Oleh Denny Prabowo
sumber:
penulis-freelace
Di dalam menulis fiksi, dialog bukanlah segala-galanya. Pengarang seperti Gabriel Garcia lebih banyak mengandalkan narasi, nyatanya dia bisa menulis fiksi dengan baik. Namun, menulis dialog bisa jadi merupakan keterampilan yang sangat anda butuhkan. Karena kebanyakan adegan besar dan adegan kecil bergantung pada dialog.
Mungkin anda tidak memerlukan dialog ketika adegan yang anda tulis hanya melibatkan seorang tokoh. Namun, apabila adegan itu melibatkan dua atau bahkan beberapa tokoh yang saling berinteraksi, dialog akan membuat adegan dalam cerita anda menjadi hidup dan terkesan wajar.
Terkadang sebuah adegan dipaparkan lewat narasi. Namun hal itu dapat membuat cerita menjadi lambat. Untuk itu, sebuah adegan—apalagi jika melibatkan beberapa tokoh—lebih menarik jika ditulis berselang-seling dengan dialog.
DIALOG
Pada dasarnya, dialog adalah percakapan. Percakapan-percakapan muncul dalam cerita karena tentu saja, di dalam kehidupan nyata percakapan juga muncul. Namun dalam kehidupan nyata, banyak dari kita membuat percakapan-percakapan yang tidak penting. Di dalam menulis fiksi kita harus menghindari menuliskan dialog-dialog yang tidak penting.
1. Fungsi Dialog
Dalam sebuah cerita, dialog haruslah fungsional. Sebuah dialog, setidak-tidaknya harus memenuhi satu dari tiga fungsi penting. Namun, yang terbaik adalah, dialog memenuhi ketiga fungsi penting itu sekaligus.
Dialog Memberikan Informasi
“Helena mencintainya, Ambe...”
“Tak bisa, Ambe sudah berjanji pada Tato’ Denna’ untuk menikahkan kau dengan anak laki-lakinya!”
“Tapi, Ambe...” ragu Helena berucap, ”Helena sedang mengandung benihnya.”
(Tedong Helena karya Denny Prabowo)
Dialog antara tokoh Helena dengan Ambe (ayah), kita mendapatkan informasi tentang perjodohan Helena dangan anak laki-laki Tato’ Denna’. Dialog di atas juga memberikan informasi tentang kehamilan Helena.
Dialog Mengungkapkan Tokoh
“Hati-hati,” kata Frances, saat mereka menyeberangi Eighth Street.
“Kamu bisa celaka dan lehermu bisa patah.”
Michael tertawa dan Frances ikut-ikutan tertawa.
“Lagi pula, dia tidak terlalu cantik,” kata Frances. “Pokoknya, tidak terlalu cantik untuk membuat kamu perlu ambil resiko patah leher hanya untuk melihatnya.”
Michael tertawa. Sekarang dia tertawa lebih keras lagi, tetapi tidak terlalu lepas. “Dia bukan gadis yang jelek-jelek amat. Kulitnya mulus. Kulit gadis desa. Tapi, dari mana kamu tahu aku memerhatikannya?”
Frances memiringkan kepalanya ke samping dan tersenyum kepada suaminya dari balik pinggiran topinya yang agak miring. “Mike, sayang...”
(The Girls in Their Summer Dresses karya Irwin Shaw)
Dialog di atas mampu mengungkapkan beberapa karakter tokoh. Melalui dialog antara Michel dan Frances kita mendapat gambaran fisik tokoh lainnya, yaitu tokoh ‘Dia’, seorang gadis yang memiliki kulit mulus seperti kulit gadis desa. Dialog itu juga mengungkapkan karakter tokoh Michael yang suka melirik wanita lain meski ada istri di sampingnya, juga tokoh Frances yang cemburuan.
Dialog Membangun Konflik
“Kita harus tepat waktu. Tidak boleh terlambat, apalagi terlalu cepat datang. Dogot sama sekali tidak suka orang yang tidak tepat waktu. Harus tepat, setepat-tepatnya.”
“Kita harus bergegas kalau begitu.”
“Siapa bilang begitu? Harus tepat waktu! Sudah kubilang, terlalu cepat juga tidak tepat waktu.”
“Kamu tahu siapa Dogot?”
“Peduli amat.”
“Benar juga. Tapi kalau tak tahu, bagaimana kita bisa tahu itu Dogot kalau nanti ketemu?”
( Ditunggu Dogot karya Sapardi Djoko Damono)
Dialog antara dua tokoh di atas, muncul di awal cerita. Tokoh-tokoh dalam cerita itu harus tepat waktu, tetapi tidak juga boleh terlalu cepat datang. Mereka harus bertemu Dogot, tetapi mereka sendiri tidak mengetahui siap itu Dogot. Petikan dialog di atas langsung menyuguhkan konflik kepada pembaca. Apalagi penempatannya yang di awal cerita, akan menghadirkan sebuah suspense (perasaan tidak menentu) di diri pembaca. Dengan demikian, pembaca akan terus mengikuti ceritanya untuk mendapatkan jawaban atas ketidak menentuan yang dirasakan oleh mereka.
2. Menulis Dialog yang Tepat
Setelah anda mengetahui fungsi dari dialog di dalam sebuah cerita, maka perlu anda mengetahui cara menulis dialog yang tepat. Masih banyak orang keliru ketika menulis dialog. Setidaknya, ada tiga aturan sederhana dalam penulisan dialog.
a. Setiap kali seorang tokoh di dalam cerita anda berbicara, walau dia hanya mengucapkan, “Oya?”, maka buatlah paragraf baru. Sehingga pembaca tidak kebingungan membedakan siapa yang tengah berbicara.
“Siapa nama perempuan yang tinggal di depan rumahmu?”
“Helvy Tiana Rosa.”
“Oya?”
“Apakah kau mengenalnya?”
“Aku sering mendengar nama itu. Apakah dia seorang penulis?”
“Ya.”
b. Pisahkan dialog dari label identifikasi (kata ‘katanya’ atau lainnya, yang menunjukkan si pembicara) dengan tanda koma, bukan titik. Gunakan tanda tanya atau tanda seru sesuai kebutuhan kalimatnya. Aturan ini berlaku di mana pun label di tempatkan—apakah di awal dialog, di antara dialog, atau di akhir dialog.
Dia bertanya, “Apakah kau melihat adikku?”
“Ya,” kataku, “dia sedang beramain di tepi sungai dengan teman-temannya.”
“Maukah kau menolongku memamanggilnya?” mohonnya.
c. Apabila sebuah kalimat uraian menggantikan label, maka setiap kalimat lengkap haruslah berdiri sendiri.
“Angkat tangan!” Polisi itu menodongkan senjatanya ke kepala salah seorang perampok, kemudia memaksanya merapat ke dinding. “Pakai borgol ini!”
ADEGAN
Adegan adalah tindakan berkesinambungan dari seseorang atau beberapa orang yang ditampilkan pada suatu latar (tempat dan waktu). Untuk membangun adegan yang baik, anda harus mampu menggambarkan latar, menampilkan para tokoh, dan menyajikan perbuatan mereka dengan jelas.
Dalam kehidupan sehari-hari, tentu anda sering menyaksikan adegan-adegan berlangsung di depan mata. Namun tidak semua adegan itu menarik untuk diceritakan. Anda tentu tak akan menolehkan kepala, ketika melintas di depan sepasang anak muda yang tengah berbincang-bincang di bangku peron stasiun kereta. Tapi apabila salah seorang di antara mereka berbicara sambil menghunuskan sebilah belati kepada lawan bicaranya, anda pasti tak akan melewatkan begitu saja adegan itu.
Sebuah adegan menjadi menarik, apabila terdapat sebuah konflik di dalamnya. Namun, di dalam sebuah cerita, anda hanya boleh menampilkan adegan-adegan yang berkaitan dengan plot cerita secara keseluruhan.
Tunjukan, Jangan Katakan!
Bayangkanlah bahwa diri anda adalah sebuah kamera yang merekam sebuah peristiwa. Dan tulisan anda adalah televisi yang menayangkan hasil rekaman tersebut kepada pembaca. Dengan demikian, tulisan anda tidak sekedar menyuguhkan cerita, tetapi juga menampilkan gerak. Begitulah semestinya sebuah peristiwa ditampilkan kepada pembaca. Buatlah cerita anda bergerak. Menunjukkan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita anda jauh lebih menarik, ketimbang menceritakan kepada pembaca bahwa tokoh anda telah melakukan sesuatu.
Ketimbang anda mengatakan bahwa Siska adalah perempuan genit, lebih baik tunjukkan sikap Siska saat sedang merayu seorang lelaki. Ketimbang anda mengatakan bahwa Iwan adalah murid yang pandai, lebih baik tunjukkan bagaimana cara Iwan mengerjakan soal yang diberikan oleh guru di papan tulis dalam waktu singkat.
Perhatikan contoh di bawah ini:
Sebenarnya, lelaki Swedia itu hanya mencari seseorang untuk menemaninya minum. Seorang bartender memeringatinya ntuk bersikap sopan. Namun orang Swedia itu tidak menghiraukan. Dia memaksa serang penjudi untuk menemaninya minum. Penjudi itu menolak. Orang Swedia itu tidak senang. Dia memaki penjudi itu dengan kasar sambil mencengkeram lehernya. Penjudi itu marah dan membunuh orang Swedia itu dengan pisau besar, di depan para saudagar kaya dan jaksa wilayah yang berada di bar itu.
Apakah paragraf di atas telah menampilakan sebuah adegan? Jawabannya: ya. Namun, pembaca tidak akan bisa menyaksikan aksi dari orang-orang yang terlibat dalam adegan-adegan di atas. Sebab, adegan itu hanya ‘dikatakan’ bukan ‘ditunjukkan’.
Sekarang kita perhatikan contoh di bawah ini:
“Oke,” teriak orang Swedia itu, “kalau begitu, dengar baik-baik. Kau lihat sekelompok lelaki di sana? Mereka pasti mau minum menemaniku, dan kau ingat itu. sekarang lihatlah.”
“Hai!” teriak bartender, “bukan begini caranya!”
“Bukan begini bagaimana?” tanya orang Swedia itu. Da melangkah dengan gagahnya menuju sebuah meja dan sambil lalu menepuk pundak seorang penjudi, “Bagaimana kalau begini?” tanyanya dengan geram. “Kuajak kau menemaniku minum.”
Si penjudi hanya menoleh sekilas dan berkata melalui pundaknya, “Bung, aku tidak kenal kau.”
“Sialan!” jawab orang Swedia itu, “ayolah temani aku minum.”
“Anak muda,” si penjudi mencoba memberi nasihat dengan baik-baik, “angkatlah tanganmu dari pundakku, pergilah, dan urus urusanmu sendiri.” Penjudi itu bertubuh kecil, kurus, dan aneh sekali mendengarnya berkata dengan nada ramah begitu kepada si orang Swedia yang bertubuh tegap. Beberapa lelaki lain meja itu tidak bersuara sedikit pun.
“Apa? Kau tak mau menemaniku minum, orang cebol? Aku akan memaksamu!” orang Swedia itu mencengkeram leher si penjudi dengan kasar, dan menyeretnya dari kursinya. Beberapa lelaki lain segera berdiri. Si bartender berlari ke sudut barnya. Terjadi kegemparan hebat dan tiba-tiba tampak sebilah pisau panjang di tangan si penjudi. Pisau besar itu melesat kencang, dan sesosok ubuh, benteng kebajikan, kearifan, kekuatan, ditikam dengan mudahnya seperti sebuah melon. Orang Swedia itu itu jatuh dengan jeritan keterkejutan yang luar biasa.
Para saudagar terkemuka dan jaksa wilayah seperti serentak terjengkang. Si bartender terkulai di pegangan kursi dan matanya menatap si pembunuh.
“Henri,” kata si pembunuh, sambil membersihkan pisaunya pada handuk yang tergantung di rel meja bar, “kau beri tahu mereka di mana bisa menemukanku. Aku di rumah, menunggu mereka.” Lalu, dia menghilang. Sejenak kemudian, si bartender sudah berada di jalan menembus hujan badai mencari pertolongan dan, yang lebih utama lagi, seorang teman.
Mayat orang Swedia itu, tergeletak sendiri di bar, matanya menatap sebuah tulisan menakutkan yang bertengger di atas mesin kasir: “Ini mencatat jumlah yang anda beli.”
(The Blue Hotel karya Stephen Crane)
Paragraf-paragraf di atas mampu merangsang imajinasi pembaca, untuk menghadirkan gambaran aksi yang terjadi pada adegan di dalam bar tersebut di kepalanya. Pembaca tidak sekedar mendapatkan informasi tentang sebuah adegan seperti pada contoh paragraf sebelumnya, tetapi ‘melihat’ adegan tersebut: Pembaca ‘melihat’ bahasa tubuh tokoh-tokoh saat adegan itu berlangsung; Pembaca juga ‘mendengar’ suara tokoh-tokohnya; Pembaca bahkan mendapat gambaran fisik beberapa tokoh yang terlibat dalam adegan tersebut.
Sebuah adegan mungkin sangat bergantung pada perkara yang diangkatnya. Namun begitu, cara anda menyajikan adegan sangat menentukan apakah perkara yang besar itu menarik untuk disimak atau tidak.
Dari adegan yang terdapat di dalam The Blue Hotel karangan Stephen Crane, kita menyaksikan bagaimana sebuah adegan besar ditampilkan lewar perpaduan antara narasi dengan dialog. Sehingga adegan itu menjadi lebih dramatis.
0 komentar:
Posting Komentar