Esai Denny Prabowo
Apa yang Anda ingat mengenai Helvy Tiana Rosa (HTR)? Seorang sastrawan dan dosen sastra? Pendiri organisasi kepenulisan terbesar di dunia? Atau seorang ibu dari penyair cilik fenomanal, Abdurrahman Faiz?
Setiap perbincangan mengenai HTR, saya selalu teringat pada sebuah buku karangan Dale Carnegie, How to Win Friends and Influence People (yang terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Bina Rupa Aksara).
Saya memperoleh buku itu dengan cara yang tak biasa. Buku itu saya temukan terasing di sebuah rumah yang dimanfaatkan sebagai tempat kumpul sebuah komunitas musik. Komunitas warung Bensin namanya. Sebagai orang yang memiliki persoalan berkomunikasi, buku itu tentu saja cukup menarik untuk saya baca. Lalu apa hubungan buku itu dengan HTR?
Nama HTR telah saya kenal melalui buku-bukunya. Namun, baru pada Februari 2005 saya berkesempatan bertemu langsung dengannya.
Sehari sebelum hari ulang tahun saya di tahun 2004, Aceh dihantam tsunami. Dua bulan kemudian, Forum Lingkar Pena (FLP), organisasi yang dirintis oleh HTR mengadakan acara galang dana untuk korban tsunami Aceh di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya mendapat pesan melalui email dari Asma Nadia, yang isi pesan itu kira-kira meminta saya turut menyebarkan poster acara galang dana tersebut. Tentu saja saya menyanggupi, bukan karena novel saya tengah proses di Lingkar Pena Publishing House, melainkan sebab saya ingin melakukan sesuatu untuk korban tsunami di Aceh.
Malam sebelum perhelatan itu digelar, saya turut membantu persiapan acara. Meski untuk datang ke tempat itu, saya harus bertempur dengan rasa malu saya. Apa boleh buat, saya memang pengidap rasa malu yang akut. Namun, keinginan besar untuk menjadi bagian dari organisasi FLP, membuat saya mampu menyingkirkan sejenak perasaan itu.
Ketika saya dan teman-teman baru saya di FLP tengah beristirahat sambil makan malam, HTR baru datang. Dari Rumah Dunia di Serang dia langsung datang ke TIM, memantau persiapan acara galang dana yang akan diadakan oleh FLP. Saat itulah HTR menyadari kehadiran “orang baru” di antara teman-teman FLP yang tentu sudah lama ia kenal. “Orang baru” yang oleh Asma Nadia diperkenalkan sebagai penulis cerpen di majalah remaja bernama Denny Prabowo. Itulah kali pertama saya berkenalan secara langsung dengan HTR, meski sejak itu saya tak pernah lagi berinteraksi dengannya.
Pada bulan September di tahun yang sama, saya bersama Koko Nata (yang ketika itu menjabat sebagai Ketua FLP Depok), berangkat ke Yogyakarta sebagai utusan FLP Depok di acara Musyawarah Nasional (Munas) pertama FLP.
Jelang rapat pleno pertama di acara Munas, saya berbincang dengan Sakti Wibowo—yang juga pertama kali saya kenal di acara galang dana di TIM—tepat di muka aula yang akan digunakan sebagai ruang sidang. Pada ketika itulah, HTR datang menyapa saya dan Sakti Wibowo dengan sebutan “adik” (HTR memang selalu menyebut teman-teman FLP yang lebih muda dengan “adik”).
Namun, bukan itu yang membuat saya terkenang akan buku karangan Dale Carnegie, melainkan karena sebelum menyebut kami sebagai “adik”, HTR menyapa kami berdua dengan menyebut nama depan kami. Meski dia tak mungkin lupa nama Sakti, karena sudah saling kenal cukup lama, sangat mungkin dia lupa nama saya, karena baru sekali kami bertemu. Namun, kenyataan itu tak membuatnya lupa pada nama saya yang tentu saja bukan siapa-siapa di dunia kepenulisan.
Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People (Bina Rupa Aksara, 1995; hlm. 134) menceritakan pengalaman W.F. Chamberlain ketika memperkenalkan mobil yang dirancang khusus bagi Franklin D. Roosevelt. Chamberlain mengatakan, “Saya kemudian membewa seorang mekanik ke Gedung Putih. Ia diperkenalkan kepada Roosevelt begitu dia sampai. Mekanik itu tidak berbicara kepada Presiden, dan Roosevelt hanya mendengar namanya sekali. Mekanik itu seorang pemalu, dia terus berdiri di belakang. Tapi sebelum meninggalkan kami, Presiden mencari mekanik itu, menjabat tangannya, menyebut namanya, dan mengucapkan terima kasih atas kedatangannya ke Washington. Sama sekali tidak terkesan sambil lalu dalam ucapan terima kasihnya. Ia memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Saya bisa merasakan itu.”
Perasaan yang sama saya rasakan ketika HTR menyebut nama saya. Padahal, berapa sering saat kita diperkenalkan dengan seseorang, yang kita lakukan adalah berbincang beberapa menit, kemudian tidak lagi bisa mengingat namanya begitu mengucapkan selamat tinggal?
HTR dan Roosevelt tahu bahwa cara paling sederhana dalam memperoleh kehendeak yang baik, yaitu dengan menyebut nama-nama. Bahkan, Napoleon Ketiga, Kaisar Perancis dan keponakan dari Napoleon yang Agung memiliki cara sederhana untuk mengingat nama orang. Ketika dia tidak mendengar nama itu dengan jelas, dia akan mengatakan, ” Maaf sekali. Saya tidak mendengar nama Anda dengan jelas.” Kemudian bila nama itu nama yang tidak biasa, dia akan berkata, Bagaimana mengejanya?” Dan selama percakapan berlangsung, dia bersedia bersusah-susah menyebut nama itu beberapa kali.
Sebab seperti yang dikatakan Dale Carnegie, ”Nama seseorang bagi orang bersangkutan merupakan suara yang paling manis dan terpenting dalam bahasa apa pun.”
Gunungsahari, 15 April 2010
0 komentar:
Posting Komentar