Our Community

Our Community
Forum Lingkar Pena Depok

Our Event

Our Event
Depok Dalam Puisi

Our Training Program

Our Training Program
BATRE

Our Family

Our Family
Want to be one of us?

Mau Daftar? Klik Gambar Ini!

Menulis Cerpen

Selasa, 05 Januari 2010

Oleh: Denny Prabowo*

SEBUAH PENGANTAR Karya Sastra (fiksi) merupakan bangunan yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal karya sastra adalah kata-kata. Dengan demikian, karya sastra menampilkan dunia dalam kata, selain juga disebut sebagai dunia dalam kemungkinan. Pada zaman Aristoteles hanya dikenal dua genre sastra, yaitu puisi dan drama. Namun saat ini kita mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra. Prosa atau sering juga disebut teks naratif masih dibagi menjadi dua yaitu, novel dan cerita pendek (Cerpen). Cerpen atau yang di Inggris dikenal sebagai short story merupakan karya fiksi atau karya rekaan yang tidak benar-benar terjadi. Menurut Maman S. Mahayana dalam makalahnya Menulis Cerpen, Memotret Kehidupan, cerita Pendek (Cerpen) –sebagaimana tersurat pada makna kata itu— adalah cerita yang disajikan dalam kisahan yang pendek dan ringkas, meskipun panjang-pendeknya sangat relatif. Ada syarat tertentu yang secara konvensional menjadi ciri sebuah narasi disebut cerpen. Dengan demikian, menulis cerpen hendaknya tidak semata-mata didasarkan pada persoalan panjang-pendek narasi dan besar-kecil lingkup masalah, tetapi juga atas pertimbangan kepadatan, kelugasan, kehematan, dan kedalaman yang tersimpan dalam kisahan yang pendek itu. Peristiwa yang tampak sepele, misalnya, mungkin saja menjadi cerpen yang baik jika dikemas secara menawan. Untuk sampai pada kisah yang menawan itu, pertimbangan kepadatan, kelugasan, kehematan, dan kedalaman itulah yang menjadi syarat yang mutlak dipenuhi. Di samping unsur formal bahasa, novel ataupun cerpen memiliki unsur-unsur pembangun lainnya. Unsur-unsur itulah yang kemudian membentuk totalitas menjadi satu kesatuan. Secara garis besar, berbagai unsur tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Kepaduan antar unsur-unsur inilah yang membuat karya sastra berwujud. Unsur-unsur yang dimaksud adalah, tema atau ide, plot, latar, penokohan, sudut pandang penceritaan, bahasa, dan lain-lain. Sedang unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan cerita. Unsur-unsur yang dimaksud adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang dapat mempengaruhi karya yang ditulisnya. Seperti unsur psikologi pengarang, pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya sastra. Lingkungan sosial, politik, ekonomi pengarang juga akan berpengaruh terhadap karya sastra yang ditulisnya. Stanton (1965) membedakan unsur intrinsik sebuah cerita ke dalam tiga bagian: fakta, tema, dan sarana pengucapan sastra. Fakta dalam sebuah cerita meliputi karakter tokoh, plot, dan seting. Secara factual, ketiganya merupakan unsur fiksi yang dapat dibayangkan peristiwa dan eksistensinya dalam sebuah cerita. Ketiganya dapat pula disebut sebagai stryukstur factual. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita atau gagasan dasar. Teman dapat besinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Itu sebabnya, tema cerita sering juga disebut sebagai ide cerita. Sarana pengucapan sastra atau sarana kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang dalam memilih dan menyusun detil-detil peristiwa dan kejadian menjadi pola yang memiliki makna. Tujuannya adalah untuk memungkinkan pembaca melihat fakta (baca: tokoh, seting, dan plot) sebagaimana yang dilihat oleh pengarang, menafsirkan makna fakta seperti yang ditafsirkan pengarang, merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Macam sarana kesastraan yang dimaksud antara lain, sudut pandang penceritaan,bahasa, dan simbolisme. DARIMANA DATANGNYA IDE Seorang penulis sudah semestinya adalah seorang pengamat. Penulis yang baik adalah pengamat yang baik. Pengamat yang baik selalu peka dan tertarik pada segala hal. Ketertarikan seorang penulis pada objek yang dianggap remeh dan biasa oleh sebagian orang, membuatnya tak akan pernah kehabisan cerita. Seperti menimbun ide di lumbung imaji. Seorang penulis pernah berucap pada saya kalau dia tidak suka menulis tentang terminal atau pasar, karena menganggap tidak ada hal menarik untuk diceritakan. Bisa jadi dia bukan seorang yang akrab dengan kehidupan di kedua tempat itu. Demikianlah, sesungguhnya penulis itu tengah membangun jeruji besi yang siap memenjarakan imajinya. Tidak perlu heran apabila kelak penulis itu akan sering mengeluh tidak memiliki ide cerita untuk ditulisnya, karena dia—sadar maupun tidak sadar—telah membatasi cakrawala imajinya. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi pengamat yang baik, yang memiliki kepekaan, kalau kita membatasi ketertarikan pada sesuatu. Padahal, menjadi pengamat yang baik adalah kunci menjadi penulis yang baik, yang dengannya kita tak akan pernah kehabisan ide cerita untuk dituliskan. Begitu banyak peristiwa terjadi di sekitar kita, dan kesemuanya adalah sumber cerita. Yang perlu dilakukan oleh seorang penulis hanya membuka mata dan telinga, biarkan imajinasi menyelesaikan tugasnya. Ada bermacam cara mendapatkan sumber cerita. 1.Pengalaman adalah Harta “Kalau ingin menjadi pengarang, pergilah ke tempat yang jauh, atau merantaulah ke negeri orang. Lalu tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat. (W. Somerset Maugham) Dengan semangat itulah, Gola Gong memanggul blue ranselnya untuk berkeliling Indonesia bahkan sampai ke negeri-negeri tetangga di Asia. Dan pengalaman-pengalaman selama melakukan perjalanan itu, menghasilkan sebuah novel serial Balada si Roy. Lalu, bagaimana jika pengalaman hidup kita tidak cukup menarik untuk dituliskan? Buat daftar nama orang-orang yang kalian kenal, lalu gali pebngalaman hidup mereka. Bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan sebuah pengalaman yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah cerita. 2. Pandangan Selintas Suatu kali Hamsad Rangkuti melihat dari jendela bis seorang lelaki menekan kawat sinyal di sisi rentangan rel. Pada saat rentangan kawat sinyal itu ditekan, seorang wanita yang mengenakan kebaya melangkah di atas rentangan kawat sinyal itu. Setelah melintas wanita itu melemparkan sekeping uang ke dalam kaleng yang berada di sebelah tempat duduk si lelaki. Hanya itu yang dilihat Hamsad Rangkuti, sementara bis yang ditumpanginya tetap melaju. Dan dari pandangan selintas itu lahirlah sebuah cerpen berjudul: “Hukuman untuk Tom”. Di sinilah imajinasi bermain. Membuat kemungkinan-kemungkinan peristiwa dari yang disaksikan hanya selintas saja. 3.Berita Sumber Peristiwa Salah satu unsur pembangun fiksi adalah peristiwa. Berita menawarkan banyak peristiwa. 5W + 1H adalah perinsip kerja wartawann. Dengan ini kita dapat memahami proses terjadinya cerita di dalam cerpen. Yakni peristiwanya what APA, yang telibat who SIAPA, terjadi when KAPAN, where DI MANA, why MENGAPA, dan kejadiannya howBAGAIMANA.

Dalam sebuah workshop kepenulisan, Hamsad Rangkuti mengatakan, “Berita adalah kunci kontak kita menulis, dan SIM-nya adalah bahasa”. Hampir setiap hari kita melihat tayangan berita di televisi, membaca di koran, atau mendengarkan di radio. Ada anak membunuh bapaknya, ada paman memerkosa keponakannya, ada perampok nasabah ditembak kakinya, ada artis dipenjara karena kasus narkoba, ada anak kecil mencoba gantung diri karena belum membayar uang sekolah, ada sebuah desa terendam banjir, ada rumah teruruk longsoran sampah, ada pembantu disiksa majikannya, ada artis dipanggil polisi karena foto bugilnya. Begitu banyak peristiwa yang kita dapat dari media massa. Kita hanya perlu memilihnya satu saja untuk dijadikan cerita. Dalam sebuah wawancara majalah dengan Gubernur Timor Timur saat itu, Mario Viegas Carrascalao, didapatlah sebuah fakta: Pada akhir oktober saya menerima empat pemuda di ruangan saya, di antara mereka ada dua orang yang telinganya dipotong. Mereka suatu hari duduk di atas jembatan. Tiba-tiba muncul lima orang, tiga orang asal Timtim dan dua orang berasal dari luar Timtim. Langsung menangkap pemuda itu, dipukuli, dan telinganya dipotong. Bagi seorang penulis, laporan semacam ini menantang untuk digarap menjadi sebuah cerita. Diapakan telinga-telinga yang dipotong itu? Maka Seno Gumira Ajidarama menuliskan sebuah cerita berjudul “Teling”, kisah seorang serdadu yang suka mengirimkan telinga kepada pacarnya, dan betapa bangga pacarnya menerima telinga-telinga itu. 4. Mitos Begitu banyak mitos di negeri ini yang bisa digarap menjadi sebuah cerita. Salah satunya adalah mitos tentang kupu-kupu yang selalu dikaitkan dengan kedatangan seorang tamu. Dari mitos tersebut lahirlah sebuah cerita dari tangan Seno Gumira Ajidarama, “Ada Kupu-kupu, Ada Tamu”, yang berkisah tentang sebuah rumah yang suatu hari kedatangan kupu-kupu. Pemilik rumah lantas mempersiapkan perjamuan karena yakin kalau hari itu bakal datang seorang tamu ke rumahnya. Masih banyak mitos-mitos lain yang bisa digarap menjadi cerita. Mitos tentang burung gagak, misalnya. Keberadaan burung gagak sering dikaitkan dengan berita kematian. Suatu kali seekor gagak hinggap di atap rumah seorang warga. Seorang tetangganya melihat hal itu. Dia yakin sekali kalau mitos itu benar. Dia memeringati pemilik rumah itu agar berhati-hati. Tetapi pemilik rumah itu tidak percaya dengan mitos. Tetangganya itupun menguntit ke manapun pemilik rumah itu pergi untuk membuktikan mitos itu benar. Tapi sampai sebuah mobil menerjang tubuhnya saat dia berusaha menyusul pemilik rumah menyeberang jalan, dia belum berhasil membuktikan kebenaran mitos itu. 5.Dongeng atau Tradisi Lisan Berapa banyak dongeng yang pernah kamu dengar? Dongeng-dongeng yang pernah kamu dengar merupakan sumber cerita potensial yang bisa digarap. Pilih saja salah satu, lalu tuliskan kembali dengan melakukan perubahan pada ending cerita, atau bahkan memutar balikkan logika. Bagaiman sendainya pangeran tampan tak pernah menemukan sepatu kaca milik Cinderella? Atau bagaimana seandainya saja sepatu kaca yang ditemukan pangeran ternyata cukup saat dipakai oleh saudara tiri Cinderella? Lalu bagaimana jika Jaka Tarub salah mencuri selendang Nawangwulan, bidadari yang ditaksirnya, dengan selendang milik bidadari lainnya? Atau malah Jaka tarub tak pernah mencuri selendang milik Nawangwulan, padahal bidadari itu berharap sekali selendangnya dicuri? Pertanyaan-pertanyaan itu akan mengantarkan kamu pada sebuah cerita yang baru. 6.Mimpi Coba ingat-ingat mimpi yang kamu alami dalam tidur malam tadi? Buatlah diri kamu seakan-akan berada dalam alam pikiran seperti sedang berada dalam mimpi, kamu akan mampu menciptakan aneka hubungan dan peristiwa-peristiwa yang janggal. Dari sana kita bisa menulis sebuah cerita. 7.Mencuri dari Buku Dalam sebuah workshop teater, Slamet Raharjo Jarot mengatakan, bahwa karya yang telah dipublikasi bebas ditafsir ulang oleh pembaca. Kalau karya kita tak mau ditafsir orang, maka simpan saja di dalam lemari. Begitu banyak kisah cinta masa kini yang dituliskan berdasarkan karya Sakespear, Romeo dan Juliet. Bahkan kisah Romeo dan Juliet pun disinyalir terinspirasi dari kisah Laila Maj’nun. Sapardi Djoko Damono menafsir ulang karya Samuel Backett yang sangat ternama, “Waiting for Godot” . Dalam naskah drama itu, Samuel backett beranggapan bahwa manusia menunggu maut. Sapardi memutar balikkan logikanya, bukan manusia yang menunggu maut, tapi manusia yang ditunggu oleh maut lewat cerpennya, “Ditunggu Dogot”. 8.Sejarah Sejarah merupakan catatan sebuah peristiwa. Oleh sebabnya dia telah memenuhi unsur sebuah cerita. Kita bisa menghadirkan sejarah ke dalam cerita yang kita tulis dengan menghadirkan tokoh fiktif. Misalnya saja catatan sejarah tentang G30S PKI. kita bisa menceritakan malam pembantaian 7 jendral itu lewat sudut pandang orang yang melakukan penyiksaan. Atau bahkan lebih dari itu, kita membayangkan diri kita sebagai silet yang digunakan sebagai alat penyiksaan. Dengan cara ini, kita akan mendapatkan cerita dengan sudut pandang yang tidak biasa. Begitu banyak cerita yang mengambil latar sejarah. Salah satunya film yang mengambil latar sejarah perang salib di Jerusalem. Di Indonesia sendiri kita memiliki film “Cut Nyak Dien”. Yang mungkin paling terkenal adalah sejarah tenggelamnya kapal Titanic. Peristiwa sejarah itu mengantarkan kita pada sebuah kisah cinta yang lebih kurang seperti Romeo dan Juliet, tentang cinta yang dipertentangkan karena status sosial yang berbeda. Kehidupan di dunia telah berlangsung begitu lama, sejak jaman Adam as., sampai sekarang, telah begitu banyak peristiwa yang dicatatkan sebagi sebuah sejarah. Dari satu peristiwa sejarah saja, kita bisa membuat bermacam cerita lewat sudut pandang berbeda-beda. Masih berpikir sulit menemukan ide? “Duduk dan lakukan!” nasihat Josip Novacovich. Sastrawan kelahiran Kroasia ini berpendapat, inspirasi lebih mudah datang saat menulis, ketimbang ditunggu-tunggu sebelum mulai menulis. MENCIPTAKAN PLOT Selama ini plot sering disalahpahami sebagai alur atau jalan cerita. Mungkin karena keduanya dibangun oleh unsur ‘peristiwa’. Penyamaan begitu saja antara plot dengan alur, apalagi mendifinisikan plot sebagai alur tidaklah tepat. Di dalam sebuah alur belum tentu terdapat plot, sebaliknya sebuah plot sudah pasti akan membentuk alur. Lalu apakah plot dan alur ini? Forster dalam Aspec of Novel mengartikan alur atau jalan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu. Atau peristiwa demi peristiwa yang susul menyusul. Sedangkan plot adalah hubungan kausalitas (sebab-akibat) sebuh peristiwa dengan peristiwa yang mendahuluinya atau peristiwa setelahnya. Bahasa sederhananya, hubungan sebab-akibat antar peristiwa dalam sebuah cerita. Menggunakan Rumus Josip Novakovich Dalam bukunya Berguru pada sastrawan Dunia, Novakovich memberikan sebuah rumus seting = tokoh = plot rumus ini bisa dimodifikasi menjadi tokoh = seting = plot atau ditulis seting + tokoh = plot. Dari sini bisa dikatakan, pemicu utama dari sebuah plot adalah seting dan tokoh. a.Seting Sebagai Pemicu Kita dapat memulai sebuah cerita dengan seting tertentu pada waktu tertentu. Dari penggambaran seting tersebut, kita akan mendapatkan tokoh-tokoh. Dari motif yang dimiliki tokoh pada tempat dan waktu tertentu itu, kita akan mendapatkan plot cerita. Misalnya saja kita memilih seting sebuah kaki gunung Merapi pada waktu akan meletus. Dari sini kita bisa mendapatkan tokoh, sebut saja Parmin, yang pernah menjadi korban awan panas hingga hampir setengah tubuhnya mengalami luka bakar. Kita bisa mengarahkan cerita ke dalam berbagai kemungkinan. Misalnya saja Parmin yang trauma berusaha menghimbau warga untuk mengikuti anjuran pemerintah untuk mengungsi, tapi warga lebih percaya pada—sebut saja—Mbah Marijan, kuncen Merapi yang mengatakan bahwa kondisi Merapi tidak berbahaya. Dari sini kita bisa mulai meciptakan peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat, hingga terciptalah sebuah alur cerita yang memikat. b.Tokoh Sebagai Pemicu Kita dapat memulai sebuah cerita dengan menciptakan seorang tokoh. Berilah gambaran singkat latar belakang kehidupan serta kebiasaan-kebiasaan dari si tokoh. dari sini kita bisa mendapatkan sebuah plot cerita. Misalnya saja, seorang pemusik kafe yang memiliki kebiasaan terlambat. Kira-kira, plot apa yang akan kita dapatkan? Suatu kali si pemusik terlambat bangun, padahal beberapa jam lagi dia sudah harus berada di tempat kerjanya, sebuah kafe. Untuk sampai tepat waktu, maka pemusik itu memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi dan mengalami sebuah kecelakaan yang mengakibatkan tangannya harus diamputasi, padahal dengan tangan itu dia melakukan pekerjaannya sebegai seorang pemusik. Dari sini kita akan mendapatkan konflik yang cukup kuat. 2. Kombinasi Kartu Seorang penulis bernama Art Corriveau memiliki kiat menarik saat menulis ceritanya yang berjudul With Mirrors (dimuat dalam majalah Story 1993). Pada malam hari dia menyimpan ke dalam kotak sepatu beberapa lembar kartu yang berisi coretan-coretan yang janggal yang dia tulis pada siang harinya. Lalu dia mengambil tiga kartu dari dalam kotak tersebut, dan coretan-coretan itu membentuk sebuah cerita. Beberapa penulis menggunakan kiat ini dengan cukup sistematis. Mereka menyimpan setumpuk kartu berisi gambaran singkat tentang seting, dan setumpuk kartu berisi gambaran singkat tentang tokoh, dan tumpukan ketiga berisi gambaran singkat tentang aksi. Lalu mereka menarik selembar kartu dari masing-masing tumpukan, menyatukannya, dan mencari kemungkinan apakah bisa muncul sebuah cerita dari ketiga kartu tersebut. Lalu cobalah menjalin hubungan antara berbagai kemungkinan antara seting, tokoh dan aksi. Dari jalinan hubungan inilah kita mendapatkan sebuah plot.

***

Sesungguhnya, banyak hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan cerpen. Dan kepiawaian itu akan muncul dengan sendirinya jika kita terus-menerus berlatih, berlatih, dan berlatih. Tanpa latihan, kita akan terjebak pada kegagapan. Menulis cerpen, atau menulis apapun, hanya mungkin dapat berhasil dengan baik, jika proses latihan itu tidak dihentikan. Ibarat seseorang yang belajar berenang di dalam kelas, sampai kapan pun mustahil dapat berenang jika ia tak pernah merasakan bagaimana menceburkan diri dan mempraktikkannya di dalam kolam atau sungai. Menulis cerpen juga demikian. Proses berlatih merupakan kata kunci untuk mencapai hasil yang baik. Selamat berlatih!

Depok, 17/01/07 11:53 pm

*Cerpenis, novelis, dan penanggung jawab perpustakaan Rumah Cahaya Depok, bergiat di FLP Depok

0 komentar:

Posting Komentar

Video Pelatihan