Seratus Potong Puzzle
In CERPEN, In Fiksi Remaja, In VichanSenin, 16 Maret 2009
Cerpen Vichan
Sumber: www.anekayess-online.com
“Kali aja, ini salah satu dari potongan puzzle yang membentuk gambar wajah pengirimnya,” ucap Andi sok detektif. “Di situ nggak ada nama pengirimnya, kan?!” lanjutnya. Rine mengangguk.
Bis jurusan Bogor-Depok berhenti di persimpangan Depok. Bis tua yang sudah penuh itu, masih saja menaikkan penumpang yang sudah menunggu sejak lima belas menit lalu. Bis terasa semakin sempit. Pagi yang seharusnya sejuk, ternyata menjadi sangat pengap, ditambah lagi dengan cucuran keringat para penumpang yang menciptakan sensasi aroma asam tubuh manusia. Padahal mereka sudah rapih dan wangi untuk memulai aktivitas hari ini, sejak keluar dari rumah mereka masing-masing.
Belum lagi suara fals pengamen yang membuat suasana bis makin nggak karuan, “Walau… kumasih mencintaimu, ku harus meninggalkanmu, ku harus melupakanmu. Meski… hatiku menyayangimu, ku harus…”
“Ya, demikian lagu ketiga dari saya. Mohon jangan tepuk tangan dulu karena masih ada sepuluh lagu lagi yang akan saya mainkan,” ucap pengamen dekil itu ke-pede-an. Para penumpang langsung manyun.
“He… he…he… becanda, kok. Baik, cukup sekian dari saya. Sampai berjumpa kapan-kapan. Ikhlas dari anda, halal buat saya. Tapi alangkah baiknya jika anda semua mengeluarkan uang seribuan yang terlalu kecil bagi anda. Sekali lagi, hati-hati di jalan. Bagi yang gak mau ngasih tolong jangan pura-pura tidur, bagi yang pura-pura tidur saya doakan semoga tertidur selamanya.” Pengamen konyol itu mengeluarkan kantong bekas permen dan menyodorkannya pada para penumpang.
Bis yang sesak membuat para penumpang marah-marah karena pengamen itu memaksa jalan di antara mereka.
“Bang, nggak muat nih sempit. Nggak usah lewat sini..” ucap ibu-ibu yang sedang menggendong anak.
“Iya nih, bikin susah aja,” ujar bapak-bapak berkumis tebal mirip mas Adam, suaminya Inul Daratista. Para penumpang yang lain ikut menyahuti kedua penumpang tadi. Pengamen yang tadi agak mengancam agar dikasih seribuan, jadi ciut. Mukanya asem. Gitar birunya, yang senar duanya lepas, terhimpit di antara penumpang. Dia jadi semakin kikuk. Maju, nggak bisa. Mundur, sudah kepalang tanggung.
“Hei, kau! Turun saja kau lah! Gak liat kau, bis penuh kaya’ gini?” Akhirnya kondektur bis turun tangan. Logat bataknya yang kental membuat pengamen itu langsung nurut dan mundur teratur. Pengamen itu akhirnya turun bersama penumpang lainnya di Cibinong.
“Perum! Perum!”
“Kiri, bang!”
Hup! Rine melompat dari bis. Ia berlari menuju angkot ngetem berwarna hijau, jurusan Bantarjati. “Yes,” ucapnya dalam hati setelah rebutan dengan pelajar lain, akhirnya ia mendapatkan bangku kosong yang tersisa satu. “Kalo naek angkot yang di belakang pasti ngetemnya lama,” ucapnya lagi.
Angkot mulai melaju di bibir jalan. Tapi, Rine agak nervous, pasalnya laki-laki yang duduk tepat di hadapannya, sesekali melirik ke arahnya. Sesekali pula, laki-laki itu tersenyum tipis. Rine jadi ge-er. “Ngapain sih dia ngeliatin gue melulu. Kayaknya dia anak kelas sebelas juga deh. Hmm… tampangnya boleh juga,” bisik Rine dalam hati setelah benaknya melayang mengingat artikel majalah CewekBuanget yang isinya: Tanda-tanda kalau “dia” suka kamu.
Rine jadi makin ‘PeDas’ alias Pede Dahsyat karena isi artikel itu bilang, kalau ada cowok suka curi-curi pandang ke arah kita lalu tersenyum, kemungkinan dia ada hati sama kita, cukup besar. “PLN nih! Pasaran Lagi Naik” ucapnya dalam hati.
Belakangan ini Rine kalang-kabut. Pasalnya, sampai sekarang dia masih ngejomblo. Padahal Valentine’s Day baru lewat. ”Ini waktunya menumbuhkan jamur di mana-mana,” ucapnya. Rine merasa PasTur banget alias pasaran turun. Kalau dia nggak menumbuhkan jamur di mana-mana dengan TP-nya. Bisa-bisa dia ngejomblo lagi sampai Valentine berikutnya.
***
“Cie..Ririne… suit-suit!!”
“Ehem... ehem....”
“Akhirnya...”
Rine yang baru saja melangkahkan kaki ke kelas langsung dikejutkan teman-teman yang menggodanya.
“Ada apaan sih?” tanyanya sambil terus melangkah ke bangku paling belakang, tempat duduknya.
Kado. Di atas mejanya ada kado berbentuk hati. Di atas kado itu tertulis: Dear Ririne. Dia membuka isinya. Cokelat dan….
“Apaan ini?”
“Meneketehe. Sampah kali,” jawab Andi sambil terus meneliti benda itu. “Oh... ini sih potongan puzzle.”
“Potongan puzzle?”
“Kali aja, ini salah satu dari potongan puzzle yang membentuk gambar wajah pengirimnya,” ucap Andi sok detektif. “Di situ nggak ada nama pengirimnya kan?!” lanjutnya. Rine mengangguk.
“Siapa ya…?”
***
Pagi ini, hujan kembali mengguyur kota Bogor. Hujan turun sejak pukul empat pagi tadi. SMA Cahaya masih sepi, mungkin anak-anak lebih memilih meneruskan mimpinya di balik selimut yang hangat dibandingkan harus basah-basahan menuju sekolah yang membosankan.
Rine melongok ke kelas dari jendela. Hanya ada beberapa murid yang sedang sibuk menyalin tugas rumah. Sementara sang pemilik buku yang sedang diconteki, asyik mendengkur di atas meja dengan ketukan empat per-empat.
Saat masuk kelas. Seorang anak laki-laki melangkah cepat menuju ruang kelas. Dia gelagapan saat berpapasan dengan Rine. Rine jadi heran.
“Lho… itu bukannya anak yang satu angkot sama gue waktu itu. Ngapain dia? Jangan-jangan..,” Rine menduga-duga. “Ah, nggak mungkin,” lanjutnya. “Tapi, kalau iya…” lanjutnya lagi.
Dorr!!
Andi mengagetkan Rine dari belakang. Rine langsung loncat karena kaget.
“Ngapain loe bengong aja?”
“Ah, elu ngagetin aja.” Rine sedikit sewot. Matanya melotot. “Betewe, loe tau gak cowok yang barusan keluar?”
“Yang tadi itu? Oh, itu namanya Sandy. Kenapa? Waduh, gue jadi curiga,” Andi meledek Rine.
“Mang kenapa? Loe ngegebet dia juga?” tantang Rine.
“Yeah! Ngapain! Gue sih teteup…Pak Budi idola gue.”
“Pak Budi yang nyebelin itu?! Selera loe rendah banget sih, Ndi”
“Eh, loe jangan maen-maen ya sama gue: Andini. Pak Budi itu orang paling baik se- Jabodetabek tau gak?”
“Baru ditolongin benerin komputer aja udah ge-er. Dasar perempuan yang mudah jatuh cinta,” Rine gak mau kalah.
“Biarin aja.”
“Ah elu, bukannya bantuin gue malah….” sebelum meneruskan pembicaraannya Rine kembali dikagetkan dengan potongan puzzle di atas mejanya. Lagi! Ini hari ke tiga puluh, tepat setelah ia mendapatkan kado dan potongan puzzle pertama waktu itu. Berarti, ini adalah puzzle ke tiga puluh.
“Gue makin penasaran Rine, siapa sih mysterious guy itu.”
Dari kejauhan nampak Sandy sedang memperhatikan Rine. Dia langsung pergi setelah ke-gap oleh Rine kalau ia sedang memperhatikannya. Rine makin curiga.
***
Esoknya, Rine datang lebih awal. Dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri, siapa orang misterius yang mengirimi puzzle itu. Tapi, di tikungan koridor sekolah, ia melangkahkan kakinya ke kanan. Menuju kelas Sandy.
“Dia belum datang rupanya”
Rine langsung berbalik. Ia harus buru-buru ngumpet di belakang kelasnya untuk memergoki si pengirim puzzle, takut kecolongan oleh mysterious guy itu. Tapi….
Ups!!
Tunggu! Itu kan Sandy! “Waduh, kecolongan lagi gue,” sesal Rine dalam hati.
Rine berlari secepat kilat di koridor sekolah menuju kelasnya. Anak-anak yang sedang berjalan di depannya berhamburan takut tertabrak oleh Rine.
“Minggir!!” teriak Rine dari belakang.
“Ini dia!” Ia kembali mendapatkan potongan puzzle di atas mejanya. “Gak salah lagi, gue yakin. Pasti Sandy. Pasti.”
”Payah, harusnya tadi gue nggak usah ke kelasnya. Lagi-lagi gue kecolongan. Pokoknya nanti siang, gue bakal nemuin dia. Harus.”
“Coba kalian kerjakan soal ulangan di samping kanan monitor kalian masing-masing. Soal ini agak sulit. Makanya, kerjakan dengan teliti.”
Suara membosankan Pak Budi masih saja menggelegar. Padahal, bel pulang lima menit lagi. Tapi ia tetap saja memberikan ulangan. Sesekali Rine melirik jam Seiko-nya. Kalau gak cepat keluar, nanti Sandy keburu pulang. Ia makin cemas.
“Pak, udah mau pulang nih. Ulangannya buat pe-er aja ya?” protes Riki yang memiliki tubuh kutilang-hitam alias kurus tinggi langsing dan hitam.
“Mana ada sejarahnya, ulangan dijadikan pe-er. Cepat kerjakan. Kalau protes…”
“Kalau kita protes, nanti bapak marah, ya? Nanti kalo bapak marah, bapak gak mau ngajar, kan? Nanti kalo gak mau ngajar, bapak pulang. Terus, kita juga pulang deh! Iya kan?” potong Ade konyol.
“Hush! Kalau kalian protes. Saya akan nambah soal ulangan!”
“Yah, bapak… saya kan harus pulang cepat. Nenek saya ulang tahun…” jawab Ade. Anak yang satu ini memang kelewatan ngeyel-nya. Pak Budi diam saja.
Anak-anak di kelas Rine memang sudah biasa menjaili Pak Budi. Guru komputer ini usianya hanya seperempat abad, makanya anak-anak suka rada nggak sopan sama guru itu. Benar juga sih kata Rine. Pak Budi ini memang agak nyebelin. Suka sok galak.
Jarum jam sudah menunjuk angka jam 13.30, kelas Rine masih belum bubar. Rine benar-benar kesal setengah mati. Terutama sama Pak Budi. Dia gak mau harus nunggu hari esok untuk menemui Sandy.
“Ya! Selesai. Waktu sudah habis. Simpan file kalian di folder masing-masing. Jangan lupa turn off komputernya,” ucap Pak Budi tepat pukul 13.45.
“Ndi, gue duluan, ya.” Rine menyambar tasnya. “Mudah-mudahan saja dia belum pulang”. Rine berlari secepat mungkin. Dari kejauhan ada suara memanggil-manggil namanya. Rine menengok ke belakang sambil setengah berlari. Ia melihat Pak Budi melambaikan tangannya, memanggilnya. Mungkin ia akan menghukum Rine, karena kelas belum dibubarkan, dia sudah ngibrit duluan.
“Bodo’ ah!” ucap Rine sambil mempercepat larinya.
Jam 06.55
“Aduh… kenapa harus kesiangan sih di saat genting kayak gini?”
”Pasti potongan puzzle itu udah ada di atas meja. Tuh orang bener-bener udah sukses ngebuat gue penasaran setengah mati.”
Benar saja. Potongan puzzle berikutnya sudah ada di atas meja. Rine berlari menuju kelas Sandy. Tapi…
Bruk!!
Aduh!
“Hei kamu, hati-hati dong kalau jalan.” Badan tinggi Pak Budi terlihat seperti raksasa oleh Rine yang terjatuh di lantai.
Rine bangkit dari lantai. Seragam putihnya kotor menyapu lantai.
“Sorry, Pak! Lagian, bapak ngapain berdiri di depan pintu? Ngalangin jalan aja. Kalau ketabrak, kan bukan salah saya?”
“Kamu, bukannya minta maaf,” Pak Budi ngomel.
“Lho, gak kebalik, Pak? Kan saya yang jatuh?” balas Rine makin nyolot.
“Buruan minta maaf!”
Rine tak mendengar ucapan Pak Budi setelah teringat kalo dia harus nemuin Sandy.
Rine berlari meninggalkan Pak Budi yang masih ngomel.
“Hei, minta maaf dulu!”
“Gak sempat!”
”Kenapa sih tuh guru? Sok galak banget. Sok berwibawa banget. Nyebelin banget. Ngerasa jadi orang paling ganteng banget. Dasar!”
“Sandy mana?” tanya Rine pada laki-laki berkaca mata yang ia duga sebagai teman sekelasnya Sandy.
“Gak masuk,” jawabnya singkat sambil membetulkan kacamata silindernya.
“Ok, tengkyu!” Rine menepuk bahu laki-laki itu lalu pergi.
“Sial! Kenapa dia gak masuk? Eh, tunggu dulu! Hari ini dia gak masuk, tapi potongan puzzle itu tetap dikirim. Kok bisa? Aduh, gue jadi makin bingung. Jangan-jangan, emang bukan dia lagi. Tapi, feeling gue yakin banget kalo itu dia.”
***
Hari ini adalah hari keseratus Rine mendapatkan puzzle misterius itu. Tapi, sampai jam istirahat ini, potongan puzzle keseratus itu belum juga datang. Rine dan Andi menyusun potongan-potongan puzzle itu.
Rine sudah tidak mengintai Sandy lagi. Dia takut keGeEr-an. Makanya, sebelum dia salah sangka lebih jauh sama Sandy, dia memutuskan untuk berhenti menyelidikinya. Toh, potongan puzzle itu tetap terkirim. “Nanti juga ketahuan siapa pengirimnya,” ucapnya. “Lagi pula, dia juga gak ngasih sinyal pedekate ke gue. Ngapain gue sibuk-sibuk mikirin dia yang gak ketahuan rimbanya, padahal Valentine udah deket, mendingan gue cari yang lain,” ucapnya lagi.
“Ndi, yang itu salah! Di sini nih tempatnya,” ucap Rine sambil mencopot potongan puzzle yang dipasang oleh Andini.
“Ye... elu juga salah, yang ini terbalik. Nih, kayak gini.” Andi membetulkan potongan puzzle Rine.
“Aduh, perut gue haus nih!” ujar Rine ngaco.
“Tenggorokan gue juga laper!” balas Andi makin ngaco.
“Ah elo, ikut-ikut aja! Ke kantin dulu, yuk! Ntar disambung lagi,” usul Rine.
“Ah, jangan! Gimana kalo nanti disambung lagi, sekarang kita ke kantin dulu!”
“Emang susah ngomong sama orang susah.”
Rine dan Andi melangkahkan kakinya ke kantin. Setelah menghabiskan dua mangkuk bakso dan tiga gelas es teh manis mereka kembali ke kelas. Sepertinya mereka sangat penasaran dengan gambar puzzle yang menyerupai hati itu.
“Eh, tunggu! Tunggu! Itu kan Sandy,” telunjuk Andi menunjuk pria pemilik tubuh seratus enam puluh lima senti itu.
“Terus kenapa?”
“Elu gak mau nyelidikin dia lagi?”
“Ah, gara-gara gue sibuk nyelidikin dia, gue gak bisa TP ke mana-mana. Lu liat kan, gue masih jomblo. Padahal Valentine sebentar lagi.”
Rine menengok ke sebelahnya. Ternyata yang diajak bicara sudah tidak ada.
“Dasar!”
Andi berlari menuju kelas. Ia melihat Sandy sudah ada dekat mejanya, dan meja Rine juga.
“Sandy!” panggil Andi. Sandy kalang-kabut. Tangannya yang sejak tadi sibuk merogoh saku celana, langsung ia keluarkan. Satu potongan puzzle jatuh dari sakunya. Tapi, ia tidak menyadari. Sandy buru-buru pergi. Andi masih terbengong melihat potongan puzzle itu jatuh dari saku Sandy. Ia meraihnya.
Sementara Rine sibuk mencari-cari Andi. “Kemana sih tuh anak ngilangnya. Ke toilet kali. Ah, masa iya, baru diisi udah keluar lagi?”
Rine masuk ke kelas. Dia melihat sosok Sandy yang sedang terburu-buru keluar kelas. Sandy hampir saja menabrak Rine. ”Ngapain dia?,” tanya Rine dalam hati.
“Rine! Rine! Ke sini!” suara Andi melengking dari bangku paling belakang.
“Elu dari mana sih, gue cari-cari?”
“Aduh, udah deh, gak sempet kasih alasan. Lu liat ini!”
“Itu? Itu kan potongan puzzle”
“Tepat sekali! Ini potongan puzzle keseratus.”
“Maksud loe? Jangan bilang Sandy…” ucap Rine sambil mengambil potongan puzzle itu dari tangan Andi lalu memasangnya. Puzzle itu membentuk gambar hati merah jambu bertuliskan LOVE di tengahnya.
“Udah, ayo kita kejar!” Andi menarik tangan Rine.
“Males ah!”
“Loe nggak mau ngejomblo lagi, kan?” Ancam Andi.
“Ok! Ok! Tapi, nanti aja pulang sekolah,” jawab Rine malas. “Udah, sekarang anterin gue dulu ke Lab Komputer. Flash disk gue ketinggalan di sana.” Gantian, Rine yang menarik tangan Andi. Andi jadi lesu, “Payah, padahal ini episode paling seru,” batinnya.
“Aduh, kenapa bisa ketahuan? Saya kan sudah bilang sama kamu, hati-hati, jangan sampai ketahuan!”
“Maaf, Pak!”
“Pak Budi? Sandy?,” ucap Rine dan Andi dalam hati. Mereka saling memandang. Sepertinya mereka masing-masing sudah tahu jawabannya.
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar