Our Community

Our Community
Forum Lingkar Pena Depok

Our Event

Our Event
Depok Dalam Puisi

Our Training Program

Our Training Program
BATRE

Our Family

Our Family
Want to be one of us?

Mau Daftar? Klik Gambar Ini!

Perantau Nekat Asal Makassar

Kamis, 24 Juni 2010

Oleh Noor H. Dee Rabu malam, 08 Maret 2006, pemuda itu baru tiba di Jakarta. Perjalanan dari Makasar ke Jakarta adalah perjalanan yang melelahkan. Itu sebabnya ia memutuskan untuk menginap di hotel. Sekadar melepas lelah yang selama ini bergelayut di punggungnya. Perjalanan belum usai. Ia tahu itu. Esok pagi ia harus segera berkemas kembali, melanjutkan perjalanan, demi mewujudkan mimpi-mimpi yang selama ini terlipat rapih di dalam pikirannya. Alasan ia pergi meninggalkan kampung halamannya bisa dibilang cukup gila: ia ingin belajar menulis cerpen! Pemuda itu tertarik di dunia tulis-menulis ketika mulai sering membaca majalah Annida. Meskipun sejak SMK ia tidak pernah pandai mengarang dan nilai bahasa Indonesianya tidak terlalu istimewa untuk diperbincangkan, namun ia tetap menekuni dunia tulis-menulis. Ia mulai membeli buku-buku motivasi dan mulai membaca buku-buku tentang teori kepenulisan, tapi anehnya ia malah tidak bisa menulis. Setelah lama kemudian, ia pun berpendapat bahwa menulis adalah naluri. Begitulah. Dengan tekad yang kuat dan semangat yang begitu membara, akhirnya pemuda itu berkenalan dengan FLP Depok. “Kamu dari mana?” tanya Denny Prabowo ketika untuk kali pertama bertemu dengan pemuda itu di Perpustakaan Rumah Cahaya. “Dari Makasar,” jawab pemuda itu. “Ke sini (Depok) ada perlu apa? Mau ke rumah saudara?” “Nggak. Saya ke sini mau belajar menulis cerpen.” Ada rasa terkejut yang tidak biasa di dalam dada Denny Prabowo. Kemudian ia bercerita kepada saya bahwa ada seorang pemuda dari Makasar yang berkunjung ke Depok hanya karena ingin belajar menulis Cerpen. Rasa terkejut yang Denny rasakan itu kemudian menular ke dalam dada saya. Saya merasa ada aura optimisme yang luar biasa. Sebuah usaha yang bisa dibilang tidak biasa. Kemudian, pada hari Ahad, tanggal 12 Maret 2006, pemuda itu mengikuti pelatihan bagi anggota baru FLP Depok di gedung Penerbit Gema Insani Press. Ia angkatan BATRE 3. Di Depok itulah ia merasa energi menulisnya benar-benar meluap. Adrenalinnya terpacu. Ia berdiskusi hampir setiap minggu, mengikuti workshop menulis cerpen, membaca dari waktu ke waktu, dan berlatih menulis cerpen hampir setiap malam. Bahkan Denny Prabowo pernah bercerita kepada saya bahwa pemuda itu memiliki kebiasaan yang tidak biasa, yaitu: ia sering membaca buku sembil berjalan! Saya pun berfikir, bagaimana jika ia terjatuh karena tersandung batu atau yang semacamnya? Apakah ia sampai berfikir ke situ? Tapi, ya, saya tidak pernah mendengar kabar kalau pemuda itu pernah terjatuh ketika berjalan sambil membaca buku. Alhamdulillah. Tanpa mengenal lelah pemuda itu selalu membaca karya-karya sastra Indonesia dan ia mulai menggemari beberapa penulis Indonesia seperti Asma Nadia, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Helvy Tiana Rosa, Oka Rusmini, dan Wa Ode Wulan Ratna. (Ya. Penulis favoritnya adalah penulis perempuan semua). Kebahagiaan terbesar seorang pemimpi adalah ketika ia berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya. Pada tanggal 9 November 2007, pemuda itu mendapatkan berita bahagia. Mimpinya berhasil terwujud. Cerpennya yang berjudul Calabai berhasil meraih juara dua dalam Lomba Menulis Cerpen Remaja Lip Ice-Selsun Golden Award PT ROHTO 2007 yang diadakan oleh Rohto. Kemenangan itu adalah kemenangan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ia benar-benar takjub dibuatnya. Bagaimana tidak? Ia merasa bahwa segala yang telah ia perbuat akhirnya tidak berakhir sia-sia. Pemuda itu lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan, pada tanggal 10 November 1986. Dahulu ia bernama Amiruddin, pemimpin agama, tapi lantaran ia nakal dan gemar berbuat ulah, akhirnya ia berganti nama menjadi Muhammad Amir dan memutuskan untuk menggunakan nama Emil Akbar sebagai nama pena-nya. Ya, pemuda itu adalah sahabat kita. Dia adalah sebuah jawaban bagi sebuah pertanyaan yang berbunyi: “Apakah setiap orang bisa menulis?” Emil Akbar telah membuktikannya. Kini ia telah kembali ke Makasar, bekerja di Elektronic Solution sebagai kasir, dan selalu berusaha mencuri waktu untuk membaca dan menulis cerpen. Kabar terakhir yang saya dapat, cerpennya yang bertajuk Silariang dimuat di Jurnal Cerpen. Muantap! Ketika saya tanya sampai kapan ia terus menulis, ia menjawab, “Insya Allah sampai seumur hidup!”

0 komentar:

Posting Komentar

Video Pelatihan