…
“Hei…kamu!!” pengawas ujian memergokinya.
“Berikan lembar jawabanmu!” perintah pengawas ujian dengan tegas, sambil berjalan ke arahnya. Anehnya lagi, seisi kelas tetap konsentrasi pada soal, tidak ada yang mempedulikan.
“Saya…saya tidak mencontek kok, Pak…” Airin gugup. Bahkan lembar jawabannya pun masih kosong.
Pengawas ujian tersebut tidak mengindahkan alasannya. Beliau tetap merebut lembar jawab sekaligus lembar soalnya. Airin berusaha menggapai lembaran itu kembali.
“Jangan, Pak! Jangan…! JANGAAAAN…!” Airin menjerit sekuatnya. Tiba-tiba…
Tuuut…tut..ti..lat..ti..tuuut… Hpnya berdering menuntut untuk diangkat.
“Ah, ternyata cuma mimpi..” Airin masih berada di tempat tidurnya dan belum sepenuhnya terbangun.
“Halo…” Airin menjawab dengan malas.
“Airin! Loe kemana aja sih? Kok nggak ikut ujian? Kan tadi malam dah gue bantuin begadang” ternyata Rani.
“Eh… bentar-bentar… gue baru bangun… Ada apa?” Airin tetap belum connect.
“Ujian… ujian… Loe kok NGGAK IKUT UJIAN?!” Bentak Rani dari ujung sana.
Airin berusaha mencerna perkataan Rani. “Tunggu, ujian…? Emang ini jam berapa? Gue baru bangun dan…”
“What? Jam segini baru bangun? Ini dah jam sepuluh Airin! Ujian mulai jam delapan tadi. Barusan ujian selesai dan…”
Airin tidak menangkap perkataan Rani selanjutnya. Dengan panik ia membuka gorden di sebelahnya. Sudah terang… Bahkan terik! Airin mengecek jamnya, berharap semoga semua hanya mimpi seperti tadi. Jam sepuluh lewat....
“…loe tadi malam belajar kan? Kan gue nelpon loe biar loe bisa begadang buat belajar. Loe kenapa sih? Halo Airin…? Halo…?!” suara Rani masih samar terdengar, akan tetapi Airin merasa pusing, mual, dan semuanya menjadi gelap.
***
Depok, 15 april 2005
0 komentar:
Posting Komentar