Memperbincangkan Sejarah Sastra Indonesia (Periode Balai Pustaka s.d Angkatan 45)
In Denny Prabowo, In ESAI, In Nonfiksi DewasaKamis, 18 Maret 2010
Esai Denny Prabowo
Membicarakan sejarah sastra Indonesia tentu tak bisa menafikan peran Balai Pustaka. Meski periodisasi sastra yang menempatkan kelahiran Balai Pustaka sebagai awal lahirnya sastra Indonesia modern belakangan banyak digugat, tak ada yang berdebat mengenai peran penting Balai Pustaka dalam menumbuhkembangkan kesusastraan Indonesia.
Pendirian Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917 yang menggantikan Komisi Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Indlandsche schook en Volkslectuur) yang berdiri tahun 1908, bukan sekadar sebagai realisasi politik etis Belanda. Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi redaktur penerbit Balai Pustaka menyatakan:
Balai Pustaka didirikan untuk memberi bacaan kepada orang-orang yang sudah pandai membaca, yang tamat sekolah rendah dan yang lain-lain, disamping untuk memberikan bacaan yang membimbing mereka supaya jangan terlampau tertarik pada aliran-aliran sosialisme atau nasionalisme yang lambat laun toh agak menentang pihak Belanda.1)
Terlepas dari persoalan politik yang melatarbelakanginya, pemerintah kolonial ketika itu menyadari betul fungsi bacaan, khususnya sastra, dalam penyebaran ideologi kepada masyarakat. Oleh sebab itu, mereka melakukan sensor yang ketat terhadap naskah-naskah yang hendak mereka terbitkan. Meski demikian, karya-karya yang lahir ketika itu tetap memperlihatkan kecendrungan semangat pemberontakan terhadap kultur-etnis.
Beberapa karya penting yang lahir dalam periode ini adalah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang oleh pengamat sastra ditempatkan sebagai novel pertama Indonesia dalam khazanah kesusatraan Indonesia modern. Walaupun tema yang mempermasalahkan perkawinan dalam hubungannya dengan harkat dan martabat yang diusung oleh novel ini bukanlah sesuatu yang baru, novel inilah yang pertama kali mempergunakan bahasa Melayu tinggi atau yang biasa disebut bahasa Melayu sekolahan. Dalam konteks inilah Azab dan Sengsara menjadi penting.
Karya lainnya yang tak kalah penting adalah Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Hampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel ini sebagai tonggak sastra Indonesia pada periode ini. Novel ini tak sekadar menampilkan latar sosial yang lebih tegas, tetapi juga mengandung kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Tema-teman inilah yang kemudian banyak diikuti oleh pengarang-pengarang lainnya pada masa itu. Bahkan di Malaysia, Sitti Nurbaya menjadi bacaan wajib di tingkat sekolah lanjutan sehingga pada tahun 1963 saja, novel ini telah mengalami cetak ulang ke-11 di Malaysia. Maka tak salah jika pada tahun 1963 bersama dengan novel Salah Asuhan, Belenggu, dan Atheis, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah.
Pengarang lain pada era ini yang wajib diketengahkan adalah Abdul Muis dengan Salah Asuhan-nya. Novel pertama karya sastrawan yang digelari pahlawan nasional ini secara tematik tak mempersoalkan masalah adat-istiadat yang tidak lagi sejalan dengan zamannya, tetapi lebih dari itu, ia mengangkat persoalan kawin campur antarbangsa yang menyangkut perbedaan adat-istiadat, tradisi, agama, dan budaya. Boleh dikatakan, Salah Asuhan merupakan upaya pembaharuan secara tematik pada periode 20-an yang akan menemukan bentuknya pada era setelahnya, yaitu Pujangga Baru.
Majalah Pujangga Baru yang dirintis oleh Sutan Takdir Alisjahbana (selanjutnya disebut STA), Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Amir Hamzah berdiri tahun 1933. Melalui majalah inilah para pengarang dari pelosok tanah air dan Semenanjung Melayu mempublikasikan karyanya. Begitu populernya majalah ini sehingga para pengarang yang berkarya pada ketika itu disebut sebagai sastrawan Pujanga Baru. Pada periode ini, karya-karya yang lahir memperlihatkan semangat membangun kultur Indonesia di masa datang yang diidealkan.
Pengarang penting yang patut dikemukakan pada era ini tentu saja STA dengan karyanya Layar Terkembang yang dianggap sebagai karya terpenting ketiga di antara roman-roman sebelum perang. Para kritikus sastra seperti H.B. Jassin, Ajib Rosidi, Zuber Usman, Amal Hamzah, dan A. Teeuw menyebut novel ini sebagai novel bertendensi. Tokoh Tuti dalam novel ini merupakan representasi sikap dan pemikiran pengarangnya dalam mengangkat harkat martabat wanita Indonesia.
Dalam periode 30-an ini lahir pula nama Hamka yang bersama Helmi Yunan Nasution mengelola majalah Pedoman Masjarakat. Dari majalah ini lahir karya penting dari tangan Hamka, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Meski secara tematik novel ini masih belum beranjak dari persoalan cinta dan perkawinan dalam hubungannya dengan adat, tetapi Hamka tampaknya tak hendak mempertentangkan secara tegas golongan muda dengan golongan tua, ia lebih menekankan pada pribadi manusianya itu sendiri. Namun, justru dalam pengembangan masalah adat itulah, problematika dalam novel ini menjadi sangat terasa.
Nama lain yang layak disebut dalam periode 30-an ini adalah Selasih (nama samara lain; Sariamin = Seleguri = Sri Gunting = Sri Tanjung = Ibu Sejati = Bundo Kandung = Mande Rubiah). Novelnya Kalau Tak Untung mengantarkannya sebagai pujangga wanita Indonesia yang pertama. Dalam kaitannya dengan hal inilah Kalau tak Untung menjadi karya yang sangat penting, meski secara tematik masih menampilkan persoalan yang sama dengan pengarang-pengarang periode 20-an.
Nama Sanusi Pane sebagai antipode STA tentu tak bisa begitu saja diluputkan, selain Amir Hamzah yang disebut sebagai pembaharu puisi di era ini. Namun yang patut dicatat dari periode Pujangga Baru adalah pada kurun inilah pertama kali kebudayaan Indonesia dirumuskan melalui polemik antara STA dengan Sanusi Pane, Purbatjaraka, Ki Hajar Dewantara, dll, yang dikenal dengan Polemik Kebudayaan. Meski banyak yang menyetujui pemikiran Sanusi Pene dengan gagasan penyatuan Arjuna dengan Faust yang menghasilkan sintesa Timur dan Barat, tetapi tak pernah terlontar kata sepakat yang melahirkan pernyataan bersama dalam rumusan kebudayaan Indonesia di masa datang.
Persoalan Polemik Kebudayaan ini baru terselesaikan ketika Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin memelopori “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Kalimat pertamanya yang berbunyi: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,” mengisyaratkan terbukanya angkatan ini menerima pengaruh asing dan kemudian merumuskannya sendiri berdasarkan keberagaman kultur keindonesiaan. “Surat Kepercayaan Gelanggang” inilah yang kemudian menjadi konsepsi seni dan budaya bagi generasi yang dikenal dengan Angkatan 45.
Karya penting yang lahir sebagai wujud dari pernyataan bersama tersebut adalah Tiga Menguak Takdir. Buku ini memuat puisi-puisi karya Chairil Anwar, Asur Sani, dan Rivai Apin. Secara implisit, judul Tiga Menguak Takdir seolah hendak menegaskan sikap generasi ini yang dapat dipandang sebagai jawaban dari Polemik Kebudayaan yang muncul karena gagasan Sutan Takdir Alisjahbana.
Nama lain yang tak bisa dinafikan dari peta sastra ANgkatan 45 adalh drus. Jika Chairil disebut sebagai pembaharu puisi pada periode ini, Idrus disebut-sebut oleh H.B. Jassin sebagai pembaharu prosa melalui cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Wacana eksistensialisme menemui ruangnya pada periode ini. Puncaknya tentu saja lahirnya cerpen Atheis dari tangan Achdiat K. Mihardja yang seolah menjadi jawaban dari kegelisahan manusia yang hidup pada masa itu.
Jika menilik perjalanan kepengarangan para sastrawan sejak dari angkatan Balai Pustaka sampai Angkatan 45, hampir kebanyakan pengarang pada masa itu tumbuh dalam kultur membaca yang muncul akibat sistem pendidikan kolonial ketika itu yang mewajibkan siswanya membaca karya sastra minimal 25 judul dalam rentang masa pendidikan selama tiga tahun di AMS.
Kondisi itulah yang memungkankan para pengarang ketika itu berkenalan dengan karya-karya sastrawan dunia seperti Shakespeare (Inggris), Johan Wolfgang von Goethe (Jerman), Leo Tolstoy (Rusia), Rabindranath Tagore (India), Baidaba (Persia), dll. Dan dari perkenalan dengan sastrawan dunia itulah terjadi tranformasi nilai-nilai yang secara otomatis membentuk karakter bangsa ketika itu.
Demikianlah perbincangan sejarah sastra yang serba sedikit dan terbatas hanya pada periode Balai Pustaka sampai Angkatan 45. Tulisan ini tak dimaksudkan untuk merangkum periode tersebut yang berlangsung dalam rentang yang cukup panjang, hanya sebuah catatan dari penyuka sastra yang hendak menengok masa lalu. Semoga bermanfaat.
Catatan:
1) Sutan Takdir Alisjahbana, “Perjuangan Budaya dan Pengalaman Pribadi Selama di Balai Pustaka” dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka, Jakarta 1992, h. 20
2) Mahayana, Maman S. 9 jawaban sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing 2005, h. 394
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar