Oleh Hafi Zha dan Denny Prabowo
Karya Fiksi ibarat hidangan dalam sebuah jamuan pesta yang disajikan berurutan. Apabila Anda menghidangkan makanan pembuka yang tidak enak, maka bisa dipastikan para undangan akan kehilangan selera makannya. Kalau sudah begitu, mereka akan merasa enggan untuk melanjutkan ke menu utama.
Gabriel Garcia Marquez menghabiskan waktu berhari-hari hanya untuk menggarap paragraf pertamanya, dan ketika dia telah mampu menyelesaikannya, sisanya akan mengalir dengan lancar.
Setelah judul, bagian pembuka adalah kesan, atau mungkin lebih tepat dikatakan ungkapan, yang pertama kali Anda tunjukkan kepada pembaca. Dalam psikologi sosial, kita mengetahui bahwa kesan pertama sering kali merupakan hal terpenting. Karena pengertian semacam inilah, banyak pengarang berusaha keras menuliskan pembuka ceritanya, agar bisa membuat ceritanya menjadi memukau.
Ada beberapa cara untuk memulai sebuah cerita. Ada baiknya Anda mencontoh seorang pecatur yang tidak hanya mengandalkan satu macam pembuka saja. Pembuka yang berbeda-beda akan mendorong Anda menuliskan dengan berbagai macam cara pula.
1. Penggambaran Latar
Di pantai yang nyaman di Franch Riviera, kira-kira di tengah-tengah antara jarak Marseilles dan perbatasan Italia, berdirilah sebuah hotel yang besar, kukuh dan berwarna merah muda. Beraneka pohon palem memberikan keteduhan di teras hotel yang mewah itu, dan di depannya terhampar pantai yang memesona. Belakangan ini, hotel tersebut menjadi persinggahan orang-orang terpandang yang modis…
(Tender is The Night karya F. Scott Fitzgerald)
Cerita di atas dibuka dengan penggambaran tempat yang runtut. Dimulai dari lokasi hotel itu berada. Lalu dilanjutkan dengan deskripsi bentuk dan warna hotel tersebut. Tidak ketinggalan juga hal-hal yang membuat hotel tersebut menarik dipaparkan, seperti adanya pohon palem dan pantai yang mempesona. Pada kalimat berikutnya, terdapat hubungan sebab akibat, yaitu hotel yang besar dan mewah itu dikunjungi orang-orang terpandang. Hubungan logis inilah yang menjadi pendukung kuatnya pembuka cerita di atas.
Ketika membaca pembuka cerita ini, kita akan lebih mengetahui dan mengenal tempat (setting) kejadian cerita. Hal ini akan menjadi suatu tantangan bagi penulis untuk bisa mendeskripsikan latar peristiwa sehidup-hidupnya dan setampak-tampaknya. Akibatnya, kita akan bermain dengan pencitraan dalam dirinya, baik penglihatan, penciuman, perabaan, dan pendengaran. Menarik bagi pembaca yang memang suka terhadap cerita yang kuat akan deskripsi latar.
Seperti dalam pembuka cerita di atas, penulis tidak terburu-buru untuk masuk ke dalam peristiwa yang dialami tokoh. Kita akan merasa penasaran untuk melanjutkan membaca, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di hotel mewah itu atau apakah ada misteri dalam hotel itu.
Satu hal yang perlu di catat ketika menggunakan penggambaran latar untuk membuka cerita, yaitu jangan terlalu panjang dalam penceritaan latar. Cukup dua atau tiga paragraf awal sebagai pengantar, bahkan tiga paragraf pun sebenarnya sudah terlalu melelahkan untuk pembaca yang tidak sabar.
2. Penggambaran Fisik Tokoh
Dari dahinya yang lebar dan sangat menonjol ke depan itu bisa ditebak kalau lelaki muda yang bernama Panut itu pasti berotak cerdas. Akan tetapi entah apa bentuk mulutnya juga ikut mendukung kefasihan dan kepintaran bicaranya. Menurut teman-teman yang lain tubuhnya yang pendek menandai dia selalu ngotot dan tak mau kalah kalau sedang bicara.
(Randu Alas karya Agus Vrisaba)
Cerita ini mengisahkan tentang lelaki muda, Panut, yang cerdas dan pintar bicara. Semua sifat tersebut tidak secara langsung diceritakan oleh penulis, tetapi diceritakan melalui penggambaran fisik tokoh. Informasi-informasi yang kita dapat tentang Panut yang cerdas dimulai dari pengaitan bentuk dahi yang lebar dan menonjol. Penulis memakai kebiasaan yang memang berkembang dalam masyarakat bahwa jika ada orang yang dahinya lebar menandakan orang itu cerdas. Pembaca akan memakai pengalamannya ketika membaca cerita ini untuk menangkap gambaran Panut yang cerdas. Selanjutnya, penulis memberi penguatan gambaran Panut dengan pemakaian pendapat teman-teman Panut tentang tubuh Panut yang pendek. Jadi, penulis tidak terus-terusan memakai sudut pandangnya ketika bercerita tentang Panut tetapi memakai tokoh teman-teman Panut.
Kekurangan penggunaan pembuka cerita dengan teknik ini adalah diperlukan waktu beberapa lama sebelum aksi dimulai, yaitu kita akan melalui sebuah ringkasan dengan berbagai macam pikiran dan gambaran-gambaran umum sebelum sebuah adegan dimulai. Kelebihannya adalah kita langsung sampai pada si tokoh: tahu bagaimana sifatnya, tahu apa yang dilakukannya, melihat gambaran fisiknya, mendengar suaranya. Kelebihannya mungkin lebih besar daripada kekurangannya karena ketika aksi mulai ditampilkan, kita telah siap menghadapinya. Kita sudah mengenal tokoh yang merupakan pusat perhatian utama dan tema cerita.
3. Penggambaran Karakter tokoh
Tetangga saya orangnya terkenal baik. Suka menolong orang. Selalu memaafkan. Apa saja yang kita lakukan terhadapnya, ia dapat mengerti dengan hati yang lapang, bijaksana, dan jiwa yang besar. Setiap kali ia mengambil putusan, saya selalu tercengang karena ia dapat melakukan itu dengan kepala yang kering, artinya sama sekali tidak ketetesan emosi. Tidak hanya terhadap persoalan yang menyangkut orang lain, untuk setiap persoalan pribadinya pun ia selalu bertindak sabar dan adil. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang berhati agung.
(Pencuri karya Putu Wijaya)
Cerita ini dibuka dengan menceritakan karakter seorang tetangga yang berkarakter positif. Mulai dari pernyataan dia adalah orang baik, suka menolong, selalu memaafkan, dan seterusnya. Kita digiring untuk memercayai apa-apa yang dikisahkan oleh Putu Wijaya. Hal ini akan membentuk suatu kepercayaan dan dukungan kepada tokoh cerita yang berkarakter bak malaikat. Di sinilah letak kekuatan cerita dengan teknik pembuka ini. Putu Wijaya memberikan kesempatan kepada kita untuk mengenal tokoh atas tuturannya. Kita akan merasa mengenal dan mempercayai kalau tokoh itu memang benar-benar orang baik. Teknik pembuka seperti ini ketika telah masuk ke dalam aksi tokoh tentunya akan memberikan kejutan kepada kita. Siapa tahu tetangga yang baik itu ternyata adalah pencuri atau sorang pembunuh. Dalam diri kita tentu terbentuk dua sisi ata tokoh tersebut ketika telah masuk ke dalam aksi, mendukung aksi tokoh atau menolak aksi tokoh.
Kekurangan teknik ini hampir sama dengan teknik penggambaran fisik tokoh. Kita akan berlama-lama dengan gambaran karakter tokoh dari penulis sebelum aksi dimulai. Tentunya akan membuat kita menjadi tidak sabar untuk melewatkannya.
4. Memulai dengan Pertanyaan
“Di manakah aku bisa bertemu dengan Tuhan?”
(Seribu Majid yang Kudirikan karya Denny Prabowo)
Sebagian besar motivasi untuk terus membaca datang dari sebuah pertanyaan. Membaca adalah proses pencarian jawaban. Jadi, mengajukan pertanyaan adalah cara yang paling langsung untuk mengajak pembaca agar terus menyertai Anda.
Kelebihan dari teknik ini adalah karena pertanyaan yang berada dalam dialog membaca kita langsung ke dalam adegan. Kita terjun ke tengah-tengah aksi di mana pada kalimat pertama sesuatu telah terjadi. Akan tetapi, hal ini bisa pula menjadi sesuatu yang tidak menguntungkan karena kita belum mengenal si pembicara, atau pun tempat dia berbicara, dan menyajikan latar belakang setelah pertanyaan akan tampak tersendat-sendat. Meskipun demikian, hal ini masih bisa menjadi pembuka yang efektif karena sangatlah penting bagi pembaca untuk memiliki pertanyaan dalam benaknya.
5. Menampilkan Aksi
Gelas yang telah kosong itu dibantingnya di depan dirigen, serpihan belingnya mengenai celananya, wul hitam pekat. Ketika dirigen itu mencoba beranjak dari kursinya, seketika ia dikepung oleh sejumlah pemain-pemainnya. Tak mampu berkutik sedikit pun, ia cuma mengucurkan keringat di kening, berlelehan seperti seorang petinju.
(Simfoni Melompat Jendela karya Danarto)
Mata kita bisa dengan cepat mengenali adanya gerakan. Mengawali cerita dengan sebuah aksi bisa menangkap perhatian pembaca. Seperti cerita di atas yang mengisahkan seorang dirigen yang kena amukan para pemainnya. Kita mampu melihat gerakan-gerakan yang dilakukan oleh “nya”, dirigen, dan para pemain. Kelebihannya memang terletak di situ, pembaca langsung mengetahui aksi yang dilakukan tokoh. Akan tetapi, pembaca belum mengenal siapa sebenarnya dirigen dan tokoh “nya” yang membanting gelas tersebut.
6. Menampilkan Peristiwa
Lima belas tahun yang lalu, terataknya didatangi seorang laki-laki kasar, memperkosanya lalu pergi ke gunung. Anak yang lahir sepuluh bulan kemudian adalah gadis cilik yang setiap pagi buta kudengar bersama ibunya bernyanyi-nyanyi kecil memunguti buah-buah asam jawa yang berjatuhan dari pohon-pohonnya sepanjang jalanan kota kecilku.
(Tanggapan Merah-jambu Tentang Revolusi karya Iwan Simatupang)
Peristiwa biasanya merupakan gabungan antara aksi, setting, dan tokoh. Dalam cerita di atas mengandung ketiga unsur tersebut. Aksi yang dilakukan adalah bernyanyi-nyanyi kecil memunguti buah-buah asam jawa. Setting tempatnya di bawah pohon asam jawa panjang jalanan kota kecil. Tokohnya adalah seorang gadis cilik dan ibunya. Kelebihan dari teknik adalah sebuah aksi akan berlangsung saat kita bergabung; kita melompati persiapan. Kita langsung melompat ke tengah-tengah cerita. Namun, tidak seperti dalam pembuka yang memiliki kail yang umum, belum ada hal yang luar biasa terjadi di sini sehingga kehebohan aksi akan meningkat dan bukannya menurun.
7. Pikiran Tokoh
Begitulah, belakangan ini aku selalu merasa seperti punya musuh, perasaanku seperti orang berperang—tapi aku tak tahu siapa musuhku
(Klandestin karya Seno Gumira Ajidarma)
Kita berada dalam kepala si tokoh, tempat yang mungkin diinginkan pembaca. Memang masuk akal untuk langsung berada dalam kepala si tokoh, terutama dalam novel psikologi. Kekurangan cara ini adalah bahwa pikiran bersifat abstrak, kita belum bisa melihat apa pun. Namun, pikiran orang memang menarik dan cukup paradoks sehingga bisa membuat kita penasaran.
8. Gagasan
“Nah, yang kuinginkan sekarang adalah fakta. Ajarilah anak-anak ini hanya fakta. Faktalah yang kita inginkan dalam kehidupan. Tidak usah menanamkan hal lainnya, dan singkirkan hal lainnya. Anda hanya bisa membentuk pikiran binatang berdasarkan fakta: hal lain takkan berguna bagi mereka...”
(Hard Time karya Charles Dickens)
Jika Anda membuka sebuah cerita dengan sebuah gagasan, Anda mungkin mengambil risiko karena bagian ini mungkin akan terkesan terlalu pintar, kering, dan terlalu bernuansa esai. Namun, sering kali gagasan, terutama jika dinyatakan dengan sudut pandang orang pertama atau dalam dialog (atau monolog), menampilkan beberapa tujuan, seperti yang Anda lihat dalam cerita di atas.
Gagasan bahwa fakta adalah segalanya secara tidak langsung menggambarkan si pembicara (kepala sekolah) dan sebuah tempat (sekolah berasrama). Dan gagasan ini menjadi tema, sesuatu yang diulang-ulang dalam novel tersebut. Sampai sejauh ini, dari abstraksi yang kering, sebuah gagasan bisa memberikan hasil seperti citra yang dipilih dengan baik.
9. Sensasi yang Kuat
Plastik-plastik terapung, lumpur pekat kecoklatan, perkakas penyok, bangkai anjing dengan perut gembung, lalat hijau, sampah busuk. Amat biasa bahkan bagus buat dinikmati. Manakala air Kali Comberan meluap membentuk harmoni alam yang kelewat simetris dengan ilustrasi deretan gubuk primitif mirip kandang babi.
(Lampor karya Joni Ariadinata)
Sensasi dengan cepat mengajak pembaca untuk mulai menyelami narasi dan karena itu banyak pengarang lebih suka memilih pembuka yang mengarah pada sensasi, seperti cerita di atas.
Pembuka di atas mungkin menampilkan terlalu banyak sensasi, tetapi hasilnya cukup baik. Pembaca menerima kesan yang kuat tentang latar yang disajikan. Pendahuluan ini menjawab pertanyaan di mana yang langsung diberikan dengan penggambaran latar tempat sebagai atmosfer indriawi.
Sebuah sensasi tunggal yang kuat membuka jalan mulus bagi khayalan kita untuk memasuki cerita itu. Kita tidak harus mulai berpikir saat itu juga, untuk mencoba membayangkan citra yang kompleks. Kita langsung berada dalam adegan itu, ikut mengalami tanpa harus memutuskan indra mana yang harus digunakan. Tidak perlu membujuk-bujuk pembaca untuk bisa mencapai suasana itu.
10. Motif Tokoh
Sejak melihat betis Ken Dedes, istri Pak Bupati, dalam sebuah arak-arakan keliling kota itu, Ken Arok tidak pernah bisa memejamkan mata denganh tenang lagi. Betis yang mulus bagai telur itu memancarkan sinar yang dalam benak Ken Arok sama persis dengan berbagai dongeng dari Parsi mengenai cahaya yang memancar dari tubuh putri-putri yang disimpan raja-raja kaya raya dalam Kaputren. Pemuda ingusan, yang oleh teman mainnya sekampung dijuluki koboi cengeng itu, berjanji jauh dalam hatinya untuk mendapatkan istri Bupati itu—dengan cara apa pun.
(Hikayat Ken Dedes karya Sapardi Djoko Damono)
Kita bisa segera tahu apa yang diinginkan tokoh dalam cerita di atas. Kita juga mengetahui apa-apa yang menyebabkan keinginan itu timbul. Hal inilah yang bisa memicu para tokoh dan pembaca.
Motif tokoh akan membuat pembaca tertarik mengikuti peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi. Ketika membaca paragraf ini, pembaca akan langsung ‘meraba’ jalan cerita. Semakin tak terduga alur yang disajikan, semakin pembaca akan merasa penasaran.
Demikianlah 10 tekhnik pembuka cerita yang bisa kamu coba. Selamat mencoba!
0 komentar:
Posting Komentar