Taman Baca: Sarana Menumbuhkan Minat Baca Anak
In Angkatan I, In Dhinny el Fazila, In ESAI, In NonfiksiRabu, 27 Januari 2010
Esai Dhinny El Fazila
Dimuat di Media Indonesia
Dominasi televisi dalam kehidupan masyarakat, terutama anak-anak saat ini, telah dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan. Jika orang jepang menonton televisi dalam sehari kurang dari lima jam, maka bandingkan dengan anak-anak Indonesia (dan mungkin para orang tuanya) yang menonton televisi bisa lebih dari sepuluh jam, bahkan bisa mencapai dua puluh jam! Anak-anak sekarang bahkan ada yang jadwal televisinya mengalahkan apapun. Televisi telah menjadi candu bagi anak-anak dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Televisi dengan kekuatan audio visualnya tidak sekedar memudahkan anak untuk menangkap apa-apa yang disampaikan. Lebih dari itu, televisi tidak memberi kesempatan bagi anak untuk mencerna apa yang ada pada acara televisi tersebut. Sifat audio visual televisi sesungguhnya merupakan kekuatan sekaligus kelemahan televisi. Tidak adanya jeda pada gambar yang bergerak diperkuat dengan suara membuat otak anak tidak sempat mencerna mana yang baik dan buruk pada acara televisi tersebut. Ini menjadi masalah tatkala televisi hanya berorientasi pada rating dan keuntungan sehingga tidak memikirkan bentuk acara seperti apa yang dapat memberi manfaat bagi penontonnya, namun lebih memikirkan acara seperti apa yang laku dijual.
Berbeda dengan televisi, buku merupakan media yang hanya bersifat visual saja. Selain itu buku bukan merupakan rangkaian adegan yang bergerak terus-menerus. Sifat buku ini membuat otak anak dapat beristirahat sebentar dan mencerna isi buku tersebut. Orang tua pun dapat dengan mudah mengarahkan pada anak tentang isi buku tersebut. Dilihat dari sifatnya saja, media buku tampaknya lebih ramah bagi anak daripada media televisi.
Mengapa buku lebih baik daripada televisi? Ini disebabkan karena kentalnya orientasi profit media televisi. Mahalnya ongkos untuk mendirikan sebuah stasiun televisi dan mahalnya biaya produksi televisi membuat mereka sangat berorientasi pada keuntungan semata. Ini menyebabkan televisi seringkali kehilangan idealismenya. Moral anak-anak Indonesia menjadi taruhannya ketika televisi menyajikan acara-acara yang kurang bermutu, dan itu dengan mudahnya menjadi konsumsi anak-anak yang belum cukup umur bahkan belum bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Ini berbeda dengan buku. Ongkos produksi untuk mencetak buku tidak semahal ongkos produksi untuk membuat sebuah tayangan di televisi. Ini menyebabkan produksi buku tidak pernah kehilangan idealismenya.
Buku memang menjadi alternatif media yang ramah dan aman bagi anak-anak. Selain karena buku memiliki sifat yang ’ramah’, buku juga memiliki segmen khusus anak-anak yang aman dibaca dan mendidik. Selain itu buku memiliki banyak ragamnya sehingga kita bebas memilih buku seperti apa yang akan kita baca. Ini berbeda dengan acara televisi yang cenderung kurang variatif dan sedikit pilihan. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk menumbuhkan minat baca, terutama minat baca anak.
Kurangnya minat baca anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kurangnya pembiasaan oleh orang tua. Kurangnya minat baca orang tua dapat berpengaruh pada kurangnya minat baca anak. Oleh karena itu, pembiasaan terhadap membaca seharusnya dimulai dari lingkungan pertama anak, yaitu rumah. Jika dirumah terdapat perpustakaan, meskipun kecil, ini akan mendorong anak untuk gemar membaca. Atau pembiasaan lain seperti berlangganan majalah anak. Masalahnya seringkali orang tua kurang memiliki kesadaran dalam hal pembiasaan membaca terhadap anak.
Fungsi ini sebenarnya juga dapat diambil oleh sekolah. Perpustakaan sebagai sarana yang ada di sekolah seharusnya dapat mengambil fungsi tersebut. Namun sayangnya, saat ini rasanya sekolah belum mampu untuk menangani lemahnya minat baca para siswa. Dapat dilihat, perpustakaan sekolah sangat jarang dikunjungi. Kalaupun ada yang datang, perlu dilihat lagi, buku apa yang dibacanya. Moga-moga memang benar-benar buku yang layak dibaca. Tapi kebanyakan siswa-siswa memilih komik untuk di baca di perpustakaan. Tak salah sebenarnya kalau mereka memilih komik untuk dibaca, karena bagi mereka hanya itu yang menarik. Masalahnya adalah bagaimana agar buku-buku yang mendidik itu juga menarik untuk mereka baca.
Hadirnya rumah-rumah baca atau perpustakaan keliling sepertinya cukup membantu dalam menarik minat baca anak. Sebut saja Forum Lingkar Pena (FLP) yang dipelopori oleh Helvy Tiana Rosa, saat ini telah memiliki banyak perpustakaan yang dinamakan Rumah Cahaya yang merupakan kepanjangan dari Rumah Baca Hasilkan Karya. Di rumah ini, anak-anak sekitar dibebaskan untuk membaca buku-buku yang ada disana tanpa dipungut biaya apapun. Buku-buku yang disediakan pun memiliki segmen khusus anak-anak. Mereka bebas membaca sambil bermain di sana. Tempat-tempat baca seperti ini sebenarnya sangat potensial dalam memberikan kontribusi secara informal bagi pendidikan dan minat baca anak. Hanya saja tempat-tempat seperti masih kalah booming sosialisasinya ketimbang pusat-pusat perbelanjaan atau tempat-tempat rekreasi. Biasanya tempat-tempat seperti inipun terbatas pengunjungnya. Hanya anak-anak yang memang sudah gemar membaca yang sering datang berkunjung.
Untuk itu, selain disediakannya buku-buku yang menarik minat anak, sebenarnya perlu diadakan acara-acara yang menarik minat anak untuk datang ke taman-taman bacaan seperti ini. Dongeng atau lomba mungkin bisa jadi salah satu alternatifnya.
Saat ini, FLP telah memiliki beberapa Rumah Cahaya yang tersebar di berbagai daerah. Sebut saja Aceh, Bandung, Bekasi, Depok, Penjaringan, dan masih banyak lainnya. Bahkan Rumah Cahaya terakhir yang baru diresmikan, yaitu di Depok 2 Timur, memiliki kisah uniknya sendiri.
Rumah Cahaya Depok 2 Timur baru saja diresmikan seminggu yang lalu dan dihadiri oleh Helvy Tiana Rosa serta anaknya Abdurrahman Faiz. Rumah Cahaya ini didirikan di rumah seorang anggota FLP Depok. Beliau memiliki seorang anak yang sangat gemar membaca. Seringkali sang ayah harus kerepotan saat membawa anaknya ke toko buku karena di sana anak tersebut baru mau pulang jika sudah membaca sepuluh buku atau lebih. Akhirnya, karena alasan itulah, sang ayah membuatkan Rumah Cahaya di rumahnya agar sang anak bisa membaca sepuasanya dirumahnya. Selain itu agar teman-teman anaknya dan tetangga-tetangganya bisa ikut menikmati bacaan dirumahnya. Menurut ibunya, anak ini memang sudah terbiasa dan bisa membaca sejak kecil sebelum masuk sekolah. Ibu dan ayahnya pun adalah orang-orang yang sangat suka membaca.
Memang tidak semua anak gila membaca seperti anak tersebut. Namun adanya pembiasaan, banyaknya buku di rumah, dan kemampuan membaca yang cukup dini dapat merangsang anak untuk gemar membaca. Ini baik untuk perkembangan anak itu ke depan. Sebab buku, hingga saat ini, masih menjadi sumber informasi yang utama bagi kebanyakan masyarakat. Meskipun kini ada media internet sebagai sumber informasi, namun internet belum terlalu akrab dengan seluruh lapisan masyarakat sehingga buku masih menjadi yang utama.
Fenomena Rumah Cahaya FLP sebenarnya tidak berdiri sendiri. Banyak taman-taman bacaan dan perpustakaan yang lain yang juga memiliki visi serupa. Hanya saja masih banyak yang belum tersosialisasikan dengan baik atau masih terbatas dalam pengelolaannya. Padahal membaca adalah salah satu syarat dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, kampanye gemar membaca harus dibunyikan lebih keras lagi. Sebab ini adalah bagian dari pendidikan terhadap generasi bangsa selanjutnya, agar yang tumbuh bukan sekedar generasi yang ingin menjadi kaya dan terkenal dengan cepat seperti yang kita lihat di televisi. Kita tentunya menbgharapkan anak-anak di masa mendatang adalah generasi yang berwawasan luas, bervisi jauh ke depan, serta memiliki koral dan budi pekerti yang baik. Bukan generasi instan ala televisi.
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar