***
Aku heran, ibu selalu memiliki daging untuk makan adik tiriku. Padahal kudengar harga daging sedang naik dan ibu bilang tidak punya uang sewaktu aku mengeluh sepatuku sudah sangat jelek. Anehnya lagi, ibu tidak pernah membolehkan aku mencicipi sedikit saja daging yang dimasaknya. Pernah suatu kali aku hendak mencuri sepotong daging semur yang dimasak ibu karena aromanya benar-benar menggugah selera. Belum sempat aku mengambilnya, ibu memergokiku.
“Ragi!!! Sudah berapa kali ibu bilang. Daging itu untuk adikmu. Jangan kamu sentuh sedikit pun juga.” Suara ibu menggelegar dan matanya melotot. Tak pernah kulihat ia semarah itu. Aku merasa ia sekarang lebih menyayangi anak iblis itu daripada diriku.
Benciku tak tertahan lagi pada adik tiriku. Apalagi setelah ia bertingkah aneh. Ia kini bukan hanya melempari anak-anak yang lewat atau mengejar anak-anak perempuan untuk dicium, tapi juga suka mengeluarkan suara-suara seperti kucing. Kadang ia juga menggaruk-garuk tanah dengan kuku-kukunya yang hitam.
Hari berlalu.
Ketika aku pulang sekolah beberapa orang berkumpul dekat warung Pak Dali yang menjual jajanan anak-anak. Sepintas kudengar mereka sedang membicarakan kucing-kucing peliharaan mereka yang tiba-tiba menghilang. Salah seorang mengatakan bahwa maling kucing telah masuk ke lingkungan ini. Beberapa kucing memang bukan kucing biasa yang harganya lumayan bila dijual.
Aku tiba di rumah. Kulihat adik tiriku sedang berada di teras. Begitu melihatku ia mendesis seperti kucing hendak kawin. Aku tak gentar, kupelototi matanya dan kubentak. Tiba-tiba ia mengangkat kedua tangannya. Jari-jarinya melengkung seperti hendak mencakar. Aku sedikit kaget. Dengan cepat aku masuk rumah.
Bau masakan ibu tercium. Setelah mengganti pakaian aku ke dapur. Aroma masakan ibu semakin terasa harum. Perutku menjerit minta diisi.
“Ibu, tadi kudengar orang-orang berbicara tentang kucing-kucing mereka yang hilang.”
Ibu menoleh. “Ibu sudah tahu.”
“Kenapa kucing-kucing itu dicuri ya, Bu.”
“Mungkin harganya mahal.”
Aku mendekati ibu. Ia kini sedang memegang mangkuk yang berisi semur daging. Air liurku keluar, membasahi bibir. Ibu menatapku tajam. Lagi-lagi ia memperingatkanku agar jangan menyentuh makanan untuk adik tiriku sedikit pun. Meski kesal, aku menuruti saja perintah ibu.
Seminggu kemudian, saat aku sedang mengerjakan PR, samar-samar terdengar suara tangisan ibu. Aku keluar kamar. Kuintip kamar ibu dari lubang kunci. Ia sedang membelai-belai kepala adik tiriku yang seperti gentong. Suara dengkur adik tiriku kini tak lagi terdengar seperti suara kucing. Suaranya mengingatkanku pada suara tikus.
Tiba-tiba ibu bangkit. Aku cepat kembali masuk ke kamar. Tapi pintu tak kututup rapat. Kulihat ibu dengan gelisah mondar-mandir. Apa yang sedang ibu pikirkan? Tubuh ibu menghilang di dapur, namun dengan cepat muncul lagi sambil membawa sebatang bambu sepanjang sekitar satu meter dan sebuah senter.
Kudengar suara pintu depan terbuka. Rasa ingin tahuku muncul. Ingin pergi kemana ibu? Aku berjinjit ke pintu depan. Kubuka pintu itu perlahan. Ibu sudah berada di jalan depan rumah. Aku keluar. Kuikuti kemana ibu melangkah di malam yang sepi dan dingin itu.
Ternyata ibu menuju ke saluran air yang berada di belakang rumah-rumah besar tetangga kami. Tepat dikelokan aku berhenti. Aku bersembunyi di balik pagar. Mengintip. Kulihat ibu menyalakan senter yang diarahkan ke selokan. Lalu tiba-tiba ia mengayunkan bambu. Ibu terlihat membungkuk dan mengambil sesuatu dari selokan. Ia meletakkan benda itu di pinggir selokan.
Ia berdiri lagi dan berjalan beberapa langkah. Senter kembali dinyalakan dan lagi-lagi terdengar suara ayunan bambu. Aku makin penasaran apa yang ibu lakukan, namun aku tak beranjak dari tempat persembunyianku.
Beberapa saat kemudian ibu berjalan ke arahku. Kami berpapasan.
“Ibu.”
“Ragi.” Ibu sangat terkejut. “Kenapa kamu ada di sini?”
Aku diam. Cahaya lampu yang menempel di langit-langit dari salah satu belakang rumah sedikit menerangi sekitar. Kulihat tangan kanan ibu menenteng dua ekor tikus got yang sangat besar.
“Kenapa ibu menangkap tikus-tikus itu?”
Ibu tak bergerak. Sesaat kemudian aku mendengar suara ibu menangis. Sangat pelan. “Karena sudah tidak ada lagi kucing-kucing yang bisa dicuri, Ragi.”
“Ibu.” Suaraku gemetar. Rasanya aku ingin sekali memeluknya.
“Ibu sangat sayang padamu. Itulah mengapa ibu tidak pernah membolehkanmu makan semur daging.”
Tubuhku menggigil. Wajah adik tiriku si anak iblis tiba-tiba muncul di kegelapan. Ia tersenyum penuh kemenangan, lalu mencicit.
Anak Iblis
In CERPEN, In Hamzah Puadi IlyasSenin, 12 April 2010
Cerpen Hamzah Puadi Ilyas
Dimuat di Pikiran Rakyat, 23 April 2009
Aku yakin, ayah tiriku bukan keturunan manusia. Ia hasil persetubuhan antara iblis dan kuntilanak di semak-semak pinggir kali beraroma tinja. Jiwanya yang untuk sementara dibiarkan bebas oleh Tuhan lalu menyusup ke tubuh manusia, sehingga manusia itu menjadi pencoleng, penjudi, dan pemabuk. Akhirnya ia mati tergilas kereta. Tapi ia sempat membuat ibu melahirkan makhluk aneh berkulit sangat gelap, berbadan bongsor, berkepala seperti gentong, dan rakus bagai babi yang seminggu tidak diberi makan.
Adik tiriku itu hanya mau makan daging. Ia akan memukuli ibu bila tidak diberi makan daging. Bukan cuma itu, ia juga pernah membuang sayur dan tempe ke bak mandi karena hari itu ibu sama sekali tidak punya uang untuk membeli daging. Semenjak itu ibu selalu meletakkan makanan di dalam lemari yang terkunci.
Sebenarnya, aku sangat malu memiliki saudara seperti dia. Ia selalu mengoceh, tapi kata-kata yang diucapkannya sangat tidak jelas. Mungkin cuma ibu yang mengerti maksudnya. Kerjanya hanya duduk di teras rumah sambil melempari orang-orang yang lewat dengan kerikil. Tak satu pun anak perempuan yang berani lewat rumah kami, karena adik tiriku akan mengejar dan menciuminya.
Kasihan ibu, ia cuma bekerja sebagai tukang cuci dan setrika di rumah tetangga. Sebelum ia dinikahi iblis itu, ia hanya bekerja di satu rumah. Upah yang didapat cukup untuk kami makan berdua. Tapi kini ibu harus bekerja di dua rumah, karena aku sudah masuk SMP dan ibu setiap hari harus membeli daging untuk adik tiriku.
Raut wajah ibu semakin hari kelihatan semakin suram. Setelah iblis itu tergilas kereta aku berharap ibu bisa mendapatkan seorang pengganti yang lebih baik agar ia tidak terlalu lelah bekerja dan ada biaya buatku untuk terus sekolah hingga SMA. Satu keinginanku yaitu kelak bisa menanggung hidup ibu, sehingga ia tak perlu lagi bekerja untuk orang lain. Entah bisa atau tidak, tapi ada perasaan kuat untuk itu.
Sebenarnya ada seorang lelaki yang pernah menyukai ibu. Ia mengaku duda beranak dua dan bekerja sebagai sopir truk. Dari sikapnya yang sopan saat bertamu aku merasa simpati. Tapi ketika ia melihat adik tiriku mengejar anak perempuan yang kebetulan lewat rumah kami dan membuatnya menjerit ketakutan, lelaki itu tak pernah muncul lagi.
Sejak saat itu aku merasa adik tiriku adalah sumber malapetaka. Ia warisan iblis yang akan terus mengusik hidup kami, menyiksa kami. Tak rela melihat hidupku bahagia bersama ibu. Aku semakin membencinya hingga ke ubun-ubun.
Ibu pernah berkata, “Ragi, kamu adalah anak seorang jawara tampan yang suka pada kebenaran. Itulah mengapa ibu mau dinikahi ayahmu meskipun ia tidak memiliki apa-apa. Ibu bangga dengan keberaniannya. Ibu harap kamu juga demikian. Tapi kamu mewarisi sifat ayahmu yang kurang sabar. Ia ingin segala sesuatu cepat diselesaikan. Ketahuilah Ragi, semua ini adalah cobaan, supaya kita bisa naik kelas.”
Aku merasa dulu ibu sangat cantik. Tapi kini kecantikannya seolah memudar. Ia juga terlihat lebih kurus. Pipinya cekung. Rambutnya yang dulu hitam sekarang berwarna kecoklatan. Urat-urat di tangannya menonjol. Setahuku baru dua kali ia membeli baju baru. Kebanyakan baju yang dikenakannya adalah baju bekas pemberian para tetangga.
Hari telah gelap ketika aku pulang sekolah. Perutku terasa sangat lapar. Kulihat ibu sedang menyiapkan makanan di lantai ruang tengah beralaskan tikar. Kami memang tak punya meja makan.
“Ragi, hari ini kita cuma makan sayur asem dan tempe.”
“Tidak apa-apa, Ibu.”
Adik tiriku keluar kamar. Dia tidur bersama ibu. Di rumah kami hanya ada dua kamar tidur. Adik tiriku langsung duduk di dekat ibu. Melihat tidak ada daging, ia merengek pada ibu dengan bahasa yang sama sekali tidak kumengerti. Kulihat ibu mencoba membujuknya dengan mengatakan hari itu ia tidak punya uang. Besok pasti ibu akan memasak daging khusus untuknya.
Tapi adik tiriku tidak mau mengerti. Ia mulai merengek dan memukuli badan ibu. Ibu berusaha memegang tangannya, tapi kelihatannya sulit karena tangannya lebih besar dari tangan ibu. Ibu terus membujuk. Bukannya diam, adik tiriku malah semakin menjadi-jadi. Suara rengekannya semakin keras, membuat telingaku sakit.
Aku segera bangkit. Dengan sekuat tenaga kupegang tangan adik tiriku. Ia berontak. Meskipun badannya bongsor tapi tenagaku lebih kuat. Ia tak berdaya. Kudorong ia ke kamar ibu, lalu pintu kukunci dari luar. Ia memukul-mukul pintu kamar sambil menjerit. Aku tak peduli. Aku benci padanya. Anak iblis.
Aku berpaling pada ibu. Matanya basah. Ibu kelihatan semakin tua.
“Ragi, makanlah dulu. Ibu mau pergi.”
Ibu lalu bangkit dan menuju pintu depan.
“Ibu mau kemana?”
“Ibu mau mencari daging.”
“Sudah malam, Ibu.”
Ibu tak menjawab. Kulihat air matanya mulai menetes. Aku tak berani lagi mencegahnya. Aku seperti merasakan penderitaan ibu. Rasa laparku hilang. Aku menoleh ke makanan. Suara rengekan adik tiriku masih terdengar. Tapi pintu tak lagi dipukulnya. Aku segera memasukkan makanan ke dalam lemari. Setelah itu aku mandi dan masuk kamar.
Beberapa jam kemudian aku mendengar ibu masuk. Suara di dapur berisik. Aku terus belajar. Entah beberapa jam kemudian aku mencium bau sangat harum. Aku keluar. Kulihat adik tiriku sedang makan daging dengan lahapnya. Aku menatap ibu yang duduk di sudut ruangan. Ia sepertinya tahu bahwa aku ingin juga mencicipi masakan itu.
“Jangan Ragi. Ibu tak ingin kamu makan makanan itu.” Mata ibu menitikkan air.
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar