Tinka Menunggu
In CERPEN, In Fiksi Remaja, In UlyaSenin, 16 Maret 2009
Cerpen Ulya Amaliya
Jam setengah delapan.
Sebentar lagi Bunda pasti datang! Ya, pasti datang!
Lalu Tinka dan Bunda akan pergi ke sekolahnya, mengambil raport. Sepanjang perjalanan mereka akan bercengkrama. Lalu ia akan digandeng menuju selasar kelas. Rambutnya akan dibelai-belai, sesekali Bunda bertanya tentang sekolahnya selama ini, tentang teman-temannya, tentang semua hal yang berlangsung selama ini, yang tidak pernah Bunda ketahui (atau… salahkah jika ia berprasangka bahwa Bunda memang tidak pernah ingin mengetahuinya??).
Setengah delapan lebih lima menit.
Tinka merapikan kepang duanya. Pembagian raport dimulai jam delapan. Ada sedikit resah di hatinya.
Ah, Bunda pasti datang!
Tinka trauma sebenarnya. Semester lalu, Ayah yang berjanji mengambilkan raportnya. Bunda sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan sebuah seminar. Jam tujuh lewat ia sudah siap. Menunggu kedatangan Ayah di beranda. Sesekali membayangkan nilai-nilai yang tertera di raport. Jantungnya berdebar, tapi ia yakin nilainya baik semua. Ia telah berjuang keras menjelang ulangan. Kata Bunda, kalau ia mendapat nilai baik pada semester pertamanya di SMP, ia boleh tinggal seminggu dengan Ayah. Betapa ia merindukan Ayah!
Tapi Ayah tak pernah datang. Istrinya melahirkan bayi pertama mereka, anak kedua bagi Ayah. Tinka baru tahu setelah tiba-tiba Mbok `Nem mengguncang tubuhnya, yang ternyata tertidur di beranda dan memberitahukan bahwa ada telepon dari Ayah. Saat itu sudah jam sepuluh. Tinka ingin menangis rasanya. Tinka sudah merasa bahwa Ayah meneleponnya untuk meminta maaf karena tidak bisa mengambil raportnya.
Tapi Tinka salah besar! Ayah malah bercerita dengan sumringah, sesekali diiringi tawa. Berkali-kali Ayah mengucap syukur atas kelahiran anaknya.
“Tinka senang juga kan dapat adik baru? Bilang terima kasih ke mama Vera, dong! Tinka boleh kok main sama adik baru, kalau adik baru sudah agak besar. Oh, ya dikasih nama apa ya adik barunya?? Adik barunya perempuan juga lho! Badannya besar, tingginya lima puluh dua centi. Tinggi banget kan? Tinggi lho untuk ukuran bayi!! Adik barunya Tinka yang kasih nama, deh! Ayah kasih hadiah kalau Tinka bisa dapetin nama yang bagus!! Bener deh! Ha..ha..ha.”
Tinka ingin membanting gagang telepon saat itu! Perutnya bergolak, rasanya ingin muntah!! Ayah bahkan tak mengungkit pembagian raportnya! Ayah tak meminta maaf karena tak datang! Padahal Tinka telah lama menunggu, bahkan sampai ketiduran.
Tinka lari ke kamar. Menangis puas sampai malam. Tak mau makan siang, tak mau keluar kamar barang sedetik. Menangis, lalu tanpa sadar tertidur, lalu menangis lagi dan tanpa sadar kembali tertidur hingga paginya ia mendapati kantung matanya membengkak. Sejak saat itu ia merasa tak percaya pada Ayah. Lebih tepatnya, tak perlu percaya pada apapun yang dikatakan Ayah.
Raportnya baru diambil tiga hari kemudian oleh Bunda di rumah wali kelasnya. Rangking tiga.
Percuma, ia malas berlibur dengan Ayah.
Sampai kini, ia belum bertemu Ayah lagi. Walau sering ada rindu yang amat menyeruak ketika memikirkan Ayah. Sudah hampir setahun Tinka tidak bertemu Ayah.
Tinka hanya bisa menangis diantara tumpukan bantal dikamarnya, hampir tiap malam. Memandangi posenya bersama Ayah. Memandangi wajah cerah Ayah yang menggendongnya, merangkulnya, menciumnya. Juga foto-foto yang didapatinya dari Pak pos, foto-foto berisi pose Ayah bersama seorang wanita cantik dan bayi merah digendongannya. Foto-foto Ayah itu kadang dikecupnya, kadang juga dirobeknya. Hingga gambar kepala Ayah menjelma menjadi robekan-robekan teramat kecil yang berserakan di sprei tempat tidurnya. Lalu ia tertidur sambil menangis, mengharapkan ada yang memeluknya, memberi kehangatan.
Dan Tinka selalu menemukan Ayah dalam mimpinya. Hanya dalam mimpinya.
Jam sembilan kurang lima belas menit.
Dimana Bunda??
Bunda bilang akan pulang dari yayasan tadi shubuh agar bisa mengambil raportnya. Tapi sampai sesiang ini Bunda belum juga datang!
Ia kirim sebuah sms untuk Bunda: Bunda ga lpa kan klo hri ini pngambln rprtq?
Bunda Tinka seorang aktivis wanita, pendiri yayasan Harapan Kartini. Bunda sibuk membuat seminar tentang peranan wanita, emansipasi wanita dan segala hal yang berbau wanita. Bunda amat memikirkan kedudukan wanita di negera ini. Bagi Bunda wanita harus berpendidikan dan tidak boleh terbelakang.
Awal-awal Bunda mendirikan yayasan, Bunda sering mengajak Tinka menemani Bunda di acara-acara yang yayasan buat.
Tinka ingat saat itu Bunda berbicara tentang pentingnya pemberian ASI ekslusif untuk kesehatan bayi dan kedekatan hati Ibu dan Bayi. Tinka diperbolehkan mengambil kursi dan duduk diatas panggung, diantara moderator dan Bunda sebagai salah satu pembicara. Rambut panjang Tinka yang dihiasi bandana merah jambu dielus-elus Bunda. Bunda menunjukkan bahwa ia begitu dekat dengan Tinka kepada ratusan ibu-ibu yang menghadiri acara itu. Saat itu, Tinka merasa begitu bangga memiliki Bunda!
Sekarang, Bunda mana mau mengajak Tinka ke acara-acara seperti itu. Tinka sudah gede, nakal pula. Ketika Tinka masuk SMP, kerjaan Bunda tiap pulang kerja cuma marah-marah. Dari mengeluhkan Tinka yang sama sekali tidak disiplin, sampai memarahi Tinka yang kerjaannya minta duit melulu. Kadang cuma kesalahan kecil, tapi karena di yayasan ada masalah besar, Bunda pasti marah-marahnya ke orang rumah. Lama-lama Tinka malas menyambut Bunda sepulang kerja. Belakangan ini, Bunda dan Tinka malah terkesan saling bungkam. Sama-sama lagi malas ngomong.
Diam-diam Tinka jadi kangen sama sosok Bundanya dulu. Pinginnya berduaan sama Bunda, ngobrol-ngobrol, curhat tentang masalah dengan teman-teman seganknya, tentang teman-teman cowok yang suka usil jailin Tinka atau tentang gejolak-gejolak hormon yang bikin Tinka jadi centil belakangan ini. Paling tidak, Tinka ingin Bunda mendengarnya, tidak perlu dijawab dengan solusi-solusi menghibur seperti yang sering dibaca Tinka disebuah rubrik majalah yang diasuh Bunda. Rubrik curhat keluarga, yang rata-rata dikirim ibu-ibu muda yang mengalami kesulitan dalam mengasuh anaknya atau bermasalah dalam berumah tangga.
Tinka punya mimpi, menghabiskan satu hari yang menyenangkan bersama Bunda. Satu hari saja! Tapi Bunda tidak pernah punya hari libur. Padahal kalau Tinka menghabiskan liburannya dengan jalan bareng sama teman, Bunda pasti ngomel.
Sekarang sih sudah tidak pernah ngomel. Beberapa bulan yang lalu Tinka pernah mengamuk dihadapan Bunda, tidak tahan sama semuanya. Mungkin Bunda sadar kesalahannya.
Jadi.. ya itu tadi. Belakangan ini mereka nggak saling tegur kalau tidak kepepet.
Kalau Tinka salah, Bunda diam saja. Kadang Tinka sengaja melakukan hal yang dibenci Bunda. Tinka kangen Bunda. Tepatnya, kangen omelan Bunda. Tidak perlu Bunda menciumi Tinka, menggendongnya, mengelusnya, seperti waktu Tinka kecil, mendengar omelan Bunda saja Tinka rasa sudah cukup. Tapi Bunda orang sibuk, memarahi Tinka saja sekarang sudah tidak ada waktu. (Anggap saja begitu).
Jam sembilan lewat lima belas menit.
Tinka mulai berbaring di sofa. Bosan. Hampir menangis. Takut kalau-kalau…
Ah, Bunda pasti datang!
Mengecup Tinka sebagai tanda permintaan maaf karena telah terlambat. Lalu di perjalanan menuju sekolah, Tinka bisa bebas bercengkrama dengan Bunda.
Bunda pasti datang!!
Hhh… Dulu, waktu Tinka SD, tiap pembagian raport Ayah Bunda akan datang bersama ke sekolah. Pasti. Dan tidak perlu acara tunggu-tungguan. Kalau Tinka masuk peringkat tiga besar, mereka bertiga tidak akan langsung pulang. Mereka akan makan siang diluar, lalu Ayah akan membelikannya es krim. Esoknya mereka bertiga jalan-jalan.
Tinka memang lebih dekat ke Ayah (Sebelum Ayah menjelma pengkhianat dan dibawa kabur oleh seorang nenek sihir dan bayi monster di mimpi Tinka). Tiap pulang mengajar Ayah selalu membantunya mengerjakan PR. Ayah seorang guru yang mengajar di SMU, jadi Ayah Tinka jago disemua pelajaran SD. Ayah juga sering membonceng Tinka naik sepeda mengitari komplek tiap sore. Kadang Ayah suka jahil, dengan mengangkat tubuh Tinka tinggi-tinggi ke udara dan menggelitik Tinka sampai Tinka geli setengah mati. Sambil menunggu Bunda memasak makan malam, Ayah suka bermain tebak-tebakan. Tiap kali jalan-jalan, Tinka selalu dibopong Ayah diatas lehernya. Sampai akhirnya Tinka sendiri yang merasa malu karena merasa tubuhnya sudah kelewat berat. Hampir tiap Sabtu Tinka selalu dijemput Ayah sepulang sekolah, naik vespa.
Waktu Bunda berulang tahun, Ayah dan Tinka pernah membuat sebuah misi rahasia. Sebuah kejutan sederhana. Ayah dan Tinka tidak tahu apa-apa tentang masak memasak. Tapi hari itu mereka berdua nekat membuat kue. Nyatanya, Tinka dan Ayah sukses menyulap dapur menjadi kapal pecah hari itu. Tumpah terigu, gula, pecahan telur, krim yang belepotan dimana-mana. Semua itu diakhiri dengan sebuah bau gosong yang amat menyengat dari oven. Ha..ha..
Toh kue yang rasanya nggak karuan itu tetap saja diberikan kepada Bunda. Dan… tentu saja dimakan bersama. Apa saja akan terasa nikmat kalau hati sedang bahagia.
Menjelang kelas lima SD, Ayah Bunda jadi sering bertengkar. Bunda yang lulusan psikologi UI mulai tidak betah terus-terusan di rumah dan merasa Tinka sudah cukup besar untuk ditinggal-tinggal. Tapi Ayah tidak suka itu. Ayah tidak suka Bunda pulang larut malam dan cuma punya capek untuk anak semata wayangnya. Ayah bilang tugas seorang istri adalah mengurus dan mengasuh anaknya. Lalu Bunda membawa Tinka ke rumah Nenek. Tinka bolos sekolah hampir dua minggu. Setiap hari Bunda menangis. Satu kalimat yang Tinka ingat: “Mas Heru mengekangku, bu!”
Entah hari ke berapa Tinka berada dirumah nenek, Ayah menjemput Bunda dan minta maaf. Bunda boleh melakukan apapun, asal tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ibu. Bunda kembali menangis, tapi sambil memeluk Ayah.
Beberapa bulan setelah itu, Bunda kembali pulang larut malam. Tiap kali Ayah bersedia menjemput dengan vespanya, Bunda menolaknya. Minggu berikutnya Bunda sempat dua kali menginap dirumah temannya. Bunda dan teman-temannya sedang sibuk mengurus pembangunan sebuah yayasan. Tiap kali telepon berdering, pasti mencari Bunda dan membicarakan rencana pembuatan yayasan. Siang malam Bunda dipenuhi oleh yayasan, yayasan, yayasan…..
Ayah protes. Tapi Bunda teramat capek meladeninya, jadi pintu kamar dibantingnya. Mungkin Ayah merasa diacuhkan, jadi kursi makan jadi korban tendangannya.
“Buat apa saya capek-capek kuliah, kalau ujung-ujungnya cuma ngurus anak! Bisa tua di dapur saya!”
“Tapi dia amanah bagi kita. Kamu punya tugas untuk mendidik dia sebaik-baiknya!”
“Saya tahu itu!! Saya juga ingin ibu-ibu lain tahu akan hal itu! Makanya saya dan teman-teman membuat yayasan yang punya misi menyadarkan wanita akan kedudukannya sebagai seorang ibu!”
“Kamu tidak perlu menyadarkan para ibu itu kalau kamu sendiri belum sadar kedudukanmu!”
“Apa maksud mas? Huh, kartini bisa menangis kalau dia tahu di masa semaju ini masih ada orang yang tidak menghargai emansipasi!”
“Kartini justru akan lebih menangis jika konsep emansipasinya disalah artikan!”
“Sudahlah, mas! Hari gini masih mengekang-ngekang istri! Ini kan bukan hal yang besar. Kalau tidak betah sama saya, cari saja istri yang rela dikungkung di jeruji dapur! Silahkan cari kalau ada! Lagian mas kira penghasilan mas seorang bisa menyejahterakan kehidupan kita?!!”
Dan paginya Mbok ‘Nem sibuk membersihkan pecahan-pecahan piring. Tinka dikamar semalaman. Tidak mengerti apa yang terjadi. Yang Tinka bisa hanya menangis. Takut.
Itu hal yang paling tidak bisa Tinka lupakan seumur hidup.
Tik…tak…tik..tak…
Jam sembilan lewat empat puluh lima menit.
Tinka benar-benar menangis. Tangannya memijit tombol handphone dengan gemetar, berusaha merangkai kata walau pikirannya buntu: Bunda mo dtg kn? Dah sampe mana nda?
Setengah pikiran Tinka bersugesti apabila Bunda tidak datang, seperti yang telah Ayah lakukan semester lalu. Setengahnya lagi sibuk menenangkan dan menghibur.
Ahh… Andai Ayah datang disaat genting seperti ini untuk mengambil raport Tinka, sebagai permintaan maaf.
Tinka ingin bertemu Ayah, meski di diarynya Tinka menulis bahwa setelah Ayah mengingkari janjinya, Tinka telah merasa yatim. Ayah Tinka sudah milik orang lain! Ayah sudah hidup bahagia bersama seorang bayi berusia hampir enam bulan dan seorang guru TK yang manis. Mereka tinggal di rumah kecil yang dipenuhi bunga, mungkin juga dipenuhi cinta. Setidaknya itu yang Tinka tangkap dari foto-foto yang rutin dikirimi Ayah untuknya. (Ahh.. Tinka iri kepada nenek sihir cantik dan bayi monster lucu yang menculik Ayah).
Entah berapa menit lagi jarum menit menunjukkan angka sepuluh. Batas akhir pengambilan raport.
Tinka melepas kuncir duanya dengan kasar. Melempar sepatu yang dikenakannya. Melepas sabuk yang berlambang sekolahnya. Seragam yang dipakainya sudah lecek.
Tik…tak…tik..tak…
Tinka jadi ingin tertawa. Tinka satu-satunya murid dikelasnya yang dalam satu tahun ini tidak pernah mengambil raport.
Tinka tidak mau dengar apapun alasan Bunda. Tinka sudah tidak mempercayai Bunda, seperti Tinka tidak mempercayai Ayah.
Ia merasa yatim piatu seutuhnya kini.
Tik…tak…tik..tak…
Tinka menangis, menangis dan terus menangis hingga tanpa sadar telah tertidur. Dalam mimpinya, Tinka melihat Ayah, Bunda dan dirinya sedang berjalan-jalan naik vespa sambil tertawa bersama.
taMat
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar