Our Community

Our Community
Forum Lingkar Pena Depok

Our Event

Our Event
Depok Dalam Puisi

Our Training Program

Our Training Program
BATRE

Our Family

Our Family
Want to be one of us?

Mau Daftar? Klik Gambar Ini!

Limbayung

Rabu, 27 Januari 2010

#1

Mentari Pagi di Lembah Mandailing

Novel Ikhwan al Bayya

Fajar menjelang. Kokok ayam pertama (martahuak manuk parjolo) terdengar saling bersahutan, seakan ingin memberitahukan bahwa sebentar lagi malam akan segera berakhir. Namun, suhu yang begitu dingin membuat orang-orang yang sedang tidur menarik kembali selimutnya lebih rapat. Saking dinginnya, seolah-olah mereka tak hendak beranjak dari pembaringan, walau mereka sebagian tahu bahwa akhir dari sepertiga malam itu adalah malam yang mulia untuk menjalankan shalat tahajjud. Waktu yang dikabulkan segala doa-doa. Lagi-lagi hawa dingin telah mengalahkan segalanya, hanya jiwa-jiwa yang dirahmati Tuhannyalah yang sanggup melawan udara dingin itu untuk kemudian larut dalam ruku’ dan sujud yang hidmat dan khusyu’.

Tak selang berapa lama, terdengarlah bunyi kokok ayam kedua (martahuak manuk paduahon), sebuah pertanda tak lama lagi subuh akan tiba. Bunyi kokok ayam itu seakan ingin membangunkan para penduduk yang terlelap tidur untuk bersiap-siap melaksanakan shalat subuh. Saat inilah, bola-bola ijuk, lembaran-lembaran ijuk pohon enau sudah mulai tampak, menari-menari dihembus angin dingin pagi, menyambut hari dengan penuh sukacita.

Sementara kicauan burung balam dan barobaro (cucakrawa) terdengar begitu merdu dan indah. Kicauan yang mendendangkan sebuah semangat baru untuk menyambut dan menjalani hari. Sebuah nyanyian alam yang mengambarkan betapa kemahabesaran Allah Sang Pencipta, yang telah menciptakan pagi agar manusia bersiap-siap untuk bertebaran di muka bumi menjemput rizki dan karuniaNya yang agung. Burung-burung itu berkicau dari pohon-pohon dan semak belukar semenjak menjelang subuh hingga terbit matahari. Kicauan yang tiada henti itu seakan ingin mengisyaratkan bahwa mereka adalah burung yang sedang berbicara kepada semesta raya.

Udara masih tetap dingin. Para penduduk Banjar Sibaguri sudah mulai keluar rumah menuju paridian(1) di Aekmata. Paridian ini berada di kanan dan kiri sepanjang aliran Aekmata. Mereka hendak berwudlu, mandi dan sekalian melaksanakan shalat subuh di surau tapian mandi. Beberapa ibu tampak menenteng garigit(2) , untuk membawa air minum. Garigit itu diberi tali ijuk yang diikatkan pada ruas atas dan bawah. Mereka biasanya membawa antara 3-4 garigit air untuk dibawa pulang. Sedangkan ibu-ibu yang lain menenteng ember yang di bawahnya dibolong halus. Ember itu berisi beras yang akan dicuci di sungai. Lubang-lubang itu berfungsi untuk menapis air agar beras yang dicuci tidak jatuh ke sungai.

Kini, torang ari (terang hari) telah tiba. Hawa dingin berangsur-angsur berkurang. Badan mulai terasa hangat ketika bincar mataniari (terbit matahari), menyeruak dari sela-sela gugus Bukit Barisan. Para laki-laki yang hendak pergi ke sawah, usai shalat subuh asyik duduk mengobrol di lopo(3) , sambil menikmati secangkir kopi Mandailing yang lezat dan goreng pisang. Demikian juga dengan para ompung godang (Kakek) yang hidupnya santai duduk-duduk mengobrol di warung kopi. Mereka mengenakan peci dan kain sarung. Orang-orang yang akan bekerja sudah datang dan pergi, namun mereka tetap saja bertahan di lopo menikmati kopi dan makanan kecilnya. Sebegitu lamanya mereka di lopo, sehingga mereka sudah pitu noli tambu aek milas (tujuh kali menambah air panas). Hal ini terjadi, karena ketika mereka memesan kopi pertama kali, mereka minta agar kopinya kental dan gulanya agak banyak. Sehingga sekalipun sudah tujuh kali ditambah air panas, tetap saja masih nikmat. Bahkan tidak jarang, ada di antara mereka yang sengaja membawa sedikit gula dari rumah yang disimpan di kantong bajunya.

Sedangkan para remaja putri pun shalat subuh di surau tapian mandi, sekalian mencuci pakaian di sana. Di antara gadis-gadis itu, ada seorang yang wajahnya sangat cantik, rambutnya lurus panjang sampai pinggang, kulitnya bersih, badanya tinggi semampai. Ia memakai kain basahan. Kelihatannya, kali ini cuciannya lumayan banyak. Sehingga ketika gadis-gadis yang lain sudah selesai dan pulang, ia masih di paridian. Sementara matahari sudah mulai meninggi, sinarnya terlihat memantul ke permukaan air yang menampakkan cahaya kemilauan, menerpa ke wajah gadis itu, semakin menambah pesona kecantikannya.

Sementara itu, matahari sudah mulai meninggi. Lembah Mandailing semakin terang benderang. Jika dipandang dari Tor Pangolat, titik tertinggi di kaki Gunung Sorik Marapi, Lembah Mandailing yang subur bagaikan kuali yang memanjang ke arah utara, dikelilingi dua baris gugus Bukit Barisan di timur dan barat, dibelah oleh Sungai Batang Gadis yang selalu mengalirkan air kehidupan. Laksana sepotong taman surga yang jatuh ke bumi. Jika kita menoleh ke kiri, nun di ufuk barat tampak sayup-sayup ombak Samudera Hindia di Pantai Natal. Terkesan ada pengharapan, ada daya tarik yang ghaib, ada cahaya kehidupan yang terpancar dari kawasan itu. Namun, pemandangan yang menakjubkan itu tidak setiap saat dapat dinikmati. Karena cuaca berembun dan berkabut di seputar Tor Pangolat, seolah menjadi tabir yang memisahkan kita dengan pemandangan yang mempesona itu. Keindahan Lembah Mandailing yang luar biasa dan menakjubkan itu takkan mungkin bisa dilukiskan dengan seluruh cat di dunia, dengan seribu satu puisi indah sekalipun. Oleh karena itu, orang Belanda menyebut Tor Pangolat sebagai Hemelspoort, Pintu Surga.

Setelah selesai mencuci, gadis itu bergegas pulang. Ia melewati jalan setapak yang becek dan licin menuju rumahnya. Di kanan-kiri jalan, tampak rumah sederhana berderet-deret. Rumah itu jaraknya saling berdekatan dan biasanya menghadap ke jalan. Rumah panggung sederhana yang terbuat dari papan kayu dan beratapkan ijuk. Jarak antara lantai rumah dan tanah sekitar setinggi pinggang orang dewasa. Atau terkadang ada yang lebih tinggi lagi. Di bawah rumah biasa dipakai untuk menyimpan kayu bakar dan kandang ayam. Ia melihat beberapa perempuan sedang menumbuk padi dengan lesung di belakang rumahnya. Ada pula beberapa gadis yang sedang mambayu (menganyam) di bawah sopo-sopo eme (lumbung padi).

Sesampainya di rumah, gadis harus segera menjemur pakaian-pakaian itu. Kebetulan hari kelihatannya panas, ia yakin pakaiannya akan cepat kering. Ketika hampir selesai ia menjemur, Siti Aminah dan Lobe Mattohar, ibu dan ayahnya datang menghampirinya.

“Limbayung, kami mau berangkat ke sawah sekarang. Nanti kalau kamu sudah selesai masak segera menyusul ke sawah..”

Olo, Umak. ”

Lalu, mereka berlalu meninggalkan Limbayung. Mereka menenteng cangkul di pundaknya. Saat ini adalah bulan sipaha sada (April). Bulan mulai berhembusnya angin yang membawa awan butir-butir hujan sebagai tanda waktu menggarap sawah tiba. Bagi sebagian penduduk kampung, mereka biasanya bertanya kepada datu(4) untuk meminta pertimbangan dalam menentukan parhalaan, perhitungan mengenai hari baik dan buruk untuk melakukan suatu pekerjaan. Seperti mendirikan rumah, pesta adat, termasuk waktu mulai menggarap sawah.

Sementara abang Limbayung, Pandapotan, sedang membelah kayu bakar di samping rumah. Biasanya ia pergi ke kebun untuk mangguris (menderes). Namun, karena sekarang lagi musim tanam padi, hari ini ia harus pergi ke sawah.

Setelah selesai menjemur, Limbayung menaruh ember di dapur dan bergegas pergi ke kebun. Ia memetik bulung gadung (daun singkong), untuk dimasak menjadi gule bulung gadung. Sayur yang menjadi kesukaan ayah dan abangnya, apalagi kalau ditambah ikan asin yang disambalin sebagai lauknya. Ayahnya pasti akan tambah nasi, bahkan sampai dua kali.

Limbayung menyiangi daun singkong itu, mencucinya dan menumbuk bersama rimbang (tekokak) dan arias (batang muda siala) sampai lumat memakai alu dan lesung kayu. Satu atau dua batang sangge-sangge (sereh) dipukul sampai retak dan pipih. Santan dipanaskan, setelah mendidih ia memasukkan daun singkong. Disusul kemudian garam secukupnya, cabe merah, renca berupa aso-aso (ikan kembung gepeng) dan ikan salai sebagai pengharum.

Orang Mandailing sangat suka mengkonsumsi gule bulung gadung. Kebanyakan, mereka memakan sayur ini dengan kerak nasi, apalagi kerak nasi itu tipis dan garing biasanya menjadi rebutan di dalam keluarga ketika makan bersama. Sehingga, sampai-sampai ada ungkapan na nipagodang ni bulung gadung (yang dibesarkan oleh daun singkong).

Sementara adik Limbayung, Masra dan Mardhatillah masih kecil. Mereka sedang sibuk mengisi balangka dengan air yang terletak di kolong rumah. Ayam dan itik ramai mengerubungi balangka itu, setelah mereka kenyang menyantap makanan sebelumnya. Setelah Limbayung selesai memasak, mereka akan ikut ke sawah.

***

“Abang, mangan jolo(6)!” kata Siti Aminah kepada suaminya ketika melihat Limbayung sudah menapaki pematang sawah yang menuju ke arahnya.

Sesampainya di sopo saba(7) , Limbayung meletakkan tentengan yang dibawanya. Lalu ia membuka tempat itu. Mengeluarkan piring, sayur dan lauknya. Ketika hidangan sudah siap disantap, ayah dan umaknya telah selesai membersihkan diri untuk menikmati makan siang.

Lalu mereka bertiga menikmati masakan Limbayung yang memang pandai memasak. Selain enak, bumbunya terasa pas. Umaknya merasa bangga dan sering memujinya. Makan sayur bulung gadung dipadu dengan sambal ikan asin di sawah sungguh nikmat. Apalagi ditambah hawa segar alam yang semakin menambah selera. Ayah Limbayung kelihatan lahap sekali makan siang itu.

”Sudah, jangan terlalu banyak makan. Nanti malah tidak bisa bekerja!” kata umak kepada ayah.

”Habis masakan Limbayung sangat enak, apalagi aku sudah lapar sekali!”

Selesai makan, mereka beristirahat dulu sejenak sebelum kembali bekerja sembari menikmati pemandangan alam yang begitu indah dan mempesona. Seperti biasa, Masra dan Mardha sudah menceburkan diri di rawa-rawa, mereka memangkap ikan-ikan kecil untuk dibawa pulang sebagai mainan. Saking gembiranya, mereka tidak memperdulikan lagi pakaian mereka yang basah dan kotor terkena lumpur. Betapa senang dan bahagianya mereka.

Pada waktu itu, di sekitar areal persawahan masih banyak rawa-rawa yang terdapat ikan-ikan beraneka rupa yang hidup secara alami. Ada ikan gabus, gurame, limbat, mas, sidat dan udang kecil. Hampir setiap ke sawah, Pandapotan pasti tak lupa membawa pancing. Saking banyaknya ikan liar di rawa-rawa itu, biasanya Pandapotan dengan mudah memancing ikan-ikan itu. Ia hanya menempatkan pancing-pancing itu di pagi hari, dan sorenya ketika akan pulang tinggal mengambilnya saja.

Limbayung menatap ke arah sebelah timur, Gunung Sorik Marapi tampak tegak menjulang tinggi dan semakin memesona oleh awan tipis berarak yang menyelimutinya. Gugusan Bukit Barisan yang mengelilingi lembah Mandailing Godang terlihat begitu kokoh dan anggun, seakan memancarkan aura magis dan pesona alam yang penuh misteri.

Sedangkan di sebelah utara dan barat, hamparan sawah yang luas laksana permadani berwarna hijau kekuning-kuningan. Di setiap pematang tumbuhlah pohon kelapa, tebu, singkong atau enau. Di sebelah selatan, ada sungai kecil tempat keluarga Limbayung membersihkan diri untuk mandi atau mengambil wudlu ketika kotu luhur tiba. Air mengalir dengan derasnya di setiap jengkal tanah, dan akan terus mengalir hingga para petani lelah mengayunkan cangkul mereka. Setiap ranting pohon yang jatuh, akan bertunas seketika. Dan setiap benih yang jatuh, bersemilah ia hingga menghasilkan buah-buahan yang membuat sedap setiap mata yang memandang.

Para laki-laki dan perempuan sibuk mengurus sawah mereka. Air yang mengalir di setiap jengkal tanah sangat memudahkan mereka untuk mencangkul sawah mereka. Bahkan, bagi mereka yang memiliki bayi, biasanya membawa serta bayi mereka ke sawah. Tak jauh dari keluarga Limbayung beristriahat, tampak seorang ibu sedang marbue-bue (menidurkan bayi) bayinya. Ia membuat anggunan (Ayunan) di sopo dengan mengikat kedua ujung kain pada tiang sopo. Sayup-sayup terdengar ibu itu berdendang. Nada yang merdu dan lambat dilantunkan sang ibu dengan penuh penghayatan.

Urro! Modom ma inang modom! Aha dope anso laing rimas? Anso na marilu na lomlom! Ngada ho nian manguas Ngada ro marsak ni roa tu anggunan Ulang be robak ilumu song ‘udan(8) (Urro! Tidur nak, tidur! Mengapa masih gelisah? Mengapa berurai air mata si hitam sayang? Engkau tak haus Tak datang keresahan ke ayunan Jangan lagi bercucur air mata bagaikan hujan)

Ketika hari sudah sore, sebelum pulang Pandapotan memeriksa pancing yang telah dipasang di rawa-rawa dan parit kecil sejak pagi sebelum bekerja di sawah. Ternyata hari ini ia mendapat ikan yang lumayan banyak. Ada ikan mas, ikan gabus, tikkalang dan limbat. Sebagian ikan-ikan itu malamnya dimasak gulai bersama daun singkong, atau dimasak sale (diasap) dan dimakan bersama raum-rauman(9). Sebagian lagi akan dijual ke pasar oleh Siti Aminah.

Catatan

1) sungai tempat mandi

2) Tabung-tabung yang terbuat dari bambu besar satu ruas

3) Ya, Bu.

4) Semacam orang pintar, dukun, tabib.

5) Tempat minum ayam dan itik, terbuat dari 1-2 ruas bambu besar yang dibelah.

6) Makan dulu

7) Gubuk kecil terbuat dari kayu dan bambu, biasanya bertingkat. Lantai atas untuk beristirahat dan shalat, sedangkan di bawahnya tempat untuk memasak air atau menaruh alat-alat pertanian/barang.

8) Syair Olo-olo (Willem Iskandar)

9) Rebusan dari bermacam-macam sayuran

0 komentar:

Posting Komentar

Video Pelatihan