Our Community

Our Community
Forum Lingkar Pena Depok

Our Event

Our Event
Depok Dalam Puisi

Our Training Program

Our Training Program
BATRE

Our Family

Our Family
Want to be one of us?

Mau Daftar? Klik Gambar Ini!

Seponggah Harapan

Senin, 16 Maret 2009

Cerpen Agustiana Brakk!! Suara itu lagi. Aku sudah cukup bertahan selama seminggu ini. Nomaden dari salon yang satu ke yang lain. Mencari yang paling terjangkau harganya oleh seorang pengangguran. Sécurité sociale yang kudapatkan tidaklah banyak. Apalagi, aku bukan warga negara ini. Hah! Aku hampir tak sanggup lagi pindah untuk yang ketiga kalinya dalam bulan ini. Kali ini aku harus bertahan. Tidak! Aku tidak boleh hanya bertahan. Aku harus melawan. Aku bangkit dari tempat tidur persegi panjang itu dan membuka pintu yang tak jauh darinya. “Excusez-moi monsieur.” Kucoba untuk tetap sopan. “Saya mencoba untuk istirahat disini. Bisakah anda berhenti menggedor-gedor pintunya dan langsung saja masuk ke dalam?!.” Hari masih sangat gelap. Pencahayaan koridor sempit ini begitu redup. Wajahnya terlihat samar. Dia berjalan gontai mendekat. Telunjuknya diarahkan ke wajahku. “Vous! Apa urusanmu? Aku mau berbuat apa pun, terserah! Kau hanya orang asing disini. Justru kaulah yang harus masuk lagi ke kamarmu dan jangan campuri urusan orang lain!” Aroma wiski begitu menyengat, membuatku ingin muntah. Aku muak. Aku lupa sedang berurusan dengan orang seperti apa. Segera ku tutup pintu kamarku. Dia masih saja berteriak-teriak memanggil istrinya yang tidak mau membuka pintu kamar mereka. Brakk!! Lagi2 dia menggebrak pintunya. “Oh, Mon Dieu!!” *** “Maryam, bagaimana jawabanmu? Dia sudah menunggu. Bukankah kalian juga sudah saling kenal.” Wajahku tertunduk. Di hadapanku, duduk guru ngajiku di tepi ranjang segi empat dengan seprai motif bunga matahari kesukaanku. Tiga hari yang lalu baru saja proses ta’aruf kujalani dengan kakak kelas di SMPku dan hari ini adalah hari yang kujanjikan. Dibenakku berkecamuk banyak hal. Seandainya saja tawaran itu tidak datang. “Maaf mbak, aku gak bisa.” Keputusan itu telah terpatri dalam hatiku. Aku masih muda. Masih banyak yang ingin kulakukan. Ku tatap lembar ijazah yang menyatakan bahwa aku adalah fresh graduate 2003, yang baru saja dua minggu ku terima. Aku akan menggapai cita-citaku. “Sorbonne! Attend-moi!” *** Udara sore ini begitu dingin. Aku berjalan gontai di la rue callot. Tatapanku nanar melihat aliran air di bawah jembatan besar di Bordeaux. Aku berhenti sejenak dan menyenderkan diriku rapat-rapat ke dinding pinggir jembatan. Aku menghela nafas, berat. Ku keluarkan le croissant et le Perrier yang sempat kubeli tadi pagi sebelum menaiki TGV di Paris. Perutku perih. Dari pagi belum menyentuh apa-apa. Bahkan air sekalipun. Aku sempat heran, kenapa aku masih kuat. Tidak langsung ku suap “sarapan” itu. Aku masih teringat apa yang kulakukan beberapa jam yang lalu. Pagi-pagi telepon berdering mengabarkan bahwa aku mendapat panggilan interview di perusahaan tempat aku melamar kerja. Tempat yang sangat jauh. Paris-Bordeaux. Seperti Jakarta-Bali. Segera kubereskan barang-barang yang kubutuhkan dan segera meluncur ke stasiun kereta Paris. Naik TGV ke Bordeaux menghabiskan waktu kurang lebih tujuh jam. Ketika tiba disana, aku masih harus menunggu selama satu jam dalam antrian dengan beberapa pelamar lainnya. Sekitar jam tiga, aku baru masuk ke ruangan manajer personalia. Hanya lima belas menit semua itu berlangsung ketika manajer itu berkata; “Pardon-moi, mademoiselle, tapi perusahaan kami hanya mempekerjakan mereka yang sudah lulus.” Entah apa yang mereka pikirkan ketika memanggilku untuk interview. Apa mereka tidak membaca cv ku kalau aku memang tidak lulus dari Sorbonne. Dikeluarkan karena biaya. Beasiswa yang tidak bisa kulanjutkan lagi. Aku tidak bisa lulus tepat waktu karena terlalu asyik bekerja. Ah! Perutku kembali terasa perih. Mungkin roti ini bisa mengganjalnya untuk sementara waktu. Uangku menipis. Sangat tipis. Roti itu hampir menyentuh bibirku ketika seseorang menarik-narik jaketku. Aku menoleh, mencari tahu siapa yang melakukannya. Rupanya seorang gadis kecil berusia sekitar enam tahun tengah berdiri di samping kananku. Matanya sayu, terlihat begitu mengiba. Aku jongkok, memperlihatkan rotiku, menawarinya. “Vous pouvez?” Dia menggeleng. Giliran minuman yang kutawari lagi-lagi dia menggeleng. “Qu’est-ce qui-ce passé ? Votre maman, où?” Matanya mengerjap. Bajunya terlihat lusuh. “Peut-être… elle est à Paris maintenant. Aku tersesat…” Aku memiringkan kepalaku, bingung. “Bagaimana bisa?” Dia diam dan menunduk. Seperti tidak mau lagi menjawab segala pertanyaan yang akan diajukan. Sudah sore. Jam lima. Kuputuskan membawanya ke Paris. Di TGV, dia sempat menanyakan jam dan meminta rotiku. Aku tidak bisa memberikan semuanya, maka ku bagi dua. Perutku tak lagi mampu bertahan. *** Sarah sudah terlelap di atas ranjangku. Sempat ku tatap lama wajahnya, berfikir kenapa dia menghampiriku. Mungkin karena hijab ini, sama seperti yang dia kenakan. Aku membereskan kasur lipatku di sebelah ranjang. Mengeluarkan dua selimut tebal dan menyelimutkannya satu di atas tubuh Sarah. Udara malam dua kali lebih dingin dibanding sore tadi. Aku lelah, hari ini benar-benar lelah. *** Mataku berat, sangat berat, tapi pipiku ditepuk-tepuk dan tanganku digoyangkan. Terpaksa membuka mata, aku melihat Sarah duduk di sebelah. Aku bangkit, duduk. Mengucek-kucek mata, mencoba untuk terjaga. “Qu’est-ce qui-ce passé ma chèrie ? Dia menatapku dengan mata mungilnya. Rambutnya keriting dengan warna kulit yang gelap. Seperti kebanyakan pendatang Afrika. “Sahur” lirihnya pelan. “Hah… apa?” antara sadar dan tidak, aku mendengarkan. Dia diam sebentar, lalu bibirnya berucap lagi. “Aku mau sahur.” Lamat-lamat ku cerna kata-kata yang meluncur cepat itu… tiba-tiba aku tersentak. Sudah lama sekali tidak mendengar orang mengatakan hal itu. Ku ulangi sekali lagi dengan sedikit mengutip kata-katanya. “K.a.u… mau sahur?! Dia mengangguk. Mon Dieu, hari apa ini?. Aku tercekat. Aku bangkit, mencari kalender kecil dari dalam laci lemari dan melihatnya. Souvenir dari sebuah cinema. Tanggal 31 September. Di Indonesia, tidak, bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Ini bulan Ramadhan! Astaghfirullahaladzim… Astaghfirullahaladzim… Sendi-sendi kakiku melemas. Mataku panas. Serasa hatiku dihujam sebilah pisau yang sangat tajam. Aku terisak. Sudah lama, lama sekali aku tidak lagi puasa. Tidak lagi salat. Semua itu diawali dari kedatanganku kesini. Tak ada yang mengingatkanku. Walau orangtuaku sering mengirimi surat. Tapi, itu semua tidak cukup untukku bisa mempertahankan iman di negara orang lain ini. Aku tak kuat. Hijab yang kukenakan kugunakan hanya untuk melindungiku dari dingin yang menyengat. Bahkan saat interview kemarin, jilbab itu kulepas. Ku biarkan linangan itu membasahi wajah yang sudah jarang menangis karena-Nya. Astaghfirullahaladzim… Astaghfirullahaladzim… Sarah diam melihatku tertunduk, penuh sesal. *** “Bismillahirrahmanirrahim… alhamdulillahirabbil’alamin…” Aku dan Sarah bermurajaah sehabis salat subuh. Aku sudah tidak ingat lagi dimana dulu kusimpan mushafku. Untuk membelinya, aku sudah tak punya uang. Kami bermurajaah hingga waktu dhuha. Sarah anak yang cerdas. Terlihat dari hapalannya yang cukup membantuku. Ketika kutanya, dia bilang sudah hapal 3 juz. 28,29,30. Setelah itu, kami salat dhuha. Aku membawa Sarah jalan-jalan keluar. Kami duduk di bangku taman tak jauh dari tempat tinggalku. Kini aku merasa lebih baik. Lebih optimis, lebih percaya diri, lebih yakin, karena kini aku memiliki Allah lagi. Ternyata saat ini Ramadhan sudah memasuki hari-hari akhirnya. Aku baru menyadari setelah kehilangan dua puluh hari. Moga masih belum terlambat untuk beribadah sebanyak-banyaknya dan memohon ampunan atas apa yang sudah kulakukan selama ini. Melihat Sarah tertawa-tawa sambil bermain dengan teman sebayanya mengingatkanku pada adik kecilku di Indonesia. Dia pasti sudah masuk SMP sekarang. Bagaimana ya rupanya? Bagaimana kabar Ibu, Ayah? Semenjak dikeluarkan dulu, aku sudah memutuskan hubungan dengan mereka. Tidak ada satu kabar berita pun yang ku kirim untuk mereka. Oya, Sarah bilangkan, orang tuanya mungkin ada di Paris. Kenapa aku tidak tanya saja padanya. Aku yakin dia tahu jalan pulang, karena selama ikut denganku, dia sama sekali tidak rewel atau minta di ajak pulang, pikirku. Aku berdiri dan mendekati Sarah yang sedang berayun-ayun. Aku jongkok dan menatapnya lembut. Kubenahi jilbabnya yang sedikit berantakan. Dia melakukan hal yang sama padaku sambil tertawa. “Sarah, tu habite où? Kakak yakin kau tahu alamat rumahmu, n’est ce pas?” Dia mengangguk. “J’habite dans la rue poincare…” *** AirFrance kini tengah melintasi samudera Atlantik. Membawaku kembali ke tanah air tercinta. Kurang lebih lima jam lagi, aku akan menjejakkan kaki setelah enam setengah tahun merantau. Orang tua Sarah membantuku untuk bisa kembali ke Indonesia. Balas budi yang sebenarnya tak ingin kuterima atas pertolonganku membawa Sarah kembali kepada mereka. Aku tak ingin menerima balas budi itu karena sebenarnya akulah yang berhutang pada Sarah. Anak sekecil itu membantuku untuk ingat lagi pada Allah. Di saat yang paling tepat. Allah mengirimnya untuk mengingatkanku agar selalu yakin pada-Nya. Bagiku, dialah keberkahan Ramadhanku. Keterangan: Nomaden:berpindah-pindah; salon:kos-kosan; Sécurité sociale:jaminan bagi masyarakat Prancis berupa uang dari pemerintah; Excusez-moi monsieur:permisi tuan; Vous:kamu; Mon Dieu:tuhanku; Attend-moi:tunggu aku; la rue callot:jalan callot; le croissant et le Perrier: roti dan air mineral; TGV:kereta ekspres di Prancis; Pardon-moi, mademoiselle: maaf nona; Vous pouvez:kau mau; Qu’est-ce qui-ce passé ? Votre maman, où:Apa yang terjadi, ibumu mana; ma chèrie: sayangku; Peut-être… elle est à Paris maintenant:mungkin dia di Paris sekarang; Cinema:bioskop; tu habite où: kau tinggal dimana; n’est ce pas: iya kan; J’habite dans la rue poincare: aku tinggal di jalan Poincare

0 komentar:

Posting Komentar

Video Pelatihan