*
Aku tahu saat ini aku sedang bermimpi. Itu sebabnya aku berani saja merobek sepasang telingaku untuk kuserahkan kepada lelaki itu.
Aku tersenyum melihat sikap lelaki itu. Ia tampak begitu bingung dan kaku. Sorotan matanya penuh dengan tandatanya. Sebenarnya aku ingin tertawa, namun sebisa mungkin aku tahan. Ia bertanya-tanya dalam hati tentang siapa aku sebenarnya. Memang, kami memang tidak saling mengenal. Kami hanyalah sepasang manusia yang terperangkap di alam mimpi. Aku dapat mendengar dengan jelas suara-suara hatinya yang selalu menuntut jawaban akan sebuah kepastian. Dasar lelaki bodoh, sepertinya ia belum betul-betul memahami akan sebuah keajaiban yang selalu bergentayangan di semesta mimpi.
Aku menyerahkan sepasang telingaku kepada lelaki itu. Sebelumnya ia sempat ragu untuk menerimanya. Tetapi, setelah ia sadar bahwa semua ini hanyalah mimpi, ia pun mau menerimanya dan mau mendengarkan segenap suara yang tersimpan di dalam sepasang telingaku.
“Aku mendengar suara-suara,” begitu katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku ingin tertawa saja rasanya menyaksikan kepolosan lelaki itu. Seandainya kami berjumpa di dunia nyata, tentu ia sudah aku tinggal dari tadi. Aku adalah seorang perempuan yang tidak menyenangi lelaki polos dan bodoh. Aku menginginkan lelaki yang cerdas, yang pandai beradaptasi dengan keadaan. Tetapi, beginilah dunia mimpi. Dunia yang menihilkan segala ketidakmungkinan. Aku akan terus meladeni lelaki polos dan bodoh yang terlihat sedang asik mendengarkan suara-suara di sepasang telingaku itu. Aku ingin bermain-main dengannya sebentar. Setidaknya, setelah mimpi ini selesai, kami tidak akan pernah bertemu kembali.
Aku bisa mendengar suara-suara yang terucap di dalam hatinya. Ia berkata betapa dirinya gombal sekali. Tentu saja ia berkata seperti itu setelah ia mendengar suara seraknya di telingaku.
Aku bilang saja kepada lelaki itu betapa ia memanglah seorang penggombal yang mahir dan aku menikmati segala kegombalannya. Dan, sepertinya ia percaya begitu saja akan perkataanku itu.
Ketika lelaki itu hendak mengembalikan sepasang telingaku, aku langsung menolaknya.
“Simpan saja untukmu, sayang. Aku ingin menyerahkan sebagian tubuhku kepadamu. Sebagai bukti betapa aku sangat mencintaimu.”
Lelaki itu tampak semakin bingung dan mengatakan bahwa mimpi ini sudah benar-benar keterlaluan baginya. Ia bertanya dalam hati, bagaimana jadinya jika seorang perempuan seperti aku ini benar-benar ada di dunia nyata. Kalau pun memang ada, apakah aku bisa menghadapinya? Begitu tanyanya dalam hati. Aku tertawa mendengarnya. Tentu saja ia tidak akan bisa menghadapinya. Aku tahu itu. Ia hanya seorang lelaki polos yang bodoh.
Hmm. Sudahlah. Sepertinya aku harus segera menyelesaikan mimpi ini. Aku ingin tahu seperti apa rasanya bercinta dengan lelaki itu. Aku belum pernah bercinta dengan lelaki polos dan bodoh.
“Sekarang, perkenankanlah aku untuk memiliki tubuhmu.” Begitu ujarku sambil melepas gaun hitamku. Aku melihat ia menelan ludah. Ia tampak begitu terpesona melihat tubuhku. Sepasang matanya tidak pernah lepas dari sepasang payudaraku. Aku berjalan mendekatinya, mendorong tubuhnya, dan kami pun bercinta.
“Mari bercinta, lelaki bodoh,” ujarku dalam hati.
*
Lelaki dan perempuan itu terbangun dari tidurnya. Keduanya saling berpandangan dengan tatapan mata bertanya-tanya, dan secara bersamaan mereka langsung melompat dari tempat tidur.
“Siapa kamu? Bukankah kamu yang tadi berada di dalam mimpiku?” tanya mereka secara bersamaan.
“Mengapa kita bisa berada di sini?” tanya si perempuan.
“Mengapa sepasang telingamu masih utuh?” tanya si lelaki.
“Dasar bodoh! Tentu saja telingaku masih utuh. Yang tadi itu hanya mimpi. Bukan kenyataan. Ternyata di dunia nyata pun kamu tidak berubah. Tetap saja bodoh.”
“Wah, ini tidak masuk akal! Mengapa aku bisa tidur bersamamu? Aku sudah memiliki istri!”
“Aku juga sudah punya suami.”
“Tapi kita telah bersetubuh! Kita telah bersetubuh! Ini tidak boleh terjadi! Tidak boleh! Oh, aku telah mengkhianati istriku!”
“Jangan berteriak-teriak seperti itu, lelaki bodoh! Kita tidak pernah bersetubuh! Tidak pernah! Itu hanya terjadi di dalam mimpi! Ingat, di dalam mimpi! Lihatlah, kita masih berpakaian lengkap. Kita tidak sedang telanjang. Lagi pula, aku tidak akan pernah sudi bersetubuh dengan lelaki bodoh macam kamu!”
“Tapi, mengapa kita bisa berada di sini? Mengapa kita bisa tertidur di ranjang yang sama? Apakah semalam kita habis pergi ke suatu pesta, lantas mabuk, dan secara tidak sadar kita berdua tidur di sini?”
“Entahlah. Aku juga tidak mengerti. Lagi pula, kamar siapakah ini?”
“Kamar ini bukan milikku.”
“Bukan milikku juga.”
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang gadis cilik berusia sepuluh tahun yang rambutnya dikepang dua masuk ke dalam kamar itu.
“Kenapa, sih, Ayah sama Ibu selalu bertengkar? Hari ini kita jadi kan ke rumah nenek yang di Bogor?”
Lelaki dan perempuan itu langsung saling berpandangan.
Depok, 23 Desember 2006
Baca cerpen selanjutnya
0 komentar:
Posting Komentar